Catatan Sekilas Tentang Orasi Ilmiah Datuk Sri Mahathir Mohammad di Universitas Bung Karno

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Karena bebebrapa kali beliau menyebut Tamadun, yang berarti peradaban. Ada banyak bangsa yang dulunya berperadaban tinggi dan punya nilai hidup (budaya) mulia buat menghantarkan kejayaan bangsanya, belakangan peradaban dan budaya bangsa-bangsa tersebut kemudian merosot.

Poin menarik dari Datuk Mahathir dari paparannya, ketika budaya warisan kita menjadi nilai hidup yang tidak lagi mampu menghantarkian kita ke kejayaan, tak ada salahnya dipertukarkan dengan nilai-nilai hidup (budaya) baru agar jadi anutan bagi masyarakat.

Istilah Mahathir menukar budaya lama dengan budaya baru, mungkin terlalu drastik sebagai landasan konseptual untuk menyusun suatu perubahan, namun mungkin cukup menginspirasi kita saat ini untuk melakukan otokritik secara tajam ke dalam diri kita sendiri.

Karena itu, dalam studi-studi internasional, yang tentunya bukan sebatas mempelajari hubungan antar bangsa atau antar negara, nampaknya bisa diperluas lingkupnya menjadi studi-studi peradaban. Mengapa peradaban Eropa Barat bisa begitu maju pesat, padahal ketika peradaban Islam yang sempat mencapai puncaknya di era Abassiyah justru berada di puncak kejayaan.

Sebaliknya, bagaimana menjelaskan situasi kebalikannya. Ketika sekarang Peradaban Barat yang membentang dari Eropa Barat, Amerika Utara dan Kanada saat ini mengalami gradasi merosot, sedangkan Peradaban Cina yang dituntun oleh nilai-nilai hidup yang berasal dari Confusianisme dan Taoisme, justru sedang menggeliat menghantarkan kejayaan bangsanya.

Sayangnya, meski Datuk Mahathir berkali-kali menawarkan kata kunci perlunya mempertimbangkan faktor budaya untuk kemajuan sebuah bangsa, beliau tidak mengelaborasi lebih lanjut gambaran kongkrit dari succes story-nya ketika menjadi kepala pemerintahan di Malaysia selama 22 tahun. Benarkah semata merupakan keberhasilan ekonomi tanpa melibatkan pengaruh budaya? Apakah budaya Melayu-Islam secara sadar oleh Mahathir telah didesain sebagai role model dari Peradaban Melayu-Islam? Sepertinya masih jauh panggang dari api.

Bagi Universitas Bung Karno, dan tentunya Mbak Rachmawati Sukarnoputri selaku Ketua Dewan Pendiri Universitas Bung Karno, menghadirkan Datuk Sri Mahathir saya kira lebih dimaksudkan untuk mengusik pola pemikiran dan pandangan banyak kalangan intelektual kita yang cenderung berpikir mapan dan tidak berani beresiko keluar dari zona nyaman. Seraya menggugah sebuah kesadaran baru dan wawasan baru mengatasi krisis multi-dimensi yang dihadapi bangsa kita saat ini.

Orasi Datuk Mahathir bagi saya tak ada yang baru, namun spirit dan etos seorang pemimpin yang mencita-citakan bangsanya menjadi jaya dan diperhitungkan oleh negara-negara lain, agaknya itulah hal yang paling menginspirasi kita semua. Utamanya buat para civitas akademika Universitas Bung Karno. Karena pada tataran ini, sosok Datuk Sri Mahathir, dengan segala kontroversinya di masa lalu, sangatlah otentik.

Orasi dan papran Datuk Mahathir, kiranya cukup menginspirasi untuk mengaktualkan kembali strategi TRISAKTI yang diterapkan Bung Karno yang masih relevan hingga sekarang. Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Budaya. Seraya merevitalisasikan kembali Geopolitik sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional, sebagai kontra skema menghadapi semakin derasnya arus kapitalisme global dengan menunggangi arus globalisasi.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com