Paradoks Indonesia Ditengah Kebangkitan Ekonomi Asia Abad 21

Bagikan artikel ini

Agus Setiawan, Research Associate GFi dan Pegiat sosial politik dari Universitas Nasional

Kata Prabowo Subianto: “Paradok Indonesia”, bangsa yang kaya tapi rakyatnya miskin.

Goldman Sachs Group memperkenalkan empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia pada 2020 dengan sebutan BRIC, kepanjangan dari Brazil, Rusia, India, dan China. BRIC akan menjadi kekuatan ekonomi dominan abad 21, terutama China dan India yang diprediksi akan menjadi negara terbesar nomor satu dan tiga di dunia pada 2050, dan menjadi rival dari G-7. Selain BRIC, Goldman Sachs juga membuat istilah baru, yakni Next 11 yang mencakup Indonesia, Turki, Korea Selatan, Meksiko, Iran, Nigeria, Mesir, Filipina, Pakistan, Vietnam dan Bangladesh.

Morgan Stanley malah mengusulkan tambahan Indonesia pada BRIC menjadi BRICI, dengan alasan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, berdasarkan analisis IMF, PDB Indonesia diperkirakan mencapai US$ 3,2 Trilyun, masuk dalam 10 besar ekonomi dunia. The economist bahkan menempatkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru diluar BRIC bersama Kolumbia, Vietnam, Mesir, Turki dan Afrika Selatan dengan singkatan CIVETS pada 2030.

Standard Chartered dalam The Super Cycle Report pada 15 November 2010, melaporkan bahwa China akan menjadi superpower ekonomi pada 2020, negara ekonomi terbesar di dunia, dan India akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tiga di dunia pada 2030, menggeser Jepang dan Jerman.

Proyeksi Ekonomi Indonesia

Dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata tujuh persen per tahun dalam dua dekade mendatang, ditopang jasa consumer, ekspor sumber daya alam dan industri, The economist memproyeksikan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru diluar BRIC pada 2030. Bahkan IMF dan StanChart dengan semangat memprediksikan bahwa pada 2020, PDB Indonesia masuk urutan 10 besar dunia yakni US$ 3.200 Milyar, dibawah Rusia US$ 3.500 Milyar dan Inggris US$ 3.400 Milyar. Dan pada 2030, diprediksi ekonomi Indonesia bukan saja menggeser Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris bahkan mengalahkan Jepang.

Berdasarkan analisis statistik, Indonesia dewasa ini ditopang oleh 45 juta penduduk kelas komsumsi yang akan meningkat menjadi 135 juta pada 2030. Dan peluang pasar pun meningkat menjadi US$ 1,8 Trilyun pada sektor jasa consumer, pertanian, perikanan, sumber-sumber daya alam dan pendidikan.

Benarkah demikian? Menjawab pertanyaan diatas, Indonesia memang memiliki potensi untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar dunia pada masa mendatang. Namun proyeksi tersebut tidak memberikan optimisme terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia. Meski ekonomi kita besar, bangsa Indonesia belum sejahtera, masih tetap akan ketinggalan dari negara tetangga.

Mengapa? Tampaknya ada yang salah dengan sistem ekonomi yang kita terapkan selama ini. Di bidang energi misalnya, kasus lapangan gas Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat. Lapangan gas tersebut dikelola oleh perusahaan asing, harga gas dipatok US$ 3,35 per mmbtu. Sedangkan dari lapangan gas Bontang yang dikelola oleh  Pertamina bisa dijual dengan harga US$ 20 per mmbtu. Menurut hitungan Kurtubi, pakar energi, kerugian negara sangat besar bisa mencapai Rp 30  Trilyun. Siapa yang diuntungkan. Ya China sebagai konsumennya, dan Australia sebagai kontraktor pengelola gasnya. Coba, berapa keuntungan yang diraup China dan Australia bila harga pasaran US$ 22 mmbtu?

Gambaran lain adalah proyeksi ekonomi Indonesia pada 2010, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai US$ 700 miliar. Pendapatan per kapita US$ 3.000 per tahun. Cadangan devisa mencapai US$ 96,2 miliar per 31 Desember 2010, dan Indeks Harga Saham Gabungan mencatat rekor terbaik se-Asia Pasifik. Dalam bahasa statistik menunjukkan bahwa volume ekonomi Indonesia kini telah menempati peringkat 16 besar dunia, melampaui perekonomian Belanda.

Namun anehnya, angka-angka statistik tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Padahal, dengan tingkat per kapita US$ 3.000 per tahun, seharusnya rakyat Indonesia dapat menikmati subsidi Rp 2,5 juta per bulan dari pemerintah, bukan Rp 250 ribu per bulan. Apalagi dengan cadangan devisa yang hampir mencapai Rp 1.000 Trilyun.

Jadi memang perlu sebuah koreksi total terhadap sistem ekonomi yang kita terapkan selama ini, yang menghasilkan ketimpangan yang luas dan dalam antara yang kaya dan miskin. Banyak “pekerjaan rumah” yang harus kita selesaikan. Hampir diseluruh aspek perlu perbaikan, terutama menyangkut masalah infrastruktur yang terus membelenggu kita. Tanpa penyelesaian berbagai masalah yang kita hadapi, maka semua proyeksi yang ada hanya akan tinggal impian saja. Dengan kata lain, proyeksi itu dibuat bukan untuk dinikmati rakyat Indonesia, tetapi untuk dinikmati negara maju.

Posisi Indonesia Ditengah Kebangkitan Asia

Menurut Dr. Gerard Lyons, Chief Economist and Group Head of Global Research Stanchart, akan terjadi sebuah super-cycle dalam pertumbuhan ekonomi global. Hal Ini berdasarkan fakta bahwa negara-negara berkembang menjadi pendorong utama pertumbuhan, sedangkan negara barat dengan sistem ekonomi global yang liberal tetap diuntungkan sebagai pemilik modal.

Pada 2030, volume perekonomian global akan mencapai lebih dari US$ 300 triliun, volume ini naik dibandingkan posisi saat ini sebesar US$ 62 triliun.

Yang menarik, menurut laporan itu, negara-negara berkembang akan dapat melampaui negara maju. Keseimbangan kekuatan ekonomi dunia akan bergeser dari Barat ke Timur. Pemicunya adalah peningkatan perdagangan, terutama pada pasar-pasar dari negara berkembang, industrialisasi yang pesat, urbanisasi dan meningkatnya masyarakat kelas menengah di negara berkembang.

Pada saat itu, taraf hidup yang diukur dengan pendapatan per kapita riil, akan meningkat sembilan kali lipat di China dan India antara tahun 2000 dan 2030. Peningkatan penghasilan pribadi akan mendorong miliaran orang masuk kelas menengah dan meningkatnya konsumsi akan memacu pertumbuhan ekonomi domestik.

Tingkat pertumbuhan ekonomi China akan menjadi 6,9 persen selama dua dekade mendatang, bahkan menyalip Amerika Serikat untuk sebagai negara adidaya ekonomi dunia dalam satu dekade, yakni pada 2020. Pertumbuhan ekonomi India naik 9,3 persen dalam periode yang sama dan mengekori Amerika Serikat sebagai perekonomian terbesar ketiga pada 2030.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut laporan tersebut, dalam satu dekade mendatang, Indonesia akan menempati posisi kesepuluh sebagai kekuatan ekonomi dunia. Indonesia berada di bawah Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris yang berada di urutan keenam hingga kesembilan.

Namun, pada satu dekade berikutnya atau 2030, Indonesia bukan hanya mengalahkan empat negara tersebut. Indonesia bahkan akan mengalahkan Jepang yang sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia setelah Amerika dan China.

Pada saat itu, Indonesia berada di posisi kelima dunia dengan produk domestik bruto US$ 9,3 triliun sedangkan Jepang di urutan keenam dengan PDB US$ 8,4 triliun. Kalau prediksi itu terwujud menjadi kenyataan, dan rakyat Indonesia masih banyak yang melarat benar-benar sungguh paradok. Sekali lagi benar apa yang dikatakan oleh Prabowo Subianto, “Paradok Indonesia”, bangsa yang kaya tetapi rakyatnya miskin.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com