Pacul dan Kekuatan Ekonomi Bangsa

Bagikan artikel ini
Pacul, sebutan untuk cangkul yang biasa dipakai sehari-hari oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama orang Sunda dan Jawa. Selama ini, cangkul menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan. Saking dekatnya dengan kehidupan masyarakat, cangkul hadir menjadi tembang daerah yang dinyanyikan rakyat jelata sehari-hari. Di Jawa, R.C. Hardjosubroto, seorang komposer karawitan Jawa menciptakan lagi Gundhul Pacul. Konon, lagu ini sebelumnya dikarang oleh Sunan Kalijaga, dan Hardjosubroto hanya mempopulerkan sekaligus menyusun ulang langgamnya.
Tapi, siapa sangka salah satu alat pertanian paling popular di kalangan masyarakat pedesaan ini ternyata sebagian tidak diproduksi di Tanah Air. Pemerintah melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) tercatat mengimpor cangkul dari Cina. Cangkul impor ini masuk melalui Medan pada Agustus lalu. Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Syailendra mengatakan, pihaknya telah mendapat izin dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kemendag telah memberi penunjukan PT PII sebagai importir cangkul resmi.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward Senin (31/10/2016) mengatakan pihaknya memberikan izin kepada PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk mengimpor kepala cangkul yang dikeluarkan pada Juni 2016. Tampaknya, ada sejumlah alasan yang dikemukakan pihak kemendag untuk mendukung kebijakannya tersebut.
Pertama, impor cangkul dilakukan karena masyarakat membutuhkan alat pertanian ini dan permintaannya saat ini sangat tinggi. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kebutuhan cangkul setiap tahunnya mencapai rata-rata 10 juta unit. Jumlah ini belum mampu ditutupi oleh industri dalam negeri. Jadi, keputusan impor yang dilakukan pemerintah dipandang sebagai kebijakan realistis untuk kepentingan rakyat, terutama petani demi mewujudkan kemandirian pangan.
Kedua, impor cangkul dari Cina ini dilakukan tak lepas dari fenomena kelebihan produksi (over supply) baja di negeri tirai bambu itu. Akibat kelebihan penawaran, maka harga baja dan produk turunannya seperti pacul yang dibutuhkan di Indonesia menjadi sangat murah. Sedangkan harga cangkul dengan bahan baku besi baja lokal harganya lebih mahal.
Ketiga, sebagian pihak menilai dibukanya kran impor cangkul secara resmi dari Cina untuk mengatasi membanjirinya pacul ilegal yang masuk ke Tanah Air selama bertahun-tahun. Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Syailendra mengatakan impor cangkul perlu dilakukan untuk menekan peredaran cangkul impor ilegal.
Keempat, impor cangkul dilakukan untuk mendorong produsen lokal memperbaiki kualitasnya supaya bisa bersaing dengan produk yang sama dari negara lain sambil mengisi kekurangan pasokan dalam negeri.
Jika ditelisik lebih dalam, keempat dasar pijakan pemikiran tersebut bertumpu pada mind set menempatkan pengelolaan perusahaan dalam pengaturan negara. Dari kaca mata bisnis, keputusan tersebut tidak keliru, bahkan sangat benar dalam logika ekonomi, yang dijalankan nyaris sempurna sesuai prinsip teori equilibrium. Ketika terjadi kelebihan pasokan, maka harga komoditas, seperti baja di Cina akan turun. Saat itulah waktu yang tepat untuk membeli komoditas yang diperlukan karena harganya murah.
Ya, dari kaca mata ekonomi hal ini dibenarkan. Tapi persoalannya, mengatur negara bukan mengelola perusahaan, karena banyak variabel yang harus dipertimbangkan di dalamnya. Misalnya, bagaimana dengan nasib para pengrajin industri kecil dan menengah (IKM) yang selama ini memproduksi cangkul, dan selama bertahun-tahun menyandarkan hidupnya dari pembuatan alat pertanian yang paling dekat dengan petani itu.
Tingginya permintaan cangkul di dalam negeri bukan alasan untuk mengimpor dari luar. Justru sebaliknya harus menjadi pemicu untuk memenuhi kebutuhan tersebut di dalam negeri sendiri. Sudah saatnya petani didampingi untuk meningkatkan kualitas produknya dari hulu ke hilir, termasuk pemenuhan kebutuhan peralatannya seperti pacul dengan mengoptimalkan potensi lokal.
Selain itu, sebagian kalangan membela kebijakan impor cangkul dari Cina untuk mengatasi membanjirnya pasokan cangkul ilegal, sekaligus meningkatkan kualitas produksi dalam negeri. Tapi faktanya tidak ada korelasi antara jumlah impor ilegal dengan solusi membuka kran impor legal. Sebab, masalah ini berkaitan dengan arus keluar masuknya barang dari luar ke dalam yang berhubungan dengan pihak bea cukai, dan kebijakan pengetatannya.
Mengenai alasan impor untuk memperbaiki kualitas produk lokal, sepintas pandangan ini benar jika diletakan dalam iklim kompetisi ekonomi yang normal; tanpa persaingan, komoditas yang diproduksi cenderung tidak memiliki kualitas yang baik. Tapi persoalannya bukan itu, yang terjadi  saat ini adalah persaingan tidak sehat, antara sebuah produk yang didukung oleh hampir seluruh rantai komponen dari bahan baku, keterampilan hingga pemasaran, dengan produk yang digarap sekedarnya.
Bagaimana produk pacul buatan sebagian pengrajin lokal dari bahan daur ulang drum dan besi bekas dengan teknologi seadanya, akan bisa bersaing dengan IKM Cina yang dibuat secara pabrikan dengan dukungan bahan baku, regulasi, keterampilan hingga pemasaran dari pemerintahannya. Di berbagai negara seperti Cina dan Jepang, suku cadang dan produk turunan manufaktur sebagian dikerjakan oleh IKM, dengan dukungan penuh pemerintahannya. Produk Cina didukung oleh bahan baku yang baja yang murah. Selain itu, produk ini digarap secara profesional dengan peralatan yang lebih baik dari pada yang dipergunakan oleh para pengrajin Tanah Air.
Dalam kasus cangkul, sebenarnya kebutuhan dalam negeri sudah bisa dicukupi oleh produsen dalam negeri dengan kualitas baik seperti yang digarap PT Bima Bisma Indra (Persero) BBI. Tapi, sejak dibukanya kran impor yang sudah dimulai sebelum tahun 2000, posisi produsen dalam negeri terjepit. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari efek liberalisasi ekonomi yang dijalankan pemerintahan sebelumnya, terutama dua periode lalu. Masalah ini menunjukkan dengan jelas bahwa swasembada produksi dalam negeri dan kemandirian bangsa tidak bisa dilepaskan dari percaturan internasional. Kebijakan membuka kran impor dengan bebas tarif sebagaimana ditegaskan dalam Konsensus Washington, jelas cara lain untuk melemahkan industri lokal, bahkan membunuhnya.
Di sisi lain, upaya Kemenperin dan Kemendag yang sedang menyiapkan skema penugasan kepada tiga BUMN untuk memenuhi kebutuhan cangkul nasional dengan melibatkan IKM perlu diapresisasi positif. Ketiga BUMN, yaitu: PT Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), diminta untuk segera melaksanakan tugas dengan memaksimalkan peran IKM dalam memproduksi cangkul.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawa mengatakan, industri besar di dalam negeri mampu memproduksi 700 ribu cangkul per tahun. Selain itu, terdapat 2.000 IKM yang turut memproduksi cangkul dan tersebar di 12 sentra. Namun lebih dari itu, selama kran impor terus dibuka, sebagus apapun program di dalam negeri akan terseok-seok dalam implementasinya. Keseriusan pemerintah juga diuji dari sisi ini. Oleh karena itu, perlu dikawal secara kritis oleh rakyat Indonesia, terutama media.
Sejatinya, masalah impor pacul berujung pada benang kebijakan bagaimana menempatkan relasi negara dan bisnis swasta. Persis seperti pertanyaan dari dialog singkat dua orang, yang pernah disampaikan oleh kartunis politik Meksiko, El Pisgon. “Saya menentang negara mengatur bisnis swasta,” kata orang pertama. Dijawab orang kedua, “Jadi, kau lebih suka bisnis swasta mengatur negara ?” Impor pacul separuh buktinya !
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com