Ada dua perkembangan penting yang harus mendapat perhatian khusus para pemangku kepentingan bidang pertahanan (Stakeholders) Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Pertama, pada 5 April 2009 pemerintah Ukraina menglaim berhasil menguji coba penembakan rudal jelajah antikapal dan sasaran darat bernama Neptune. Dan merupakan teknologi sistem pertahanan terbaru Ukraina dengan hulu ledak berbobot 145 kg.
Kedua, terbetik kabar bahwa pada 24 Desember 2020 lalu, Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan Ukraina untuk pembelian rudal antikapal Neptune tersebut (anti-ship cruise missile) atau sistem senjata pertahanan pantai. Pemerintah Ukraina mengklaim Neptune resminya memakai label RK-360MC Neptun (Neptune) yang dikembangkan oleh Luch design bureau.
Namun jika Indonesia, khususnya Kementerian Pertahanan RI bermaksud membeli sistem senjata pertahanan pantai yang begitu dibangga-banggakan pemerintah Ukraina itu, ada beberapa fakta yang cukup meragukan baik dari segi reputasi, asal-usul perancang peralatan militer tersebut, maupun kualitas produk maupun daya dukung suku cadangnya atau spare-part-nya.
Terkait reputasi atau rekam jejaknya sebagai peralatan militer kualitas ekspor, jelas sangat meragukan. Seperti klaim pihak Ukraina itu sendiri, jika MOU RI-Ukraina tentang Pembelian Neptune tersebut terjadi, maka ini merupakan pengguna perdana rudal jelajah tersebut di luar Indonesia. Jelas dari fakta tersebut, belum teruji secara faktual bahwa peralatan militer yang diklaim produk buatan Ukraina tersebut memang betul-betul bisa diandalkan.
Lebih daripada itu, Neptune itu sendiri baru resmi dioperasikan pada 23 Agustus 2020. Adapun Indonesia-Ukraina menandatangani MOU pembelian rudal antikapal Neptune, pada 24 Desember 2020. Hanya selang tiga bulan sejak dioperasikannya Neptune. Fakta tersebut bukan saja mengundang keraguan, bahkan mencurigakan.
Lantas bagaimana dengan klaim Ukraina bahwa Neptune merupakan wujud dari keberhasilan pengembangan teknologi militer canggih? Kalau kita telisik secara lebih mendalam, Neptune yang memakai label resmi RK-360MC Neptun, sejatinya berbasis pada roket X-35 buatan Uni Soviet (Rusia).
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa sumber dari Amerika Serikat yang notabene saat ini merupakan sekutu strategis Ukraina, juga punya penilaian yang cukup kritis dan meragukan rudal antikapal Neptune tersebut. Bahkan sebagai rudal jelajah pun diragukan daya jangkaunya. Khususnya dalam kemampuan daya jangkaunya untuk memasuki zona operasi dari sistem senjata pertahanan dari negara musuh.
Bahkan menurut seorang pakar Rusia, Zhdanov, jika rudal antikapal Neptune tersebut dikerahkan ke sepanjang wilayah perairan yang berada dalam pengaruh Rusia, Ukraina secara fisik tidak akan mampu menjangkau wilayah perairan Rusia, apalagi digunakan untuk melancarkan serangan ampibi terhadap angkatan laut Rusia.
Adapun terkait dengan kecepatan subsonic-nya, sangat rawan untuk jadi sasaran interception(penghadangan) oleh serangan sistemrudal antikapal dari angkatan laut negara musuh.
Penilaian kritis dan penuh keraguan pihak Amerika Serikat terhadap kualitas dan kemampuan dari rudal antikapal Neptune tersebut semakin meyakinkan karena yang jadi sasaran penilaian adalah rudal tipe Kh-35 yang sejatinya adalah buatan Rusia. Bukan sekadar mirip yang pernah dikembangkan Rusia.
Tentu saja para pakar teknologi militer Ukraina mengabaikan penilaian kritis pihak Amerika, seraya menuding pihak Amerika terlalu mendramatisasikan titik lemah dari rudal buatan Rusia yang diklaim buatan Rusia tersebut.
Fakta lain yang mengundang keraguan dan tanda-tanya adalah sebagai berikut. Rudal jelajah Neptune yang menurut klaim Ukraina bisa diluncurkan dari kendaraan peluncur di darat, laut dan udara tersebut, mulai dipromosikan secara publik oleh pemerintah Ukraina pada pameran Weapon and Security pada 2015 yang diselenggarakan di Kiev, ibu kota Ukraina. Melalui pameran inilah kita baru tahu bahwa rudal itu baru dikembangkan pada 2013. Berarti, masih relatif baru. Adapun uji coba kali pertama, dilaksanakan hanya selang tiga tahun kemudian, pada 22 Maret 2016.
Yang lebih mencurigakan lagi, fakta bahwa uji penembakan pertama dilakukan pada pertengahan 2017, namun hasilnya tidak dipublikasikan secara luas kepada publik, maka sangat masuk akal jika uji coba penembakan hasilnya tidak menggembirakan, kalau tidak mau dikatakan gagal. Jadi, secara kualitas rudal antikapal Neptune sangat meragukan.
Selain itu masih ada dua hal lagi yang cukup rawan, jika pemerintah Indonesia, khususnya kementerian pertahanan bermaksud membeli Neptune. Pertama, pihak Rusia sendiri menganggap sistem rudal antikapal Neptune sebagai barang yang sudah kuno dan ketinggalan zaman. Menurut beberapa sumber, roket jenis RK-360MC Neptune itu, oleh Rusia sudah dikembangkan hampir setengah abad yang lalu (50 tahun yang lalu). Jadi sama sekali bukan produk peralatan militer yang masih tergolong modern apalagi baru. Sehingga beberapa pakar bahkan menyarakan agar Rusia tidak perlu panik ketika Ukraina meluncurkan Neptune.
Kedua, mengingat gambaran dan fakta-fakta yang meragukan atas kualitas, reputasi maupun asal-usul perancang teknologi militer Ukraina tersebut, beberapa sumber terpercaya mengatakan bahwa sistem senjata pertahanan antikapal Neptune tersebut sangat sulit untuk pengadaan spare-part atau suku cadangnya. Bisa dibayangkan jika sewaku-waktu Neptune mengalami kerusakan, dan suku cadang sulit diperoleh, maka praktis Neptune sama sekali tidak bisa dioperasikan.
Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa Ukraina merupakan non-trustable partner (bukan mitra terpercaya) bagi Indonesia dalam bidang kerjasama pertahanan. Maka, pemerintah Indonesia harus membatalkan MOU kontrak kerjasama pembelian rudal antikapal Neptune dengan Ukraina.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)