NKRI di Papua Sudah Final!

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, peneliti politik di Galesong Institute, Jakarta 

Pemerintahan Presiden Jokowi telah memberikan prioritas bagi pembangunan Papua.  Komitmen itu ditunjukan dengan percepatan pembangunan infrastruktur transportasi, baik darat laut maupun udara.  Pemerintah sendiri menargetkan pada tahun 2018 telah terbangun jalur darat yang menghubungkan seluruh kabupaten di Papua.  Selain itu, pemerintah juga menaruh perhatian terhadap persoalan peningkatan kesejahteraan dan ekonomi dengan mendorong arus investasi di Papua.  Pabrik pengolahan sagu milik Perhutani didirikan di sorong Selatan, Papua Barat, disusul dengan rencana pendirian pabrik Semen berkapasitas 1 juta ton/ tahun kerjasama antara BUMN PT. Semen Indonesia Tbk dengan melibatkan BUMD setempat.

Untuk mendukung rencana tersebut, pemerintah telah menganggarkan Rp. 3,8 triliun baik untuk infrastruktur transportasi maupun membangun pusat-pusat kegiatan nasional seperti Sorong, Jayapura dan Timika, serta pusat kegiatan strategis di Manokwari, Raja Ampat dan Tanah Merah.  Bahkan, pemerintah juga memberi kesempatan lebih luas pada media massa untuk meliput Papua sebagai wujud komitmen keterbukaan dan penghargaan terhadap kebebasan yang selama ini selalu diopinikan seolah pemerintah berlaku represif terhadap kebebasan.  Kebijakan ini tentu diharapkan dapat mengantarkan Papua pada kemajuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sebagaimana menjadi harapan seluruh masyarakat Papua.

Namun, sungguh disayangkan sekali ditengah upaya pemerintahan Presiden Jokowi dengan dukungan seluruh komponen masyarakat Papua dan segenap stakeholder terkait untuk memacu peningkatan pembangunan Papua di segala bidang, muncul sekelompok kecil masyarakat yang mengklaim aspirasi luas masyarakat Papua dengan mengusung isu referendum dan mengingkari sejarah para tokoh Papua yang telah berjuang bersama-sama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Aksi mereka ini justru menghambat pembangunan dan bertentangan dengan aspirasi mayoritas masyarakat Papua.

Propaganda Separatis Berkedok Civil Society

Jika kita cermati, segelintir orang ini mengorganisir diri melalui sejumlah komite aksi yang bergerak melalui jalur diplomasi politik, baik dalam negeri maupun internasional.  Mereka diikat dengan tujuan yang sama yakni menggalang dukungan untuk memisahkan diri dari NKRI dengan segala macam upaya, baik yang moderat melalui referendum dan diplomasi politik, maupun garis keras dengan gerakan separatis bersenjata.  Kelompok yang bergerak dalam negeri mendomplengi isu-isu demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi Manusia (HAM).  Mereka secara intensif melakukan aksi-aksi ekstra parlementer dengan menggelar rally, unjuk rasa, forum diskusi, seminar, advokasi, propaganda dan membentuk opini untuk mendiskreditkan pemerintah dan menggalang dukungan referendum yang muaranya pemisahan diri dari Indonesia.

Propaganda dan pemutarbalikan fakta menjadi strategi untuk mendiskreditkan pemerintah.  Isu pelanggaran HAM, represi atas kebebasan berserikat dan politik, stigma pemerintah Indonesia sebagai penjajah kolonial, dan integrasi Papua sebagai wilayah sah dan berdaulat NKRI merupakan bentuk aneksasi, ditebarkan untuk meraih simpati dalam negeri maupun komunitas internasional.  Kelompok ini mencitrakan diri seolah civil society yang berjuang untuk kemanusiaan dan HAM, padahal di balik itu tak lebih adalah para aktivis yang menyebarluaskan kebencian terhadap NKRI dan baik langsung maupun tidak langsung dapat dikategorisasikan sebagai bentuk dukungan upaya subversif dan separatisme.

Aksi propaganda yang kontra dengan aspirasi mayoritas masyarakat Papua ini dapat dilihat dari seruan organ Parlemen Rakyat Daerah/PRD wilayah Merauke pada 11 April 2016 di Distrik Merauke, Papua.  PRD secara aktif membujuk masyarakat Papua untuk mendukung kelompok yang menyebut dirinya sebagai Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota tetap Melanesian Spearhead Group (MSG), dan menuntut diadakannya referendum bagi West Papua yang akan dibahas pada pertemuan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London-Inggris pada 3 Mei 2016.

Aksi dukungan serupa juga dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya sebagai Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan menggelar unjuk rasa pada 13 April 2016.  Bahkan, KNPB secara aktif melakukan tindakan yang mengarah pada provokasi dengan menstigma Indonesia sebagai penjajah kolonial dan meski menyatakan menentang setiap bentuk upaya penegakan hukum yang dapat saja berimplikasi pada penggunaan kekuatan paksa, sulit untuk dipungkiri bahwa propaganda KNPB dapat menjadi sumber inspirasi radikalisme dan tindak kekerasan massa.

Sementara itu, aksi simpatisan terhadap gerakan radikal di Papua juga berlangsung di Jakarta.  Pada 12 April 2016, di Kantor LBH Jakarta, berlangsung Jumpa Pers Kelompok Masyarakat Sipil Pendukung Kebebasan Berekspresi di Papua, dengan tema “Hentikan Represifitas dan Pengekangan Kebebasan Berekspresi Rakyat Papua”.  Dalam kesempatan aksi yang dihadiri segelintir orang ini, aktifis LBH Jakarta, Alghifari Aqsa mengatakan, bahwa mereka mendukung hak atas kebebasan berekspresi rakyat Papua, mendesak aparat TNI/Polri untuk tidak bertindak represif kepada rakyat Papua khususnya pada aksi besar 13 April 2016.

Internasionalisasi isu Papua juga berlangsung dengan munculnya desakan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) kepada Pemerintah Indonesia, International Parliamentarians for West Papua (IPWP), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), agar mengakui ULMWP sebagai badan koordinasi dan persatuan yang mewakili seluruh kepentingan bangsa Papua yang bertempat tinggal di wilayah Papua dan Papua Barat.  Keberadaan IPWP dan ILWP sendiri tidak lepas dari peran sejumlah anggota parlemen dan pengacara asing seperti Richard di Natale maupun Jennifer Robinson yang memberikan dukungan Benny Wenda, pada aktivis OPM yang mendapat suaka di Australia. Jennifer Robinson (pengacara Australia simpatisan OPM) sendiri aktif menggalang konferensi sejumlah pengacara di Oxford, Inggris dalam International Lawyers for West Papua (ILWP) yang mendorong agar persoalan Papua dibawa ke Mahkamah Internasional.

Sepak terjang kelompok seperti PRD, KNPB, ULMWP dan organ simpatisannya tentu saja harus diwaspadai sebagai bentuk ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan eksistensi pembangunan Papua.  Kelompok ini tidak lebih dari kelompok elitis yang tidak memiliki basis massa yang jelas, ahistoris terhadap persoalan Papua dan tidak memahami aspirasi masyarakat Papua secara luas.  Bahkan, sangat terbuka kemungkinan bahwa kelompok ini bekerja untuk kepentingan asing dengan mengeksploitasi isu-isu Papua untuk menutupi kepentingan tersembunyi atau hidden agenda menguasai sumber daya strategis di Papua.

Perlu Kehati-hatian dan Sikap Tegas

Status Papua sebagai bagian integral dalam kedaulatan Indonesia sesungguhnya sangat kuat, baik dalam dimensi hukum, politik, maupun dukungan internasional.  Mengacu pada prinsip uti possidetis juris yang diakui sebagai hukum internasional untuk menetapkan batas-batas negara yang baru merdeka berikut dekolonisasi, Indonesia berhak atas wilayah Papua yang sebelumnya merupakan wilayah koloni Hindia Belanda sejak tahun 1828.  Begitupula jika merujuk pada hasil The Act of Free Choice (self determination) atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang demokratis dan representatif di Papua yang melahirkan resolusi PBB No. 2405.   Hasil Pepera ini sah menurut New York Agreement 1962 dan keputusan Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505 pada 19 November 1969.  Karena itulah, status Papua sebagai bagian kedaulatan Indonesia tidak hanya kuat karena hasil keputusan rakyat Papua itu sendiri, tetapi telah diakui oleh masyarakat internasional dan PBB.  Berdasarkan pertimbangan tersebut, tentu tidak ada satu alasan pun yang cukup kuat untuk menggugat klaim NKRI atas kedaulatannya di wilayah Papua.

Begitupula dengan respon negara-negara kepulauan Pasifik yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang mengakui secara penuh kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke.  Bagi negara anggota MSG, persoalan Papua adalah masalah internal Indonesia dan tidak lebih dari sekedar persoalan proses pembangunan yang belum berjalan secara efektif sejak dekolonisasi berlangsung ketika Papua memutuskan kembali ke pangkuan NKRI.  Sikap MSG ini belum sampai pada taraf memberikan pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi masyarakat Papua sebagaimana tuntutan ULMWP.

Memang, hingga saat ini belum ada negara yang memberikan pengakuan terbuka terhadap propaganda Papua merdeka.  Namun kita perlu berhati-hati dan menjaga seluruh masyarakat Papua untuk tidak terpancing dan terhasut dengan propaganda para aktivis Papua merdeka yang gencar menebar kebencian terhadap pemerintah Indonesia dan memanipulasi fakta yang dapat menyesatkan masyarakat.  Pembangunan Papua sebagaimana aspirasi masyarakat Papua harus tetap berjalan terus.  Karena itu, ketegasan diperlukan untuk menghadapi kelompok-kelompok illegal dan anti NKRI dengan menggunakan berbagai instrument yang dianggap diperlukan dalam koridor hukum dan kepentingan nasional.  Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat kapasitas diplomasi luar negeri guna menggalang dukungan internasional dalam memerangi propaganda para aktifis Papua merdeka dan simpatisannya di forum-forum internasional.  Apapun yang dipertaruhkan, tidak ada yang terlalu mahal untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI.  Tidak ada satu negara di dunia pun, bahkan negara yang mengklaim menjunjung tinggi HAM dan demokrasi, yang akan berdiam diri terhadap segala bentuk ancaman baik dalam negeri maupun luar negeri atas kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com