Pemerintah Jokowi-JK Harus Segera Cabut UU No 7/2004 Tentang Sumber Daya Air

Bagikan artikel ini

Sudah saatnya pemerintah Jokowi-JK mencabut seluruh pasal-pasal Undang-Undang Nomor 7  tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi untuk membendung dan menghentikan eksploitasi perusahaan-perusahaan swasta asing maupun dalam negeri di sektor Sumber Daya Air sebagai salah satu hajat hidup orang banyak.

Konstitusi negara pasal 33 UUD 1945 telah tertulis jelas melalui prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan, antara lain:

(1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2)    Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan
(3)   Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Akan tetapi dalam praktik dari waktu ke waktu, orde demi orde justru ruh kerakyatan kian menjauh dari substansi ekonomi pasal 33 dimaksud. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan UGM (Subversi Neokolonialisme, 2009) mensinyalir, bahwa perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme (neolib) dalam beberapa waktu belakangan ini.

Sehingga pada perkembangannya kemudian, pengusahaan air di Indonesia selalu terkait dengan kepentingan asing melalui perusahaan-perusahaan besar. Mereka masuk melalui atas nama bantuan-bantuan di bidang pengairan. Dengan begitu berbagai kebijakan terkait pengelolaan air harus sepengetahuan dan dalam arahan perusahaan-perusahaan swasta asing tersebut.

Pada kenyataannya selama ini, pemerintah kita seakan-akan bersikap paradoks. Pada satu pihak, kita seperti tidak rela kekayaan bangsa ini dijarah oleh bangsa luar atas nama investasi asing, structural adjusment policy (SAP), IPO dan lain-lain, karena aset-aset negara lepas satu persatu dan dikuasai swasta (asing). Namun di pihak lain, berbagai undang-undang (UU), Keppres, dll yang terbit di era kini malah pro atas mekanisme neokolonialisme tadi. Sebuah ironi realitas di depan mata. Agaknya kondisi semacam itu menggerus pula aspek-aspek kehidupan lain sehingga melemahkan Ketahanan Nasional kita.

Maka itu, dengan keluarnya putusan MK, pemerintahan Jokowi-JK mempunyai momentum  untuk membenahi pengelolaan air dari hulu hingga hilir, sehingga tidak lagi berada dalam arahan dan kendali kebijakan dari para pemilik modal swasta baik asing maupun dalam negeri.

Betapa berbahayanya kontrol dan penguasaan swasta asing dalam pengelolaan Sumber Daya Air terlihat ketika sumber-sumber mata air di bawah tanah telah disedot habis-habisan oleh perusahaan air swasta seperti yang terjadi di Sukabumi-Jawa Barat dan Klaten-Jawa Tengah, sehingga air permukaan jadi kering kerontang. Ironisnya, kedua wilayah tersebut kaya akan sumber daya air, namun sekarang harus menggunakan pompa untuk mendapatkan air.

Selama ini para “Pemangku Kepentingan” pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia terlalu percaya pada riset-riset yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) dan World Bank, yang tentunya kita tahu sarat dengan kepentingan-kepentingan korporasi-korporasi global yang berada di belakang ADB dan Bank Dunia.

Sehubungan dengan hal tersebut, Global Future Institute merasa perlu mengingatkan kembali pidato Presiden Jokowi di depan KTT Asia-Afrika beberapa minggu yang lalu, yang menegaskan betapa Asian Development Bank dan World Bank dirasa sudah usang sebagai lembaga ekonomi-keuangan dalam memecahkan berbagai krisis global saat ini.

Artinya, agar segenap tumpah darah Indonesia harus melakukan intropeksi berjamah, berkaca secara massal, terutama kaum elit politik dan para perumus kebijakan negeri ini. Dengan kata lain, betapa bangsa dan segenap pimpinannya kita tempo doeloe di awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mampu menjadi epicentrum dalam menebar sikap anti-imperialisme dan menggerakkan negara-negara berkembang lain untuk bangkit melawan kolonialisme serta mencermati model-model neokolonialisme yang kelak berubah ujud, maka refleksinya kini: “Bagaimana kiprah para elit dan pengambil kebijakan di era sekarang?”

Penjajahan dengan segala macam bentuknya adalah biang kemiskinan siapapun dan sampai kapanpun bagi negara manapun di muka bumi, karena inti kolonialisme adalah mencaplok ekonomi sebuah bangsa.

Sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno, Presiden RI pertama pada pembukaan KAA 1955 di Bandung:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Kembali ke soal penguasaan Sumber Daya Air yang selama ini penguasaan pihak swasta asing dipayungi oleh UU No 7/2004, maka komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk membatalkan UU tersebut menjadi mutlak adanya, sehingga pemerintahan ini akan kembali ke rel TRISAKTI, yang mana salah satunya adalah, berdikari dalam bidang ekonomi.

Selain itu, adanya UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air ini, telah membuktikan betapa neokolonialisme asing, khususnya dari Amerika, memang nyata dan dijalankan secara sistematis dan terencana.

Seperti terungkap melalui cuplikan tulisan Charlie Illingworth, penulis Amerika, mungkin bisa dijadikan salah satu referensinya:
“Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”

Melalui dokumen Charles Illingworth ini jelaslah sudah, bahwa dalam perspektif hegemoni Amerika Serikat seperti terlontar melalui pernyataan Presiden AS yang berkuasa antara 1968 hingga 1974 ini, Indonesia merupakan target kolonialisme Amerika semenjak era Peran Dingin atau Pasca Perang Dunia II.

Penulis: Ferdiansyah Ali, Pengkaji Ekonomi Internasional Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com