Amerika Serikat dalam strategi globalnya untuk menguasai Timur-Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan, badan intelijen CIA sejak 1986 menggalang persekutuan dengan kelompok-kelompok Islam garis keras sebagai mitra dalam Perang Dingin untuk membendung pengaruh negara adikuasa pesaing utamanya, Uni Soviet. Masihkah perselingkuhan AS-Sayap Kanan Islam masih berlanjut di era pemerintahan Joe Biden?
Ada perkembangan yang cukup mengkhawatirkan menyusul kemenangan Joe Biden sebagai presiden, bukan saja terkait kebijakan luar negerinya di kawasan Timur-Tengah dalam beberapa tahun mendatang. Melainkan juga, terkait persekutuannya dengan kelompok-kelompok sayap kanan Islam, khususnya di Suriah.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Prof Tim Anderson dari Centre for Counter Hegemonic Studies pada Desember 2015 lalu, menyingkap sebuah fakta yang cukup penting. Dua senator kongres AS Lindsey Graham dan Joe Biden (saat itu wakil presiden pada era Presiden Barrack Obama) mengakui bahwa AS sebagai sekutu regional negara-negara Arab di Timur Tengah (Arab Saudi, Qatar dan Turki), telah memberi dukungan dana kepada ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Baca:
The Dirty War on Syria: Washington Supports the Islamic State (ISIS)
ISIS kala itu memang terungkap merupakan salah satu elemen milisi pemberontak yang merupakan agen-agen proxy AS dan NATO untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad selain Jabal al Nusra dan Free Syrian Army, yang menurut beberapa informasi sempat mendapat latihan yang di AS, yang lokasi tempat pelatihannya tidak jauh dari markas badan intelijen AS CIA di Langley.
Hal tersebut semakin terang-benderang ketika beredar informasi bahwa pesawat tempur AS dan Inggris yang membawa pasokan senjata kepada ISIS telah ditembak jatuh oleh tentara Irak. Sehingga ketika berita itu dilansir oleh kantor berita Irak pada 2015, beberapa negara Barat sekutu AS sempat panik dan seketika membantah berita tersebut.
“Dimana AS terlibat dan campurtangan dalam urusan dalam negeri negara lain, di situlah Al Qaeda dan ISIS selalu muncul. Itulah keunggulan mereka,” demikian keterangan seorang pemimpin sebuah gerakan di Yaman bernama Ansar Allah.
Memang kalau kita telisik secara lebih mendalam, keberadaan ISIS seperti saya gambarkan tadi, asal-usulnya berasal dari Al Qaeda. Bicara tentang Al-Qaeda, maka kita harus menelusur ke belakang mengenai skenario yang dirancang Direktur CIA William Casey pada decade 1980an di masa pemerintahan Ronald Reagan. Kala itu direktur CIA William Casey telah menggelontorkan berjuta-juta dolar AS untuk mendukung dan menumbuhsuburkan jejaring radikalisme militant internasional sebagai kekuatan untuk melawan Uni Soviet yang pada waktu itu merupakan musuh utama AS, dan waktu itu militer Soviet masih menduduki Afghanistan.
Sebuah informasi yang tak kalah penting diungkap oleh Andreas von Bulow, mantan Menteri Teknologi Jerman, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggiris, The CIA and September 11.
Dalam bukunya, Bulow menginformasikan bahwa pemimpin utama Al-Qaeda Osama bin Laden pernah melaporkan kepada CIA bahwa pasukan militant multi-nasional dari 4Dalam bukunya, Bulow menginformasikan bahwa pemimpin utama Al-Qaeda Osama bin Laden pernah melaporkan kepada CIA bahwa pasukan militant multi-nasional dari 46 negara telah siap mengakhiri riwayat negara Uni Soviet.
Satu lagi fakta penting yang diungkap von Bulow, bahwa mantan penasehat keamanan nasional sang think-thank legendaris AS Zbigniew Brzezinski, punya andil besar dalam menggagas “perselingkuhan” antara AS dan Sayap Kanan Islam sejak pertengahan dekade 1980an.
Jadi kalau Prof Tim Anderson tadi menyinggung pengakuan senator Lindsey Graham dan Wakil Presiden Joe Biden bahwa bantuan AS kepada ISIS terkait dengan persekutuan regionalnya dengan Arab Saudi, Qatar dan Turki, untuk sebagian sangat benar dan masuk akal.
Merujuk pada asal-usul ISIS yang berasal dari Al-Qaeda, maka kedekatan Osama bin Laden dengan keluarga kerajaan Arab Saudi, jadi logis jika ada “perselingkuhan” antara AS dan kelompok-kelompok sayap kanan Islam atau yang sering juga disebut kelompok-kelompok Islam fundamentalis. Terlepas belakangan Osama bin Laden kita kenal sebagai pemberontak terhadap kerajaan Saudi dan dinasti Ibnu Saud karena punya mahzab keislaman tersendiri, namun dalam kesejarahanya keluarga bin Laden dengan kerajaan Saudi sejak era Raja Faisal, punya hubungan yang sangat erat.
Hubungan Osama bin Laden dengan Pangeran Turki al Faisal, kepala Badan Intelijen Arab Saudi kala itu, semakin memperkuat dugaan bahwa Osama bin Laden merupakan satu rangkaian mata-rantai antara badan intelijen Arab Saudi, badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligent (ISI) dan badan intelijen AS (CIA).
Ahmed Rashid dalam bukunya bertajuk Taliban; Militant Islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia, menuturkan bahwa Osama bin Laden dan Al-Qaeda berada dalam kendali dan pembinaan William Casey (CIA), Pangeran Turki al Faisal (Arab Saudi) dan Jenderal Hameed Gull (Pakistan). Singkat cerita, ada special deal atau kesepakatan rahasia antara Bin Laden dan ketiga komunitas intelijen tersebut.
Rashid lebih lanjut menuturkan, Osama bin Laden dan Al Qaeda selain mendapat pelatihan militer dari CIA, bantuan dana maupun pasokan persenjataan.
Sepertinya, jejaring radikalisme militant internasional sebagaimana arahan dari CIA pada masa William Casey, mulai terajut pada masa AS dan kelompok-kelompok sayap kanan Islam tersebut bersekutu mengusir Uni Soviet dari Afghanistan.
Terbukti pada masa perlawanan bersenjata kaum Mujahidin Afghanistan terhadap Soviet inilah, terjadi pertemuan dan perkenalan secara lebih intens antara unsur-unsur gerakan Islam garis keras mulai dari Ihwanul Muslimin, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyah baik yang dari Mesir, Maroko, Tunisia, maupun dari Pakistan.
Semua organ-organ yang saya sebut tadi, sejatinya merupakan berbagai komponen dari jejaring radikal militant Islam yang punya karakteristik dan corak yang sama dengan Al-Qaeda.
Skenario CIA yang dirancang William Casey bermula pada 1986, yang gagasan dasarnya adalah menyusun sebuah rencana besar untuk mengatur strategi penghancuran Uni Soviet. Adapun strategi penghancuran Soviet tersebut merekomendasikan tiga langkah strategis:
Pertama, mendesak Kongres Amerika untuk menjadi “provider” senjata untuk para mujahidin degan senjati anti pesawat terbang biuatan mereka untuk merontokkan pesawat-pesawat tempur Uni Soviet.
Kedua, CIA bersama badan intelijen Inggris MI6 dan ISI Pakistan, menyetujui masterplan dari rencana Casey ini untuk menggerakkan gerilyawan mujahidin Afghanistan untuk menyerang tentara Soviet dengan fokus pada tujuan utama yaitu Uzbekistan dan Tajikistan dua wilayah yang mayoritas berpenduduk Muslim, yang waktu itu masih berada dalam wilayah kedaulatan Soviet. Tugas penyeran dibebankan pada seorang tokoh favorit di mata Mujahidin, yaitu Gulbudin Hikmatiyar.
Ketiga, Casey memerintahkan CIA untuk memberikan dukungan dan memberikan arahan pada proyek ISI ini yaitu dengan cara merekrut para muslim militant dan radikal dari semua kawasan negeri muslim untuk bergabung dengan para mujahidin Afghanistan.
Gagasan direkrur CIA Casey ini nampaknya disambut dengan tangan terbuka oleh Presiden Pakistan Zia Ul Haq karena dia memandang rencana CIA sebagai momentum bagi Pakistan untuk menjadikan dirinya sebagai aktor utama di Dunia Islam dan kekuatan utama yang membantu gerakan oposisi di beberapa negara kawasan Asia Tengah, yang waktu itu masih berada dalam kedaulatan Soviet.
Berasal-muasal dari skenario CIA pada masa William Casey inilah, yang kemudian memicu munculnya terorisme fundamentalis sebagai fenomena global. Sebagai bagian dari strategi global AS menghegemoni kawasan Timur-Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Sehingga untuk mewujudkan strategi tersebut, salah satu langkah strategis AS adalah menggalan dukungan dari kalangan kelompok-kelompok Islam yang memandang Islam bukan sekadar agama, melainkan juga ideology sekaligus gerakan politik.
Atas dasar gagasan tersebut, apa yang dilakukan Amerika terhadap jejaring radikal fundamentalis Islam tersebut pada hakekatnya hanya sekadar memanipulasi dan mempolitisasi kelompok-kelompok sayap kanan Islam tersebut sebagai mitra dalam Perang Dingin melawan negara adidaya pesaing utamanya kala itu, yaitu Uni Soviet.
Al Qaeda dengan tokoh sentralnya adalah Osama bin Laden, nampaknya asal-muasalnya juga harus ditelisik ke belakang, saat Hasan al-Banna pada 1928 mendirikan Ihwanul Muslimin di Mesir. Begitu juga dengan berdirinya Jama’ate Islami oleh Abul A’la al-Maududi di Pakistan pada 1940. Inilah kelompok-kelompok sayap kanan Islam awal yang berbasis pada Islamisme dan Islam Politik.
Di sinilah AS tidak saja mempolitisasi dan memanipulasi Islam sebagai agama dan sistem keyakinan ratusan juta orang yang terorganisir,tetapi juga memainkan Islamisme dan Islam Politik sebagai landasan teoritis untuk menumbuhsuburkan dan mengembangbiakkan radikalisme dan fundamentalisme, yang sejatinya bertentangan dan tidak sesuai dengan penghayatan spiritual sebagian besar umat Muslim yang terkandung dalam Rukun Islam. Dengan kata lain, oleh karena Islamisme dan Islam Politik merupakan bagian integral dari skenario global AS untuk menguasai kawasan Timur-Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan, maka fundamentalisme Islam dipandang oleh arus utama(mainstream) para ulama Islam, sebagai penyimpangan dari keyakinan religius yang umum.
Oleh karena Islamisme dan Islam Politik yang jadi landasan teoritis untuk membangun Jejaring radikal fundamentalisme internasional melalui Ihwanul Muslimin, Al-Qaeda maupun ISIS sejatinya karena didorong, diorganisir dan dindanai oleh Amerika Serikat maupun Wahabisme ultra-ortodoks Arab Saudi, Kaum Jihad Afghan dan Osama Bin Laden.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)