Menuntut Papua menjadi Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG), untuk Apa dan Siapa?

Bagikan artikel ini
I Nurdin, Mahasiswa Pascasarjana STIMA IMMI
Ratusan masyarakat Papua yang mengatasnamakan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih terus menuntut kemerdekaan atas Papua. KNPB melalui berbagai organisasi sayap pendukungnya, salah satunya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), aktif menggelar aksi unjuk rasa meskipun mayoritas masyarakat Papua tidak memberikan dukungan. Terakhir, AMP membentuk organisasi Gerakan Rakyat Papua Bersatu (GRPB) karena nama AMP, khususnya di Yogyakarta, sudah negatif di kalangan aktivis pergerakan maupun di kalangan mahasiswa Papua sendiri. Aksi AMP selama ini merepresentasikan kepada gerakan separatis karena dalam setiap aksinya selalu membawa atribut yang identik dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kurangnya akses atas informasi menjadi pintu masuk KNPB untuk mendapatkan kepentingannya dengan memanfaatkan masyarakat Papua. Di kalangan mahasiswa, KNPB memanfaatkan mahasiswa-mahasiswa Papua yang menuntut ilmu di luar Papua. Menurut saya, mahasiswa-mahasiswa Papua yang aktif mengikuti aksi unjuk rasa, tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukannya. Sebagian besar massa aksi, diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa yang baru memulai perkuliahan, ikut-ikutan atas ajakan senior mereka. Sistem senioritas di kalangan mahasiswa Papua masih sangat kental. Mayoritas mahasiswa Papua yang melanjutkan pendidikan di luar Papua, menggunakan beasiswa. Sementara penyaluran beasiswa dari Pemda kepada mahasiswa, dilakukan melalui mahasiswa-mahasiswa senior yang menjadi pengurus paguyuban. Oleh karena itu, mengikuti aksi unjuk rasa menjadi pilhan mahasiswa-mahasiswa yang baru.
Cara lain yang dilakukan oleh KNPB dan kelompoknya seperti The United Liberation Movement for West Papua (UMLWP), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), maupun Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) adalah dengan melakukan kebohongan. Dalam aksi yang dilakukan, kelompok ini seringkali menyalahi izin/pemberitahuan yang diberikan. Mereka melakukan pemberitahuan izin ibadah syukur mendukung ULMWP menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), tetapi pelaksanaannya melakukan aksi demonstrasi. Karena seringkali melakukan kebohongan, masyarakat sudah mulai terbuka matanya kelompok mana yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri dan kelompok mana yang betul-betul berjuang untuk masyarakat Papua. Bahkan, Dewan Adat Papua (DAP) menolak penggunaan Kantor DAP untuk dipakai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan separatisme.
Di Yogyakarta, penolakan-penolakan dari kalangan mahasiswa Papua sendiri telah nampak. Akibat aksi-aksi demonstasi yang dilakukan segelintir orang, sekitar 7.000 mahasiswa Papua di Yogyakarta dicap separatis oleh masyarakat, padahal mayoritas mahasiswa Papua di Yogyakarta murni melanjutkan pendidikan, tidak terkait dengan politik, apalagi kelompok separatisme. Tidak kalah parahnya, aktivis gerakan sosial/LSM di Yogyakarta, seolah berlomba mencari muka dengan memberikan dukungan terhadap kelompok mahasiswa Papua yang mengarah pada gerakan separatis.
Aksi yang dilakukan oleh kelompok yang menuntut kemedekaan Papua, yang saat ini dilakukan oleh GRPB, kemungkinan memiliki agenda terselubung yang dimiliki oleh pihak-pihak berkepentingan dalam gerakan aktivis GRPB tersebut. Apalagi lebih banyak dilakukan di Yogyakarta, kota yang ramah dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Para aktivis GRPB harus lebih cermat melihat persoalan yang lebih kontekstual, sehingga apa yang menjadi tuntutan dapat tersampaikan dengan baik, terlebih jika kasus yang diangkat masih perlu mendapatkan klarifikasi dari pihak yang terkait.
Kelemahan dari organisasi perlawanan di Papua seperti GRPB, PNPB, KNPB, PRD dan ULMWP maupun IPWP antara lain : pertama, organisasi perlawanan ini sering menebarkan berita bohong kepada masyarakat Papua sehingga ajakan unjukrasa mereka tidak digubris masyarakat Papua, bahkan masyarakat Papua menilai PNPB cs adalah komunitas maniak politik yang gila karena mempolitisir nasib rakyat Papua.
Kedua, organisasi perlawanan ini dipimpin oleh avonturir-avonturir politik Papua yang selama ini diduga dalam menjalankan aktivitasnya hanya memperjuangkan “nasib perutnya sendiri”.
Ketiga, PNPB cs adalah organisasi tanpa bentuk dan illegal sehingga bergabung dengan mereka akan menyengsarakan bagi masyarakat Papua karena akan berhadapan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Keempat, modus operandi aksi unjuk rasa PNPB cs yang selalu disetting untuk terjadinya chaos dengan aparat keamanan, karena bila hal tersebut terjadi aksi mereka akan mendapatkan dukungan internasional. Menyadari hal ini, aparat keamanan yang bertugas di Papua akan bertindak dewasa dan tidak terpancing oleh PNPB cs. Namun, jika aksi tersebut sudah mengarah anarkis, menyuarakan separatis dan mengganggu kedamaian di Papua, maka aparat keamanan akan menindak tegas mereka karena masyarakat adat  di Papua mendukung langkah aparat keamanan menangkap dan mengusir para perusak kedamaian di Papua yang tergabung dalam PNPB cs.
Kelima, adanya intervensi internasional mengawasi pelaksanaan referendum di Papua Barat oleh IPWP dalam deklarasi Westminster tanggal 3 Mei 2016 di gedung Parlemen Inggris seperti yang tertulis dalam seruan tersebut adalah tidak masuk akal dan propaganda politik murahan bagi kelompok pendukung OPM ini, karena tidak mungkin parlemen Inggris mendukung kemerdekaan Papua sebab hal itu akan merusak hubungan diplomatik antara Inggris dan Indonesia. Oleh karena itu, seruan PNPB penuh kebohongan dan angin kosong belaka.
Seharusnya, masyarakat Papua lebih baik mendukung program-program Presiden RI Joko Widodo yang sudah sangat merepresentatsikan kebijakan yang pro terhadap masyarakat Papua. Bahkan terkait dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), Presiden Joko Widodo sama seperti yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden Joko Widodo memiliki pendekatan kebijakan yang pro kesejahteraan bagi Papua serta penghormatan terhadap HAM.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com