Sekilas Ajaran Kontra Skema Kolonialis Ala Bung Karno

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Geopolitik
Menurut geopolitik, batas-batas ruang hidup bersifat tidak tetap, oleh karena mengikuti kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup. Teori ruang (living space) atau lebensraum sebagai inti geopolitik menjelaskan bagaimana bangsa-bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Sebab, kata Frederich Ratzel (1844-1904), hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi.
Konsepsi ruang dalam pemikiran Barat, melihat negara sebagai suatu organisme hidup. Berbeda dengan bangsa Indonesia yang melihat manusia, negara dan ruang hidup sebagai “anugerah Tuhan” yang harus diterima (nrimo ing pandum) serta disyukuri sebagai sumber hidup dan kehidupan.
Jadi, sifat dan karakter geopolitik ala Barat dengan geopolitik Indonesia sangat berbeda. Kesamaannya mungkin hanya dalam hal penyikapan atas bertambah-berkurangnya ruang oleh berbagai sebab senantiasa dikaitkan kehormatan dan kedaulatan negara.
Banyak ajaran geopolitik lain seperti teori Karl Haushofer (1869-1946), misalnya, atau Rudolph Kjellen (1864-1922), ataupun Sir Halfor Mackinder (1861-1947), Nicholas J. Spykman (1893 – 1943) dan seterusnya dimana poin intinya hampir sama, yakni:
“Bila sebuah bangsa ingin bertahan hidup mutlak harus memanfaatkan ruang (hidup) dalam rangka menghadapi kekuatan global”.
Jika tidak, maka ia bisa punah. Bayangkan saja, sekelas superpower Uni Soviet, contohnya, atau Turki Ottoman pada masanya pun bisa runtuh berkeping-keping karena tak mampu mengendalikan ruang hidupnya.
Geopolitik adalah science of the state, kata Haushofer, ilmu negara yang mencakup aspek politik, geografi, ekonomi, antropologi, sejarah, hukum dan lain-lain. Nah, bangsa ini tidak menganut teori manapun, tetapi menentukan ruang hidupnya sendiri yaitu pulau-pulau di antara dua samudra dan dua benua yang disebut Tanah Air Indonesia dari Sabang sampai Merauke — dari Miangas hingga Rote.
Geopolitik yang dikembangkan para pemikir Barat tentang hubungan antara manusia, negara dan ruang hidup cenderung menekankan negara sebagai organisme hidup (entitas biologis) yang lahir, tumbuh, berkembang, menyusut dan mati. Dalam praktik, perilaku geopolitik (Barat) cenderung ekspansif.
Konsep geopolitik ala Barat tersebut memicu (kontra) pemikiran Bung Karno (BK), bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya, atau rakyat tidak dapat dipisahkan dari bumi tempat mereka berpijak untuk menjadikan suatu bangsa menjadi besar. Maka dalam geopolitik, Indonesia itu bukan sekedar ‘tanah air’ belaka, tetapi ‘tumpah darah’. Sekali lagi, tumpah darah. Apakah tumpah darah itu?

Bung Karno dan Peta (foto: berdikarionline.com)

Adalah tanah, wilayah, atau bumi dimana segenap anak bangsa dilahirkan, tumbuh berkembang, tempat (bekerja) menyambung nyawa, dan kelak tempat menutup mata kembali ke haribaan Ilahi. Oleh karena itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Dalam konsep BK, ruang bukan sekedar objek tetapi subjek.
Dengan demikian, konsep geopolitik Indonesia sangat berbeda dengan konsepsi Barat yang memandang negara sebagai organisme. Hanya objek semata.
Menyikapi narasi tumpah darah di atas, maka salah satu unsur penting Geopolitik Indonesia versi BK ialah:
“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya, tidak dapat dipisahkan”.
Inilah dasar dari konsep defensif aktif yang dianut pada sistem pertahanan kita. Dan tidak dapat dipungkiri, (strategi) geopolitik ini merupakan ajaran kontra geopolitik ala BK guna mengantisipasi pola ekspansif teori ruang ala Barat.
Ada nasehat simpel Panglima Soedirman tetapi dahsyat bila diimplementasikan secara murni dan konsekuen, yakni:
“Pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita sekalian” (7 Juni 1946).
Kini membahas dimensi-dimensi dalam geopolitik.

Jenderal Soedirman; Kita Bangsa Pemenang (foto: universitaskebangsaan)

Ya. Secara universal, ada empat dimensi dalam geopolitik, antara lain:
1. Dimensi (teori) ruang. Bila ruang dikaitkan dengan power militer, maka ketika ruang diperluas — ada yang diuntungkan dan dirugikan. Apabila ruang sudah tidak memiliki nilai strategis, maka akan dicampakkan. Selain ruang dapat berujud fisik geografi, contohnya, ia juga bisa berupa non-fisik seperti ruang pengaruh (sphere of influence), rasa persatuan dan kesatuan, rasa aman dst. Bertambah atau berkurang ruang suatu negara karena berbagai sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara;
2. Dimensi frontier. Keterangan singkatnya adalah, sejauhmana kepentingan nasional terjamin keterwujudan dan pemenuhannya. Mengapa begitu, sebab frontier merupakan batas (imajiner) pengaruh asing dari seberang boundary terhadap rakyat di suatu negara. Biasanya diawali dari pengaruh budaya dan ekonomi. Jika tidak segera ditangani bisa berubah jadi pengaruh politik yang berujung disintegrasi;
3. Dimensi politik kekuatan. Bahwa negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya atau dalam meraih tujuan dan cita-cita bangsanya berbasis kekuatan politik, ekonomi dan kekuatan militer. Ketiganya disebut dengan istilah: “power concept“. Kekuatan mana sebagai prioritas, atau power apa didepan dan seterusnya tergantung kebijakan dan strategi rezim —seyogianya— kebijakan tersebut berbasis (mapping) geopolitik, contohnya, pemetaan sebagai negara agraris, tetapi kok impor kedelai serta cabe-cabean. Mapping sebagai negeri kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, namun kok justru impor garam dan ikan-ikanan. Itu ironi geopolitik, ini paradoks geoekonomi;
4. Dimensi keamanan negara dan bangsa. Untuk memperluas ruang, dibentuklah daerah penyangga yang dapat ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman fisik dari luar. Ruang bisa diartikan secara riil (geografi) dan boleh juga diartikan secara semu dari aspek keamanan, yakni semangat persatuan dan kesatuan yang dapat menghambat atau memperlambat datangnya ancaman, sehingga seakan-akan dapat dipertukarkan dengan waktu. Sebagai catatan, negara kecil seperti Singapura misalnya, ia tidak bisa mengamalkan dimensi ini.
Demikianlah adanya. Terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com