Skema TPP AS Mengancam Kedaulatan Ekonomi Malaysia

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Amerika Serikat Desak Malaysia Cabut Kebijakan Bea Cukai Ekspor Kelapa Sawit (Palm Oil)

Kemitraan lintas pasifik atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Trans Pacific Partnership(TPP), tak pelak lagi merupakan instrument ekonomi untuk melayani kepentingan ekonomi strategis Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Lihat saja 12 negara yang tergabung dalam TPP: Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, Chile, Mexico, Peru, Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia dan Jepang.

Kira-kira setahun yang lalu, beberapa elemen masyarakat di Malaysia menaruh kekhawatiran terhadap perjanjian TPP karena masyarakat tidak diberi akses informasi untuk mengetahui apa hasil-hasil yang dicapai dan dampaknya bagi perekonomian-perdagangan Malaysia ke depan. Karena apapun kesepakatan yang berhasil dicapai melalui TPP, sudah barang tentu akan mengikat ke-12 negara yang tergabung dalam TPP.

Dengan kata lain, beberapa elemen masyarakat Malaysia menaruh kekhawatiran bahwa melalui skema TPP, kadaulatan ekonomi Malaysia akan terancam. Dan nampaknya, para pemegang otoritas perekonomian nasional Malaysia sudah mengisyaratkan bahwa perjanjian TPP belum bisa direalisasikan pada tahun ini.

“Masih sulit diprediksi kapan kesepakatan TPP ini bisa dicapai kesepakatan. Tidak mungkin dilaksanakan secara tergesa-gesa,” begitu menurut Menteri Perdagangan dan Perindustrian Internasional Mustapa Mohamed pada awal tahun 2014 lalu.

“Ada banyak isu, terutama dalam negeri, yang menjadi masalah utama kami. Kesepakatan yang dicapai lewat TPP tidak boleh mengorbankan kepentingan dan agenda nasional kami,” lanjut Mustapa Mohamed.

Mustapa Mohamed memang tidak merinci apa yang menjadi dasar kegusaran dan kekhawatiran pemerintah Malaysia terhadap kesepakatan TPP. Namun secara umum Mustapa mengisyaratkan bahwa yang menjadi masalah krusial pemerintah Malaysia adalah erat kaitannya dengan soal ekspor Malaysia ke luar negeri.

Sejujurnya, memang soal ekspor Malaysia ke luar negeri inilah yang jadi masalah krusial dalam perundingan antara Amerika Serikat dan Malaysia dalam skema TPP. Sumber Global Future Institute menginformasikan bahwa Amerika Serikat sedang mendesak Malaysia untuk menghapus kebijakan Bea Cukai Ekspor untuk Minyak Kelapa Sawit (Palm Oil). Jika Malaysia setuju, berarti Malaysia akan kehilangan anggaran 600 juta dolar Amerika Serikat per tahun.

Skema TPP Kedok AS untuk Terapkan Kebijakan Proteksi

Bagaimana kesepakatan yang akan dicapai pada akhirnya nanti, masih sulit diprediksi. Namun yang jelas melalui skema TPP ini, jelas lah sudah bahwa Amerika Serikat sejatinya tidak secara sungguh-sungguh bermaksud untuk menciptakan pasar terbuka/free market  secara adil dan terbuka. Sebagai misal, hingga kini Amerika tetap menerapkan proteksi terhadap masuknya produk gula dan susu dari negara lain.

Sebaliknya, untuk melakukan ekspor produk-produk negaranya ke luar negeri, skema TPP dijadikan alat bagi Amerika agar produk eskpornya bisa masuk negara-negara yang tergabung dalam skema TPP secara bebas hambatan.

TPP sejak 2011, memang dicanangkan oleh Amerika Serikat sebagai blok perdagangan yang berskala lebih luas dibandingkan dengan blok ekonomi-perdagangan Asia Pasifik ala APEC atau Free Trade Area for the Asia Pacific Agreement di abad 21.

Gagasan utama yang mendasari disusunnya skema TPP AS adalah kebijakan proteksi terhadap aset-aset ekonomi dan produk-produk Amerika dalam persaingannnya dengan negara-negara lain. Terutama dengan Cina yang dipandang Washington sebagai pesaing utama di ranah ekonomi dan perdagangan. Khususnya dalam merebut pengaruh dan pangsa pasar di kawasan Asia Pasifik.

Yang menjadi isu strategis yang diusung Amerika adalah Intellectual Property Right (IPR), Electronic Commerce dan Cross border data flow (Arus informasi lintas negara), Badan Usaha Milik Negara (State owned Enterprise), dan akses pasar bagi produk-produk tekstil dan garmen.

Maka dari itu, desakan pihak AS agar Malaysia menghapus kebijakan bea cukai ekspor untuk minyak kelapa sawit (Pal Oil), nampaknya masuk akal jika dilihat dari misi utama Amerika memotori terbentuknya Perjanjian TPP.

Tak heran jika The United States Trade Representative (USTR) hanya bersedia membuka akses pasar kepada beberapa negara yang dipandang sebagai sekutunya yang sepertinya setuju dengan skema TPP AS seperti Selandia Baru, Brunei, Vietnam, dan yang sekarang sedang diharapkan yaitu Malaysia. Dan tentu saja kepada Meksiko dan Kanada yang selain sudah menjalin ikatan dengan Amerika terkait TPP, juga merupakan sekutu strategis AS sejak era Perang Dingin.

Aspek lain yang ditekankan Amerika melalui skema TPP adalah, penekannya pada hubungan dan kerjasama bilateral antar negara, dan menghindari kesepakatan-kesepakatan strategis melalui forum multi-lateral. Sehingga bisa menekan negara mitra dialognya baik secara offensive maupun defensive dalam rangka mengamankan kepentingan-kepentingan strategis perdagangan Amerika.

Karenanya, salah satu isu krusial dalam beberapa perundingan antar negara-negara anggota TPP adalah: Soal pengaturan akses pasar bagi negara-negara TPP. Apakah direalisasikan lewat atas dasar kerangka pasar bersama (Common Market Access)antar sesama negara-negara anggota TPP, atau disepakati lewat kerjasama bilateral antara Amerika dan masing-masing negara anggota TPP terkait akses pasar (The Market Access Architecture).

Menghadapi skema AS tersebut, beberapa negara lebih cenderung menerapkan kesepakatan Pasar Bersama yang tentunya kesepakatan yang dibangun berdasarkan kesepakatan yang bersifat multilateral. Sehingga kesepakatan strategis berlaku bagi semua negara-negara anggota TPP.

Akar penyebab dari tidak mulusnya skema TPP AS tersebut karena Amerika pada dasarnya menggunakan skema TPP ini untuk melindungi atau menerapkan kebijakan proteksi terhadap sektor-sektor sensitif seperti Gula dan susu, gandum dan daging.

Bisa dipahami jika Amerika sangat berkepentingan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan perekonomian di sektor pertanian dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Malaysia. Syukurlah, para pemegang otoritas ekonomi Malaysia sudah mulai menyadari adanya agenda tersembunyi di balik skema TPP yang dimotori oleh Amerika.

Bahkan saat ini, asosiasi-asosiasi pebisnis di sektor industri dan  jasa di Amerika, juga punya pertaruhan yang cukup besar di negara-negara kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, mengingat Cina semakin menguatnya pengaruh Cina yang saat ini semakin mengimbangi pengaruh Jepang dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Waspadai Konflik Hukum Pemerintah versus Investor Asing

Karena itu, Global Future Institute merasa perlu mengingatkan para stakeholderskebijakan perekonomian nasional untuk mewaspadai salah satu isu krusial dari skema TPP tersebut yaitu: Pertikaian Hukum antara Pemerintah dan Investor Asing.

Apalagi jika kemungkinan pertikaian tersebut berkaitan dengan akses air minum, pembangunan tambang di wilayah-wilayah yang melibatkan adat-istiadat setempat yang masih dianggap sakral (Indigenous sacred sites), larangan penggunaan bahan-bahan kimia, maupun peringatan kesehatan bagi para perokok (Health Warnings on cigarette packages).

Sepertinya TPP ini bagi AS memang amat penting dan vital. Terbukti bahwa TPP ini dirancang berdasarkan gagasan membangun kemitraan lintas pasifik untuk membentuk kemitraan strategis di bidang ekonomi, yang nampaknya akan dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan kerjasama ekonomi yang semakin erat di bawah skema Pacific Agreement on Closer Economic Relations (PACER Plus).

Nah melalui skema TPP maupun PACER Plus, masalah krusial yang patut diwaspadai adalah tentang hubungan antara pemerintah dan investor asing. Karena bukan tidak mungkin, agenda-agenda tersembunyi 600 korporasi AS akan menanam pengaruhnya melalui kesepakatan-kesepakatan hukum yang dibuat dengan negara-negara anggota TPP.

Salah satu klausul yang harus diwaspadai adalah, kika terjadi pertikaian hukum antara pemerintah dan investor asing, pihak investor asing menolak untuk merujuk pada produk hukum nasional negara di mana pihak investor tersebut mengelola bisnisnya, melainkan akan memaksakan penyelesaian hukum melalui Badan Arbitrase Bisnis Internasional.

Pada posisi tersebut, negara-negara berkembang termasuk Malaysia dan Indonesia, yang akan terjerat dalam kesepakatan semacam ini, bisa dipastikan berada dalam posisi yang sangat lemah dan tidak berdaya.

Maka itu, Global Future Institute memberi apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap sikap pemerintah Malaysia yang tidak ingin terlalu tergesa-gesa untuk melibatkan diri dalam perjanjian TPP bersama 11 negara lainnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com