Pada tahun 1962 ada dua perkembangan yang cukup memanas dan menegangkan di kawasan Asia Tenggara. Presiden Filipina Diasdado Macapagal mengajukan tuntutan negaranya atas Sabah, daerah jajahan Inggris yang segera akan merdeka. Presiden Macapagal menyerang politik Malaysia yang secara sewenang-wenang memasukkan Sabah ke dalam rencana Malaysia tanpa konsultasi dengan pihak Filipina.
Sedemikian rupa gawatnya klaim teritorial Presiden Macapagal terhadap Sabah sehingga sempat mengundang kecemasan Malaysia karena bisa membahayakan pakta pertahanan Asia Tenggara yang dibuat Amerika dan Inggris yaitu Southeast Asia Treaty Organization (SEATO).
Sampai di sini, sebenarnya Indonesia sama sekali tidak ikut campur dan bersikap netral. Namun demikian mendadak timbul peristiwa yang tak terduga pada 8 Desember 1962. Yaitu timbulnya pemberontakan Brunei. Pemimpin partai politik Brunei, Azahari, dari Manila menyatakan dirinya sebagai perdana menteri dari Republik Kalimantan Utara yang baru.
Lucunya, perdana menteri Tunku Abdul Rahman malah menuding Indonesia terlibat dalam gerakan Azahari dan ikut memprakarsai keluarnya resolusi tersebut. Padahal dalam proses menjelang keluarnya resolusi tersebut, Azahari justru menjalin kontak secara intens dengan Wakil Presiden Palaez di Manila.
Suasana jadi semakin memanas ketika perdana menteri Tunku Abdul Rahman melancarkan serangan pribadi kepada Presiden Sukarno dan memperingatkan, “jangan campuri urusan Kalimantan Utara.” Menurut kesaksian Ganis Harsono, mantan juru bicara departemen luar negeri kala itu, Sukarno menahan diri dan tidak membalas serangan Abdul Rahman.
Namun pada April 1963, Presiden Sukarno di depan para wartawan Asia-Afrika di Jakata mengatakan: “Perjuangan rakyat Sarawak, Brunei, dan Sabah adalah bagian dari perjuangan negara-negara yang baru merdeka (the New Emerging Forces) yang membenci “penghisapan manusia oleh manusia.”
Manuver diplomatik Bung Karno dengan memanfaatkan momentum peringatan Konferensi Asia-Afrika yang ke-8, sejatinya bukan serangan kepada Abdul Rahman, melainkan terhadap Inggris. Maka dengan tak ayal, Inggris menjadikan Singapura sebagai benteng pertahanan sekaligus basis penyerangan terhadap Indonesia. Dengan menempatan beberapa pesawat pembom di Singapura.
Bukan Inggris saja. Amerika Serikat pun, yang waktu itu hubungannya dengan Indonesia cukup erat di bawah pemerintahan John F Kennedy, sempat mengirim surat kepada Sukarno: “Saudaraku Yang Terhormat, tindakan anda terhadap Malaysia menempatkan saya dalam posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginan saya membantu usaha-usaha anda kea rah pembangunan dan pemulihan ekonomi Indonesia.”
(Baca Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno. Jakarta: CV Mas Agung, 1989).
Namun tekanan halus Kennedy dalam surat tersebut bahwa jika Sukarno tidak bersikap lunak dalam soal Sabah dan Serawak maupun Brunei, bantuan ekonomi Amerika kepada Indonesia akan dihentikan, sepertinya tidak mempan. Bahkan akibat tekanan halus Kennedy inilah, kelak Sukarno muncul frase yang cukup terkenal hingga sekarang: “go to hell with your aid. Persetan dengan bantuan Amerika.”
Namun ada sebuah fakta menarik yang belum banyak disorot para pakar hubungan internasional maupun sejarah diplomasi. Bahwa pada saat genting-gentingnya hubungan Indonesia dan Malaysia, Sukarno justru semakin membangun kerjasama solid dengan beberapa pengusaha asal Sumatra. Adapun beberapa pengusaha Sumatra yang dimaksud adalah Dassad, Hasyim Ning, TD Pardede, Bram Tambunan, Yusuf Muda Dalam, Potan Harahap, Markam, dan satunya lagi asal Makasar, Ashlam. Mereka ini praktis menjadi tim ekonomi yang memberikan masukan pada Sukarno, dan melaksanakan politik Bung Karno.
Apa politik dan strategi Sukarno? Membebaskan Sumatra sekali dan untuk selamanya dari cengkraman Singapura yang sudah sedemikian lama mengungkung pulau tersebut.
Strategi Sukarno membeaskan Sumatra dari cengkrawan Singapura, merupakan manuver geopolitik yang cukup jitu. Sebab sewaktu Sumatra masih merupakan salah satu daerah jajahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda telah menyerahkan supremasi ekonomi kepada Singapura yang waktu itu berada dalam jajahan Inggris. Maka Kepulaua Riau, sebagai bagian dari Sumatra, langsung berada dalam pengawasan atau pengaruh ekonomi Singapura. Mata uang jajahan Inggris yaitu dolar Singapura merupakan satu-satunya uang yang beredar. Bukan mata uang Belanda atau rupiah.
Bahkan juga pesisir Sumatra sebelah Timur mulai dari Belawan-Deli sampai ke Selat Panjang di zaman penjajahan Belanda, berada di bawah pengaruh jajahan Inggris Singapura.
Jadi kalau beberapa waktu ada gagasan agar Indonesia membangun pelabuah di Sabang untuk melumpuhkan Singapura, sebenarnya hal itu merupakan perhitungan geopolitik yang jitu. Sebab Sukarno pun pernah menggagas hal yang sama. Bung Karno pernah menggagas agar Sabang di ujung pulau Sumatra dijadikan pelabuhan bebas. Jalan lalu-lintas Sumatra harus segera dimulai pembangunannya. Negara-negara asing diusahakan agar mengadakan perdagangan langsung dengan Indonesia, dan jangan sampai membeli hasil-hasil kekayaan Sumatra dengan perantaraan Singapura.
Sementara cukup sekian dulu soal strategi Sukarno menggalang para pengusaha Sumatra menghadapi skema penjajahan Inggris melalui Singapura. Sekarang, mari kita menoleh kembali ke satu isu yang cukup krusial namun menarik, Deklarasi Manila, yang mengutarakan dasar-dasar pokok untuk Konfederasi Maphilindo. Gagasan tersebut merupakan prakarsa Presiden Macapagal yang kemudian disetujui Sukarno dan Abdul Rahman.
Gagasan tersebut, seperti analisis dan kesaksian Ganis Harsono, secara skematik merupakan kerjasama regional tanpa campur tangan negara-negara besar, sehingga bisa mengarah pada terciptanya pembangunan sebuah zona netral di Asia Tenggara.
Apa saja poin-poin penting dari gagasan Konfederasi Maphilindo tersebut yang terumuskan dalam Deklarasi Manila?
- Mendesak Inggris agar mencari solusi damai terkait persengketaan wilayah antara Filipina dan Inggris mengenai klaim Filipina atas Sabah melalui meja perundingan.
- Ketiga negara tersebut sepakat untuk segera merealisasikan Konfederasi Maphilindo dengan langkah membentuk Sekretariat Nasional untuk soal-soal Maphilindo.
- Dalam memelihara kemerdekaan nasional dan perdamaian serta keamanan wilayah ketiga negara tersebut, terletak pada pemerintahan dan rakyat masing-masing negara.
- Ketiga kepala pemerintahan sepakat bahwa basis-basis negara asing, yang sifatnya sementara, tidak boleh digunakan untuk merusak atau menodai kemerdekaan nasional dari ketiga negara masing-masing.
- Sejalan dengan Deklarasi Bandung, ketiga negara akan menjauhkan diri dari penggunaan perjanjian bersama untuk melayani kepentingan tertentu dari negara-negara besar manapun.
Deklarasi Manila tersebut diumumkan pada 5 Agustus 1963. Kebanyakan media asing yang pro Inggris dan AS menggambarkan bahwa Indonesialah yang menjadi perancang sesungguhnya konsep Konfederasi Maphilindo.
Menariknya, begitu konsepsi Maphilindo yang bertumpu pada kerjasama regional Indonesia, Filipina dan Malaysia itu bergulir, negara-negara adikuasa yang berseberangan kutub dalam Perang Dingin, justru sama-sama mengecam Deklarasi Manila tersebut.
Inggris dan AS tentu saja gusar karena dalam deklarasi tersebut disebut bahwa basis-basis militer asing harus dianggap bersifat sementara, dan tidak boleh digunakan untuk merusak atau menodai kemerdekaan masing-masing negara. Jelas hal itu merugikan bagi pakta pertahanan Asia Tenggara (SEATO).
Namun dari pihak Republik Rakyat Cina, menteri luar negeri Chen Yi menuduh konsepsi Maphilindo sebagai “proyek neokolonialisme. Adapun Lee Kuan Yew dari Singapura, dengan singkat menilai Maphilindo dimaksudkan untuk mengepung Singapura.
Percakapan Ganis Harsono dengan Paddington Playboy, seorang diplomat senior Inggris, menggambarkan betapa strategisnya geopolitik Singapura bagi Ingris. “Ganis, kalau keadaan akhir zaman memaksa, Anda boleh mencaplok Malaysia. Tapi jangan coba-coba menyentuh Singapura. Singapura adalah milik kami yang paling berharga.”
Besar kemungkinan atas desakan Inggris terhadap Tunku Abdul Rahma itulah, Malaysia akhirnya keluar dari kesepakatan Maphilindo. Sewaktu masih dalam Konferesi Manila tersebut, kedutaan besar Inggris di Filipina menyatakan bahwa Tunku Abdul Rahman sudah terperosok terlalu jauh ke dalam Konsepsi Maphilindo.
Namun Deklarasi Manila yang merajut kerjasama strategis Indonesia, Filipina dan Malaysia, akhirnya buyar, ketika Malaysia secara sepihak mengumumkan kemerdeaannya tanpa mengikutsertakan Brunei, dan tanpa pengakuan Indonesia maupun Filipina.
Inilah muasal Presiden Sukarno mencanangkan kampanye “Ganyang Malaysia.”
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)