“Kerusuhan massa dan pola penghancuran wilayah di Wamena kemarin hampir mirip dengan modus bumi hangus dalam perang total yang lazim digunakan oleh militer. Ini temuan di TKP. Maka analisa apapun, atau kajian terkait konflik Wamena serta menebak siapa di balik kerusuhan sosial tersebut, niscaya akan mengait pada sebuah manuver militer. Entah dalam hal ini pola dan modus militer dari negara mana. Ini bukan tuduhan, tetapi hanya analisa awal berbasis geopolitik“.
Asumsi Geopolitik
Bagi peminat dan pembelajar geopolitik seperti saya, judul catatan kecil ini selain menukik, ujug-ujug, mungkin juga menggelitik benak para pembelajar. Mengapa ada Cina? Mungkin bisa dimaklumi terkait OBOR atau BRI-nya Cina di Pasifik Selatan. Lain waktu kita ulas. Lantas, siapa HAM? Apa dan mengapa kelompok HAM dimaksud?
Prolog ini hanya mengurai fakta dan data, kemudian menerangkan berbasis geopolitik. Belum memiliki akurasi serta tak ada maksud untuk pembenaran (ataupun menggurui), apalagi mengklaim sebagai sebuah kebenaran. Karena keterbatasan wawasan dan sedikit referensi yang dimiliki penulis, catatan ini terbuka untuk kritik, diskusi dan saran, terutama masukan para pihak-pihak yang berkompeten nantinya.
HAM dalam judul di atas bukanlah kepanjangan dari Hak Azasi Manusia sebagaimana lazim orang menyebut, tetapi diksi HAM di sini merupakan singkatan dari sebuah pakta (pertahanan) tersirat dari beberapa negara yang meliputi Holland (Belanda), America (Amerika Serikat/AS) dan Melbourne (Australia).
Nah, merujuk judul dimaksud, timbul pertanyaan, apa kaitan Belanda dengan kerusuhan massa di Wanena; mengapa ia diduga ada di kelompok HAM? Jawaban singkatnya ialah, justru Belanda merupakan negara Eropa yang memiliki konsesi sejarah cukup lama di sana bahkan ketika Papua belum menjadi bagian Indonesia (NKRI). Lalu, kenapa ada AS di HAM? Ya. Selain memiliki konsesi emas di Freeport, AS merupakan aktor negara dan/atau pihak ketiga dalam ‘sengketa Papua’ antara Indonesia versus Belanda tempo doeloe. Dengan kata lain, tanpa “bantuan” serta tekanan AS terhadap Holland, mungkin sejarah Papua bicara lain tidak seperti yang tertulis hari ini. Lantas, mengapa pula ada Australia di HAM? Tentu. Selain ada lintasan sejarah dengan Papua semasa Perang Dunia (PD) II, Australia itu negara dominian (protektorat) Inggris. Sedang Inggris sendiri merupakan sekutu tradisional AS.
Mapping berikut, bahwa selain jarak antara Papua dengan kelompok HAM yang terdekat adalah Australia, juga di Melbourne ada pangkalan militer AS (dan sekarang ditambah lagi dengan Darwin yang dekat dengan Timor Leste). Retorikanya begini, “Apa urgensi Paman Sam menempatkan militernya di Melbourne?”
Sampai di sini, setidaknya para pembelajar geopolitik sudah dapat merangkai data merajut fakta, kenapa judul tulisan ini begitu menukik. Yah, meski pemahaman atas rajutan fakta serta data di atas baru pada level tataran hilir (tataran kulit – red), namun cukup lumayan sebagai pengantar prolog ini.
Kini membahas di hulu geopolitik (global) secara sekilas. Inti clue dalam (hulu) geopolitik adalah What Lies Beneath The Surface. “Apa yang terkandung di bawah permukaan”. Itu kata kuncinya!
Tidak boleh dipungkiri siapapun, bahwa penguasaan Barat cq AS atas emas di Freeport berjalan sejak Orde Baru lahir. Penguasaan itu tertancap kuat hingga sekarang. Di sini, saya tidak membahas 51% saham Freeport yang konon telah berpindah ke Indonesia atas “support” 11 bank asing. Lain waktu kita bahas.
Pertanyaan selidik muncul, sesungguhnya Papua tersimpan apa sehingga sangat sexy di mata para adidaya global?
Ada dua asumsi global berputar-putar di langit geopolitik. Pertama, barang siapa menguasai Papua maka akan eksis hingga 200-an tahun kedepan karena faktor kekayaan alamnya; kedua, faktor geostrategis dan Papua memiliki konsesi histori geopolitik global.
Tak boleh disangkal, ketika PD II dahulu, karena faktor geoposisi Papua maka MacArthur berhasil memukul mundur Jepang melalui strategi lompat katak (leapfrog strategy), yakni manuver militer dari pulau ke pulau di sepanjang pulau-pulau yang berada di Lautan Teduh (Pasific sekarang) guna memukul Jepang karena faktor geoposisi Biak dan gugusan pulau di Samudera Pasifik. Itulah konsesi sejarah Papua dalam dinamika geopolitik global, khususnya bagi kemenangan AS terhadap Jepang dalam PD II.
Jika dianalogi pada konflik global, Papua itu mirip (memiliki kesamaan) dengan Suriah. Kenapa? Suriah diperebutkan para adidaya melalui proxy warfare karena faktor energi dan geoposisi strategis karena berada di titik simpul Jalur Sutra. Jalur ekonomi dan militer yang melegenda di dunia. Itu takdir geopolitik Suriah di mata para adidaya. Bila kembali ke Papua dengan merujuk analogi Suriah tadi, bahwa menguasai Papua, maka selain memiliki konsesi atas oil, gas, emas dan potensi tambang lain, juga punya investasi geostrategi akibat geoposisi yang strategis. Dan dalam sejarah nusantara pun Papua merupakan ujung dari Jalur Rempah-rempah Nusantara yang usianya jauh lebih lama dibandingkan dengan Jalur Sutra (terpaut lebih dari 2000 tahun).
Itu artinya, jika kelak meletus PD III yang diramal bakal meletus di Asia Pasifik. Maka melihat kerusuhan Wamena kemarin, dalam perspektif asymmetric war, itu cuma isu belaka. Karena agenda yang diharap bahwa aparat Indonesia nantinya akan out of control serta melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dan itu memang yang diharapkan dan ditunggu oleh mereka selama ini.
Nah, telaah singkat ini cuma sekedar prolog guna membuka dialog lebih luas dan dalam.
Silahkan ….
Ghuzilla Humeid-Network Associate Global Future Institute (GFI)