Mewaspadai Modus Operandi Amerika Rekayasa Hasil Pemilihan Presiden Indonesia

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Operasi intelijen Amerika Serikat rekayasa kemenangan calon presiden negara lain yang dianggap bersahabat dengan pemerintahan Gedung Putih di Washington, nampaknya bukan sekadar rekaan belaka. Buktinya Departemen Luar Negeri Iran baru-baru ini melayangkan nota protes kepada Kedutaan Besar Amerika dan negara-negara Uni Eropa.

Operasi intelijen Amerika Serikat rekayasa kemenangan calon presiden negara lain yang dianggap bersahabat dengan pemerintahan Gedung Putih di Washington, nampaknya bukan sekadar rekaan belaka. Buktinya Departemen Luar Negeri Iran baru-baru ini melayangkan nota protes kepada Kedutaan Besar Amerika dan negara-negara Uni Eropa. Karena pihak berwenang Iran rupanya menditeksi bahwa gelombang protes yang dilakukan oleh para pendukung Capres Mir Husen Musavi mendapat dukungan diam-diam dari beberpaa elemen asing di Teheran.

Iran memang sudah sewajarnya untuk waspada terhadap operasi intelijen ala CIA Amerika tersebut. Pada Agustus 1953, CIA yang ketika itu menugaskan Kermit (Kim) Roosevelt, sebagai koordinator operasi di Teheran, untuk menggulingkan Perdana Menteri Mossadegh yang oleh Amerika dianggap berhaluan nasionalis, dan bermaksud untuk menasionalisasikan seluruh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Iran, khususnya yang bergerak dalam sektor minyak.

Seperti yang secara panjang lebar sempat kami tulis di situs ini beberapa waktu yang lalu, operasi intelijen menggusur Mossadegh diberi nama Operasi Ajax. Caranya, dengan menggalang dukungan militer di lapisan tengah komando. Artinya, CIA tidak segan-segan untuk menciptakan perpecahan di internal angkatan bersenjata Iran itu sendiri, bahkan mengkondisikan terjadinya pemberontokan beberapa perwira bawahan terhadap atasanya.

Itulah yang dilakukan oleh pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal Zahedi sehingga atasannya, Kepala Staf Keamanan kabinet Jenderal Taghi Riahi, yang sebenarnya sudah mengetahui adanya rencana kudeta CIA yang dirancang Kim Roosevelt, pada akhirnya justru ditelikung dari belakang Jenderal Zahedi dan anak buahnya yang notabene merupakan bawahan Jenderal Taghi Riahi di jajaran komando kemiliteran.

Keberanian Jenderal Zahedi rupanya didorong oleh Kim Roosevelt, yang mengkoordinasikan seluruh operasi intelijen melawan Mossadegh yang ketika itu secara de fakto merupakan penguasa politik Iran menyusul tergusurnya Shah Iran oleh gerakan Mossadegh. Jadi, operasi Ajax sebenarnya bertujuan memulihkan kembali rezim Shah Iran ke tampuk kekuasaan.

Maka disusunlah beberapa langkah strategis yang dirancang CIA. Pertama, melalui kantor berita Associated Press, diwartakan bahwa Shah Iran telah mengeluarkan dekrit memberhentikan Mossadegh sebagai perdana menteri, dan pada saat yang sama mengangkat Jenderal Zahedi sebagai penggantinya.

Ketika Perdana Menteri Mossadegh yang tidak direstui oleh Shah Iran dan Amerika itu mulai mabuk kemenangan dan merasa dalam posisi cukup kuat, Kim Roosevelt mendorong Jenderal Zahedi membentuk Dewan Perang dan mulai melancarkan serangan terbuka kepada Mossadegh pada 19 Agustus 1853. Caranya, dengan menggalang dukungan dari beberapa komandan batalyon untuk bergabung dalam kudeta menggulingkan Mossadegh.

Namun lebih dari pada itu, rupanya berita yang tersebar di berbagai media massa luar negeri berkenaan dengan dekrit Shah Iran dari tempat pengasingannnya di Itali, telah memicu gelombang dukungan di dalam negeri Iran itu sendiri. Sehingga membuka peluang CIA untuk menunggangi gelombang dukungan terhadap kembalinya Shah Iran.

Maka, gerakan anti Mossadegh pun kembali mendapatkan momentum untuk berkobar kembali. Padahal sebenarnya CIA sudah bermaksud untuk menghentikan operasi Ajax pada 18 Agusutus 1953.

Aksi massa pro Shah Iran akhirnnya berhasil dimanfaatkan oleh pasukan militer yang berada dalam kendali Jenderal Zahedi, dan kemudian mengumumkan keberhasilan kudeta dan membacakan dekrit kerajaan melalui stasiun radio Iran. Tak lama kemudian, Jenderal Zahedi mengambil-alih kekuasaan dan Perdana Menteri Mossadegh akhirnya menyerah.

Partai Tudeh dan Musavi 

Jika ada yang berpandangan bahwa Mir Husein Musavi adalah antek Amerika, nampaknya masuk akal juga. Sewaktu Ayatullah Khomeini berhasil menggulingkan Shah Iran pada 1979, Abu Hasan Bani Sadr dan Musavi berada di belakang Khomeini. Bani Sadr, sedari awal memang seorang intelektual didikan Perancis berhaluan Sosialis Demokrat. Namun Musavi, sebernya punya latarbelakang yang sedikut misterius. Mengingat hubungannya yang erat dengan Partai Tudeh yang berhaluan kiri.

Bahkan pada 1953, ketika Mossadegh digulingkan, Partai Tudeh dikenal sebagai partai berhaluan kiri yang berambisi meraih kekuasaan melalui jalan revolusi. Dan dalam skema inilah Musavi sebernarnya muncul dari haribaan Partai Tudeh. Alhasil, sewaktu Khomeini berhasil mengkonsolidasikan pemerintahan Islam Iran yang didominasi Islam Syiah, makaq Bani Sadr dan Musavi terpaksa harus lari ke luar negeri menghindari penangkapan pemerintahah Mullah pimpinan Khomeini.

Fakta ini semakin logis ketika pada 1953, dalam rencana operasi intelijen Amerika dan Inggris menggulingkan Mossadegh, CIA ternyata menggalang pasukan gerilyawan dari Partai Tudeh. Ironis memang, Amerika yang notabene anti komunis justru menggunakan elemen-elemen sayap kiri Iran untuk menggulingkan pemerintahan Mossadegh yang dituduh Amerika sebagai berhaluan ultra-nasionalis, kiri radikal dan pro Moskow.

Namun politik terkadang menggunakan segala cara, apalagi ketika operasi Ajax pada dasarnya ditujukan untuk memulihkan hak-hak perusahaan-perusahaan Inggris Anglo Iranian Oil Company.

Sebagai imbalan dari keberhasilan kudeta terhadap Mossadegh tersebut, beberapa perusahaan multinasional asing berhasil mendapatkan lisensi untuk beroperasi di Iran. Antara lain Royal Dutch Shell, Francaise des Petroles, dan lima perusahaan minyak Amerika.

Dari fakta ini terbukti, bahwa aktor intelektual di balik skema operasi semacam ini adalah Inggris. Dan Amerika sebagai pelaku utama alias Project Officer dari operasi Ajax.

Operasi CIA Gulingkan Rezim Juan Arbenz dari Guatemala

 Setahun kemudian, tepatnya 1954, CIA yang ketika itu masih dalamkendali Allen Dulles, dengan diinspirasi oleh keberhasilan menggulingkan Mossadegh di Iran, mulai menyusun rencana mengkudeta Juan Arbenz yang dituduh Amerika sebagai berhaluan kiri dan pro Uni Soviet.

Maka seperti juga halnya di Iran, CIA kemudian membina seorang perwira menengah, bernama Kolonel Castilo Armas, untuk menjadi ujung tombak dari suatu kudeta militer menggulingkan Arbenz. Lagi-lagi, operasi ini berhasil dengan sukses, maka tampillah Kolonel Armas sebagai penguasa politik baru di Guatemala yang berhaluan kanan dan pro Amerika.

Gerakan CIA Menggoyang Chavez

Kalau dua kasus terdahulu terjadi di era 1950-an, kasus yang terjadi Venezuela ini justru terjadi sekitar 2007 lalu. Ceritanya begini. Karena Hugo Chavez dinilai Amerika sebagai presiden yang bermusuhan kepada pemerintahan Bush, maka disusunlah operasi intelijen menggoyang Chavez dengan cara mendukung kelompok oposisi menolak referendum konstitusi yang diajukan Chavez.

Alhasil, situasi politik di Venezuela praktis terpecah dua antara yang mendukung dan menolak referendum konstitusi. Inilah situasi yang kemudian diolah dan dimanfaatkan oleh CIA untuk menyusun Operasi Tenaza atau Operasi Pincer, yang intinya menggagalkan referendum konstitusi.

Operasi intelijen Amerika ini nampaknya dipimpin oleh pejabat kedutaan besar Amerika di Venezuela Michael Middleton Steere. Tidak jelas apakah ini nama sebernarnya atau hanya julukan belaka. Yang jelas, CIA menggunakan taktik klasik yaitu dengan menggalang dukungan militer dari dalam jajaran komando kemileteran itu sendiri. Maklum, karena Chavez sendiri ternyata mendapat dukungan lumayan kuat dari beberapa perwira tinggi angkatan udara, perwira menengah dan beberapa jenderal.

Bagi Indonesia yang sering mengalami kelangkaan bahan-bahan pokok alias Sembako secara tiba-tiba, sebaiknya menyadari bahwa taktik semacam ini rupanyan sering dilakukan CIA. Di Venezuela, rupanya CIA menyusun skenario kelangkaan bahan-bahan pokok sehingga memicu instabilitas politik dan memunculkan citra buruk bagi Presiden Chavez.

Tapi rupanya CIA tidak puas dengan cara-cara seperti itu. Taktik lain yang digunakan juga tak kalah kotor. Yaitu dengan memberikan suara menolak referendum dengan menggunakan kertas palsu. Sekaligus menerapkan praktek Maling teriak Maling. Yaitu dengan menyerang petugas referendeum dan propaganda dengan tuduhan pihak pemerintah telah melakukan pemalsuan perolehan suara pendukung referendum konstitutsi.

Referendum Konstitusi ini memang mencemaskan bagi Amerika karena dalam referendum yang diusulkan tersebut memberikan kewenangan kepada presiden mengontrol bank sentral, membentuk provinsi-provinsi baru yang diperintah oleh pejabat yang diangkat oleh pemerintah pusat, dan diturunkannya usia pemilih dari 18 menjadi 16.

Selain itu, referendum konstitusi juga memihak kepentingan kaum buruh dan pekerja. Misalnya dengan menetapkan jam kerja maksimum enam jam per hari dan 36 jam per minggu dan memperluas tunjangan keamanan  sosial ke para pekerja di sektor ekonomi informal.

Sayang sekali, berkat dukungan dana yang besar dari Amerika melalui operasi CIA terhadap berbagai elemen oposisi Venezuela, referendum konstitusi yang ditawarkan Chavez berhasil digagalkan dengan angka tipis 4.504.354 suara menolak (50,70%)  versus 4.379.392(49.29%).

Hanya saja, beruntung bagi Chavez karena meski kalah dalam referendum, namun kekuasaan tetap berada di tangan Chavez. Sehingga perjuangan dirinya untuk mewujudkan revolusi sosialisme tetap bisa dilanjutkan melalui sarana-sarana lain. Setidaknya Chavez masih punya banyak waktu sampai kekuasaannya berakhir pada 2013 mendatang.

Relevansinya bagi Indonesia

Indonesia, 8 Juli mendatang, akan mengadakan Pemilihan Presiden secara langsung. Setelah mempelajari berbagai modus operandi CIA dan berbagai elemen oposisi yang didukung Amerika terutama dalam kasus Iran dan Venezuela, sudah semestinya Indonesia waspada terhadap skenario yang mungkin akan dimainkan CIA maupun M-16 dalam pemilihan presiden 8 Juli mendatang.

Apalagi fakta membuktikan bahwa Departemen Luar Negeri Amerika tetap didominasi oleh kalangan konservatif yang tidak bersahabat dengan negara-negara sedang berkembang yang berpenduduk Islam cukup besar, seperti Indonesia.

Apalagi beberapa pakar Amerika baik dari Ohio maupun Yale University yang sekarang melakukan tugas-tugas terselubung dengan berkedok penelitian, sudah berada di Indonesia sekitar beberapa bulan terakhir.

Mereka ini, menurut berbagai informasi yang berhasil dihimpun Global Future Institute, mempunyai kontak-kontak dan jaringan kerjasama dengan unit intelijen dan riset (INR) Departemen Luar Negeri Amerika. Beberapa agennya, dikenal sebagai Indonesianis.

Menyadari kenyataan tersebut, kita di Indonesia sudah seharusnya melakukan antisipasi terhadap skenario Amerika dalam menanggapi hasil pemilihan presiden jika hasilnya nanti tidak sesuai dengan keinginan atau agenda Amerika.

Karena itu, skenario Amerika untuk mendukung elem pro Amerika seperti yang dilakukan dengan mendukung Musavi di Iran, bukan tidak mungkin akan dilakukan di Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com