Pengalaman Pahit Kejatuhan Indonesia saat dilanda Perang Hibrida, akankah berulang?

Bagikan artikel ini

Perang Hibrida adalah salah satu perkembangan strategi paling signifikan yang merubah taktik agresi perang konvensional menjadi non konvensional

Taktik dan strategi ini bertujuan untuk mengganggu dan melumpuhkan kekuatan lawan tanpa terlibat dalam permusuhan terbuka. Dan perang non konvensional demikian diperkirakan akan mendominasi tren destabilisasi pada dekade mendatang.

Mereka yang tidak terbiasa mendekati geopolitik dari perspektif Perang Hibrida mungkin harus berpikir keras untuk memahami di mana yang berikutnya mungkin terjadi.

Tetapi sebenarnya tidak sulit untuk mengidentifikasi wilayah dan negara yang paling berisiko menjadi korban bentuk agresi baru ini.

Kunci dari ramalan ini adalah menerima premis bahwa Perang Hibrida diprovokasi secara eksternal sebagai konflik asimetris yang diprediksikan menyabotase kepentingan geo-ekonomi yang konkret.

Dengan mengikuti alur dari titik awal ini, maka relatif mudah untuk menentukan di mana mereka akan menyerang berikutnya.

Demikian pendapat Andrew Korybko, seorang komentator politik Amerika yang menulis buku Hybrid Warfare hasil kajiannya terhadap Perang Hibrida di Afrika,Asia Tengah,Asia Selatan, Asia Tenggara, China dan Rusia .

Selanjutnya Andrew mengatakan tujuan utama di balik setiap Perang Hibrida adalah untuk mengganggu proyek-proyek penghubung lintas negara multi-bangsa melalui konflik identitas yang dipicu secara eksternal (etnis, agama, regional, politik, dll.) ke dalam negara transit yang ditargetkan.

Perang hibrida inipun pernah menyerang Indonesia dan bukan sekali saja. Contoh paling nyata adalah bagaimana Pemerintahan Soeharto dijatuhkan melalui krisis ekonomi yang sengaja dibuat asing.

Soeharto jatuh bukan karena demonstrasi. Omong kosong bahwa Soeharto jatuh karena mahasiswa itu sering dilontarkan para aktivis dulu yang saat ini merasa paling berjasa menggulingkannya.

Yang pasti Soeharto jatuh karena tekanan asing dan antek anteknya yang berkumpul karena beberapa sebab yang bisa saja sebab yang satu tak berhubungan sama sekali dengan sebab lainnya.

Fundamental ekonomi Indonesia saat itu jauh lebih kuat bila mau dibandingkan dengan rezim saat ini. (silakan kaji dan bandingkan sendiri karena bukan itu focus tulisan ini )

Indonesia saat itu adalah negara termaju dalam bidang ekonomi di Asia Tenggara, dan cukup dipandang di Asia. Istilah “Keajaiban Asia” itu dibuat oleh media luar negeri untuk menggambarkan posisi Indonesia yang siap tinggal landas menjadi Negara agraris dan negara industri baru sekaligus.

Langkah catur yang dibuat Soeharto tahap demi tahap dilakukan dengan strategi yang matang membangun Indonesia,menimbulkan ketidaksukaan negara kapitalis barat. AS yang saat itu dipimpin Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat AS merasa munculnya negara negara Asia sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia akan mengancam agenda mereka, maka hybrid warfare kepada Indonesia harus digunakan.

“Hybrid warfare” yang dilakukan adalah kombinasi sanksi ekonomi dengan mengunci kredit perbankan dan uang hanya dan hanya ada melalui persetujuan IMF dan Bank Dunia

Dimulai dengan “jebakan betmen” proxi barat di lingkungan elite untuk mengambangkan mata uang negara asia (floating currency rate ) dengan bujukan agar dapat merangsang pertumbuhan ekspor mereka menjadi lebih tinggi yang diharap akan meningkatkan devisa lebih cepat, ternyata malah berbalik menyebabkan serangan bertubi para spekulan untuk menguras dollar habis habisan dari cadangan devisa negara.

Dimulai dari Thailand merembet ke negara asia lainnya termasuk Indonesia. Yang selamat Malaysia dan Singapura.

Mengapa kedua negara ini bisa selamat ?

Singapura selamat karena negara ini satu satunya negara di ASEAN dengan utang luar negerinya “zero”. PM Lee Kuan Yew sangat antipati untuk berutang ke luar negeri dan melarang juga untuk swasta.

Sementara Malaysia yg saat itu dipimpin PM Mahathir Mohammad sangat anti pasar bebas dan jelas mendapat kritik besar2an dari dunia keuangan internasional. Tetapi ini juga yang menyelamatkan Malaysia.

Saat krisis 98 otoritas Malaysia kala melakukan kebijakan kontrol modal (capital control), menetapkan nilai tukar ringgit terhadap dollar (RM3,8/USD), dan memotong suku bunga.

Kebijakan kontrol modal ini mewajibkan untuk seluruh investor agar merepatriasi asset ringgit kembali ke Malaysia; menutup pasar mata uang dan aset dalam ringgit di luar negeri (Singapura, Hongkong, dll); seluruh penduduk dilarang menerima atau memberikan kredit dalam ringgit; dan otoritas mengendalikan secara ketat arus keluar portofolio dari penjualan sekuritas Malaysia.

Yang perlu digaris bawahi, tidak ada satupun bank yang ditutup di Malaysia, sehingga negara tidak perlu melakukan bailout.

Ini berbeda dengan kondisi Indonesia. Ekonomi Indonesia yang sebenarnya dalam kondisi aman dengan pertumbuhan ekonomi rata rata di atas 7 persen dirusak oleh para konglomerat dengan hutang luar negeri swasta yang sangat besar.

Ini karena keistimewaan yang diberikan Soeharto pada th 1988 mulai dikurangi, dan mereka mencoba jatuhkan Soeharto dengan cara lain yaitu menghimpun kekayaan di luar negeri dengan menyedot ekonomi dalam negeri melalui pinjaman luar negeri.

Inilah yang kemudian memicu kebutuhan Dollar yang terus membesar.

Kondisi ini cukup disadari oleh Soeharto, Namun demikian tak kurang akal maka Soeharto berusaha mengatasi kondisi ini dengan melaksanakan kebijakannya & tahapan demi tahapan dengan perhitungan yg matang.

Pengalaman memimpin negara sekian lama telah menempanya menjadi seorang yang tangguh.

Langkah yang dilakukannya adalah mencari cara bagaimana menyeimbangkan kebutuhan Dollar di satu sisi , disisi lain menekan pinjaman nilai tukar Dollar untuk tidak menjadi liar.

Maka itu tak heran muncul keinginan Soeharto untuk mempertimbangkan “fix currency exchange” (nilai tukar tetap ) terhadap pinjaman IMF,

Dalam salah satu kebijakannya Soeharto berencana menerapkan Currency Board System (CBS) .Skema CBS rupiah akan dipatok pada Rp5.500 per dolar AS. Soeharto hampir memberlakukan CBS. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang CBS sudah disiapkan pada awal Februari 1998. Namun, IMF kala itu menolak mentah-mentah gagasan itu.

IMF juga menggunakan tangan menteri2 di bidang ekonomi Pak Harto utk menolak “fix currency exchange” dan tetap pd floating currency exchange (nilai tukar mengambang sesuai pasar). Mereka inilah yang tidak setuju Soeharto dengan fix currency rate..

Apa yang terjadi setelah desakan IMF juga para menteri2 itu berhasil ?

Dengan perubahan “floating currency exchange” maka hedge fund masuk ke Indonesia melepas Rupiah dan memborong semua Dollar AS yg ada di Jakarta sampai kering

Hanya dalam semalam nilai tukar Rupiah terjun bebas menjadi Rp 16.000, dan dipasar gelap Rp 20.000. Semua orang kaya memburu US$ saat itu , dan disamping itu diisukan ada huru hara besar. Otomatis semua deposan ketakutan dan menarik dananya dari bank2 yg terkait dng pemerintahan Soeharto sampai kering likuiditasnya.

Supaya Bank Indonesia lempar handuk putih, IMF paksa Bank Indonesia membailout bank2 yg kehabisan Rupiah , dan BI pun angkat tangan menyerah, karena liquiditas Rupiah habis dan cadangan devisa tingga US$ 9 miliaran saja.

Maka langkah selanjutnya disiapkan , Pak Harto disuguhkan 150 point untuk dilaksanakan sekaligus , bukan menyelesaikan satu per satu tapi harus 150 point sekaligus .

Tentu mereka tau persis Pak Harto pasti juga akan “lempar handuk putih” & menyerahkan jabatan. Apalagi pada saat itu juga seluruh menteri2 bidang ekonomi mundur/berhenti dr jabatan.

Bukan itu saja melalui Atmil kedutaan besar asing “isu pun dihembuskan” bhw Astana Giri Bangun di solo sdh dikepung mau dibakar habis massa

Menurut salah satu sumber, hanya dalam satu malam fisik Soeharto berubah menjadi org tua yang lesu tanpa harapan tidak ada gairah hidup.

Beliau hanya ditemani satu orang menterinya saja di Cendana yaitu Mensesneg Alm Dr. Saadilah Moersid.

Saat di Cendana Pak Harto memerintahkan Mensesneg utk menyiapkan rapat kabinet menteri2 bidang ekonomi utk membahas 150 point permintaan IMF

Mensesneg Dr Saadilah Moersid menjawab perintah Pak Harto dengan suara pelan dan sedikit gugup “tinggal kita berdua saja pak” menurut ajudan

Saat itulah menurut ajudannya, Alm Pak Harto lesu menatap jauh dng mengisap cerutu, “sadar kalo dia sdh kena tikaman” para pembantunya dan tewas!

Padahal andaikan saja Pak Harto diperbolehkan menyelesaikan 150 syarat IMF satu per satu , dan Indonesia boleh menerapkan “fixed exchange rate” maka Indonesia keluar dari krisis ekonomi dan menjadi “newly industrial country” dan menjadi negara swasembada sandang-pangan

Setelah Soeharto jatuh, proxy asing mulai menampakkan diri dan Indonesia praktis menjadi negara “junki utang Luar Negeri”.

Dan hingga kini, siapapun presiden-nya ekonomi Indonesia akan selalu ketagihan akan utang LN baru. Tidak akan bisa lagi lepas dr jeratan utang Luar Negeri.

Dampak dari ketagihan utang LN ini maka goncangan dunia sedikit saja maka Rupiah akan terpuruk. Lihat faktanya saat ini Rupiah menjadi salah satu dari empat mata uang terlemah di dunia

Modifikasi terakhir dari bentuk utang luar negeri, disamping dalam bentuk klasiknya, yaitu dengan memanfaatkan proyek proyek infrastruktur dengan system turn key yang bila tidak bisa dibayar maka proyek tersebut menjadi milik pengutang. Alternatif kedua adalah tukar guling dengan konsesi yang diinginkan negara pengutang.

Itulah salah satu bentuk “hybrid warfare”
***
Apa kesimpulan yang ditarik dari peristiwa sejarah ini ? Pelumpuhan utama suatu negara target selalu dimulai dengan pukulan ekonomi. Rusak kendali ekonominya, dengan berbagai bentuk isu maka jatuhlah negara target.

Maka itu berhati hatilah dengan utang luar negeri. Utang luar negeri selalu membawa agenda mereka dan berdampak intervensi ke dalam kedaulatan . Apapun bentuknya.

Pak Harto yang cerdas dan sangat berpengalaman saja hancur lebur dihajar konspirasi global Negara asing.Indonesia pada waktu hampir tinggal landas, negara makmur tapi kemudian menjadi tidak berdaya karena desakan Negara rentenir.

Apakah ini akan diulangi lagi ? Kerbau yang cuma bisa kerja kerja kerja saja tidak mau jatuh di lubang yang sama …apakah penguasa lebih dungu dari kerbau ? kita lihat saja.. Sekian. Merdeka !!!

Adi YS, pegiat sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com