Penggiringan Opini oleh IPT ’65 di Belanda: NEGARA INDONESIA melakukan GENOSIDA

Bagikan artikel ini
Batara R. Hutagalung
Pada 10 November 2015, di sidang International Peoples Tribunal ’65 di Den Haag, belanda,  “Jaksa Penuntut Umum” Prof. Todung Mulya Lubis mendakwa Indonesia sebagai NEGARA PELANGGAR HAM. NEGARA INDONESIA didakwa telah melakukan GENOSIDA, yaitu kejahatan tertinggi dalam Statuta Roma, yang menjadi landasan dari International Criminal Court di Den Haag, Belanda.
Ini jelas adalah penggiringan opini dunia, bahwa yang telah dilakukan oleh NEGARA INDONESIA adalah GENOSIDA.
Apabila dicermati definisi yang ditetapkan oleh Konvensi PBB mengenai GENOSIDA (Genocide Convention) tahun 1948, maka tragedi nasional di Indonesia tahun 1965 tidak dapat dikategorikan sebagai GENOSIDA. Di bawah ini adalah definisi PBB mengenai GENOSIDA.
General Assembly Resolution 260A (III) Article 2
In the present Convention, genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group
Definisi PBB dengan jelas menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Genosida adalah pembantaian terhadap kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan. Kelompok ideologis (komunis) tidak termasuk di dalamnya.
Yang terjadi sebelum peristiwa tahun 1965 dan sesudah tahun 1965 adalah orang Indonesia saling membunuh sesama orang Indonesia. Tidak ada etnis yang spesifik dibantai, karena kalau dikatakan pembantaian etnis Tionghoa, maka sangat banyak etnis Tionghoa yang anti komunis berada di pihak yang didakwa sebagai pelaku pembantaian.
Sangat mengherankan, bahwa dari pihak Indonesia tidak ada upaya untuk meng-counter pembentukan opini negatif ini. Hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun, sehingga terkesan, bahwa memang pemerintah Indonesia sendiri yang membiarkan dilakukannya pembentukan opini negatif ini.
Belanda dan sekutunya di belakang IPT ’65.
Belanda kehilangan jajahannya, Nederlands Indie (India belanda) setelah menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942. Ketika bekas jajahannya pada 17.8.1945 menyatakan kemerdekaannya, dan mendirikan Republik Indonesia, di belanda timbul kepanikan besar. Muncul slogan “Indie (sebutan Nederlands Indie) verloren, rampspoed geboren”, artinya, kehilangan Nederlands Indie, timbul malapetaka. Dengan bantuan sekutunya selama Perang Dunia II (ABDACOM: American, British, Dutch Australian, Command), belanda berusaha menjajah Indonesia. Tetapi tidak berhasil.
Sejak Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai “hadiah” dari belanda pada 16 Agustus 1950 dibubarkan, belanda yidak henti-hentinya berusaha untuk memecah Indonesia, dengan menggunakan metodenya yang telah dipraktekkan selama ratusan tahun di Bumi Nusantara, yaitu ‘Divide et impera.’
Dengan bantuan antek-anteknya, baik yang lama sejak masa penjajahan, maupun yang baru derekrut dengan dana besar, belanda dan sekutunya banyak mencapai keberhasilan dalam membenturkan sesame anak bangsa di Indonesia dalam berbagai konflik kekerasan, termasuk tragedi nasional tahun 1965.
Juga dengan bantuan antek-anteknya, belanda dan sekutunya tampak berhasil memutar-balikkan peran pelanggar HAM. Belanda dan sekutunya, yang di masa penjajahan dan di masa agresi militer mereka di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950 telah melakukan berbagai kejahatan dan kebiadaban, termasuk membantai sekitar satu juta rakyat Indonesia tanpa proses hokum, kini menggiring opini dunia internasional, bahwa Indonesia adalah NEGARA PELANGGAR HAM.
Tahun 2011, ketika Indonesia menyatakan minat untuk membeli 100 Tank Leopard bekas dari Belanda, ditolak oleh belanda dengan alas an: INDONESIA NEGARA PELANGGAR HAM.
Sejak muncul berita pada tahun  2014 mengenai akan digelarnya ipt di Den Haag, belanda, saya telah menyampaikan ke berbagai pihak di Indonesia, bahwa ini adalah bagian dari konspirasi belanda untuk memojokkan Indonesia sebagai NEGARA PELANGGAR HAM.
Hal ini kemudian terbukti dengan dakwaan yang dimajukan oleh “Jaksa Penuntut Umum”, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis dalam siding IPT ’65, 10 – 13 November 2015 di Den Haag, belanda, yaitu INDONESIA NEGARA PELANGGAR HAM.
Tahun 2013 berkumpul 40 “aktifis HAM” di rumah Saskia Wieringa di belanda, dan mulai menggagas “pengadilan internasional” terhadap Indonesia. (Saskia Eleonora Wieringa, seorang perempuan Belanda yang katanya sejak 35 tahun melakukan penelitian mengenai tragedy nasional Indonesia tahun 1965, adalah Profesor Gender dan Perempuan serta Hubungan Sesama Jenis Lintas Budaya di Fakultas Sosial dan Ilmu Perilaku di Universitas Amsterdam. Mendirikan Yayasan Studi Lesbian dan Gay dan disponsori oleh Hivos. Lahir: 12 Maret 1950 (66 tahun), Amsterdam, Belanda.
Pada waktu itu, mereka menyatakan, bahwa IPT ’65 hanya secara simbolis yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun saya telah menyampaikan ke berbagai pihak, bahwa mereka akan membawa hasil ini sebagai rekomendasi ke Dewan HAM PBB. Dan di sinilah KEKUATAN HUKUM INTERNASIONAL dari hasil IPT ’65 tersebut.
Tentu menjadi pertanyaan, dari mana dana puluhan juta US dollar, untuk membiayai berbagai kegiatan selama puluhan tahun dan melibatkan banyak pakar/tokoh internasional?
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com