Suhendro, Pemerhati Masalah Kebangsaan
Memasuki tahap kampanye (terbuka dan tertutup) Pemilu 2014 yang berlangsung dari 16 Maret s.d 5 April 2014, para elite politik mulai melakukan berbagai kegiatan politik untuk memikat pemilih banyak dilakukan seperti kampanye arak-arakan konvoi massa, memasang foto dan pamflet di jalan-jalan umum mulai ditiang-tiang listrik, pohon-pohon kota, pagar, tembok-tembok, terminal, stasiun, sekolah pasar, bahkan gerobak angslepun tidak luput dari gambar caleg. Selain itu, ada juga dengan membagikan sembako, kalender gratis, pin yang ada foto caleg, memasang iklan baik di media massa maupun di media elektronik seperti radio, televisi atau media yang lain, bahkan mereka beramai-ramai membuka website untuk mempromosikan dirinya dalam Pemilu 2014.
Iklan politik lainnya adalah melalui gambar atau foto lengkap dengan atribut dan pangkat jabatan yang menempel di gambar atau foto tersebut. Pemandangan ini memang sudah kita lihat pada awal kampanye ini, disetiap sudut jalan raya sampai ke gang tikus dan bahkan mulai dari kecamatan, kabupaten, dan propinsi dipenuhi dengan konvoi massa dengan melibatkan motor, mobil dan anak-anak dengan membawa bendera dukungan terhadap salah satu caleg partai, mulai dari yang berpakaian sederhana, busana muslim, pakaian modern, berkerudung atau bahkan menggunakan sorban, peci putih, ada juga yang menggurai rambut indahnya. Belum lagi dalam gambar tersebut juga ditampilkan embel-embel gelar dan riwayat organisasi. Uangpun mengalir dengan deras untuk bisa membiayai semua kegiatan politik diatas, tidak dipungkirin, dana tidak hanya berasal dari partai tetapi para caleg harus merogoh uang sendiri, dan jika hal ini tidak mencukupi maka ditempuhlah cara-cara yang lain, seperti hutang, mencari sponsor dan lain-lain, kita bisa membayangkan berapa dana yang akan keluar?
Sampai kapan kita akan belajar demokrasi sedangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dikorbankan untuk kita bisa terus menjadi negara yang demokrasi? Perlu kita ingat, rakyat sudah terlalu menderita, airmata rakyat sudah terlalu terkuras, sampai kapankah rakyat harus tetap menderita? Tidak tahu susah diprediksi, karena para elite politik kita terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti sekadar mengeksploitasi emosi rakyat serta tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan. Melihat pesta demokrasi itu?
Gejala ini menggambarkan proses transisi demokrasi, terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian era transisi. Mereka sekarang banyak kita jumpai di publik dengan berbagai kedok, sok reformis, sokmengkritik, dan provokatif. Di balik itu semua, ujung-ujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita dalam berbagai permainan politik. Kita tentu tidak ingin cita-cita kemerdekaan yang ditentukan dalam konstitusi, yaitu melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, kehidupan bangsa sekedar teks yang indah tapi kosong.
Sementara itu, harga dalam berdemokrasi menjadi mahal karena tata nilai politik lebih banyak direduksi untuk kepentingan material belaka. Sebagian besar kelompok politik lebih menyukai desain sistem pemilihan yang memihak mereka yang berkemampuan finansial dan memiliki popularitas lebih. Walaupun kecakapan dan kapabilitas mereka dipertanyakan, asal punya uang dan terkenal, mereka akan mampu mengendalikan demokrasi negeri ini.
Demokrasi pun tidak ubahnya aksesori belaka yang ditempelkan dalam berbagai baju, tetapi sesungguh sudah kehilangan karakternya. Dalam proses pembahasan sistem pemilihan (UU Pemilu), dapat kita rasakan betapa para kelompok politik tersandera dan terjebak dalam beragam kepentingan transaksional. Atas hal itu, mampukah pemilu 2014 melahirkan kualitas anggota parlemen yang betul-betul berjuang untuk rakyat? kenyataan tersebut membenarkan argumen yang menyatakan secara umum proses transisi politik dari otoriter menuju demokratis saat ini masih terperangkap dalam sistem oligarki. Kebijakan politik yang demikian pada akhirnya hanya akan menghasilkan elite politik baru yang kepeduliannya diragukan untuk memihak kepentingan rakyat banyak. Bisa jadi politik uang memang tidak terlalu tampak dalam modus-modus lama.
Namun jika kita melihat begitu besar anggaran yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk dipilih sebagai anggota dewan, itu berarti kita sedang menonton pertunjukan lain bagaimana politik di Indonesia begitu dekat dengan aroma uang. Mereka yang memiliki dana besar bisa melakukan apa saja untuk merebut simpati rakyat, dan sebaliknya. Arti yang lain, simpati rakyat tumbuh akibat citra dan iklan, bukan dari sikap, perilaku, dan tanggung jawab seorang calon wakil rakyat.
Manipulasi Uang Realitas ini menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di situlah kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, tetapi juga calo media massa yang mampu menghipnotis publik seolah-olah mereka pantas menjadi pemimpin. Cukup beralasan pula bila ada pihak yang meragukan apakah setelah pemilu akan menghasilkan perubahan terhadap mutu politik di Senayan dan bahkan penyelenggaraan negara secara luas.
Maka dari itu..”Berhentilah memikirkan masa lalu. jangan terus mengingat-ingatnya ; Jalani hidup anda dengan antusias. Mulailah sekarang juga!!!, berusahalah sebaik mungkin!, Kerahkan semua daya upaya maka kehidupan anda akan berlimpahan”. …“Sukseskan Kampanye Demokrasi Tanpa Anarkis”..oke