Penyakit Lyme, Senjata Biologis Pentagon dan NAMRU-2 AS di Indonesia

Bagikan artikel ini

“Lambang hegemoni AS yang paling nyata di Indonesia adalah NAMRU. NAMRU adalah masalah kedaulatan. NAMRU adalah pangkalan militer yang bergerak di bidang kesehatan. NAMRU bagian grand strategy pertahanan AS.” (Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009)

Seiring dengan semakin mudahnya mengakses bioteknologi, maka semakin meningkat pula tumbuhnya rekayasa virus melalui wabah penyakit maupun bio-terorisme dengan menggunakan senjata-senjata biologis.

Selain penyakit Lyme yang beberapa waktu belakangan ini marak dalam pemberitaan media-media di Amerika Serikat. Ada tiga ancaman bakteri yang menduduki peringkat teratas menurut Center of Disease Control and Prevention (CDC). Seperti misal penyakit cacar, demam hemoragik seperti ebola, demam berdarah, dan virus Marburg.

Di tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab, termasuk beberapa orang di Pentagon, bisa memanfaatkan ketiga bakteri tersebut di atas  untuk tujuan aksi terorisme menggunakan senjata biologis. Apalagi saat ini kondisi sangat mendukung dengan semakin mudahnya dilakukannya teknologi genetika. Selain itu, biaya untuk memanipulasi genom organisme semakin terjangkau. Sehingga berbagai serangan bioterorisme berbasis persenjataan biologis ke depan sangat mungkin terjadi.

Dalam situasi yang demikian, sangat penting bagi para stakeholder kebijakan luar negeri, pertahanan, maupun kesehatan di Indonesia, untuk mencermati secara intensif fungsi dan sepak-terjang beberapa laboratorium senjata biologi di beberapa negara, terutama Amerika Serikat.

Seperti tulisan kami terdahulu, sebuab buku karya Kris Newby, penulis sains dari Universitas Stanford, terungkap asal-usul penyakit Lyme. Menurut Willy Burgdorfer, seorang penemu penyakit Lyme asal Swiss, epidemi Lyme merupakan akibat eksperimen militer Pentagon yang salah kaprah. Burgdorfer yang juga pernah menjadi peneliti senjata biologi untuk militer AS, menurut pengakuannya ia pernah ditugaskan untuk membiakkan kutu, nyamuk dan serangga penghisap darah lainnya. Sehingga menginfeksi manusia dengan patogen, dan menyebabkan penyakit pada manusia.

Maka itu, menyusul terbitnya buku karya Kris Newby itu, menarik ketika Anggota DPR Amerika Serikat dari New Jersey, Chris Smith, memerintahkan investigasi apakah Departemen Pertahanan AS telah menggunakan kutu atau serangga lain sebagai senjata biologis.

Menurut laporan CNN, 18 Juli 2019, terinspirasi oleh sejumlah buku dan artikel yang ditulis beberapa pakar, Chris Smith punya kesimpulan sementara bahwa penelitian signifikan telah dilakukan di beberapa fasilitas pemerintah AS termasuk Fort Detrick, Maryland, dan Pulau Plum, New York, untuk mengubah kutu dan serangga lainnya menjadi senjata biologis.

“Jika benar, apa parameter programnya? Siapa yang memerintahkannya?” kata Smith selama debat untuk amandemen. “Apakah ada pelepasan yang tidak disengaja di mana saja atau kapan saja dari kutu yang sakit?”

Bagi kita di Indonesia, cerita tadi mengingatkan pada sebuah pengalaman buruk. Ketika pada 1974, Angkatan Laut Amerika Serikat membangun Laboratorium berfungsi ganda bernama Naval Medical Research Unit Two (NAMRU-2), dengan bekerjasama dengan Departemen Kesehatan RI.

Tak satupun para pejabat senior Departemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri dan Intelijen kita, yang menyurigai NAMRU-2 sebagai sarang operasi intelijen angkatan laut AS untuk mengirim virus H5N1 dari Jakarta ke luar negeri melalui Diplomatic Bag sehingga lolos dari radar pengawasan pihak imigrasi kita. Sebab dalam klausul kesepakatan itu, pihak AS meminta agar para staf NAMRU AS yang bekerja di Indonesia, mendapat kekebalan diplomatik.

Ternyata, virus H5N1 yang berhasil dibawa keluar dari Indonesia itu, digunakan untuk bahan pembuatan obat-obatan bagi kepentingan korporasi-korporasi farmasi global. Selain itu, untuk membuat senjata biologis.

Operasi rahasia angkatan laut AS berkedok laboratorium penelitian penyakit menular itu, baru terbongkar pada 2008. Terbongkarnya Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2 AS) sebagai laboratorium bertujuan ganda merupakan jasa dari Siti Fadila Supari sebagai  Menteri Kesehatan pada periode pertama Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Adalah Siti Fadilah yang berhasil memaksa WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, Lembaga penelitian senjata biologi Pentagon (Kementerian Pertahanan AS).

NAMRU dicurigai sebagai bagian dari upaya AS untuk memata-matai Indonesia dengan kedok sebagai Lembaga Riset. Sehingga pada masa kepemimpinannya di Kementerian Kesehatan, Siti Fadilah melarang rumah sakit di Indonesia mengirimkan sampel virus flu burung H5N1 ke Lembaga milik Angkatan Laut yang kita kenal sebagai NAMRU-2 AS.

Sebab berdasarkan penelitian Siti Fadilah, virus flu burung asal Indonesia yang dibawa ke luar Indonesia itu dimaksudkan untuk dibuat vaksin anti flu burung. Dengan dalih riset, sampel virus dari negara-negara yang terkena epidemic flu burung dibuat vaksin.

Selanjutnya, tanpa ijin dan kompensasi, vaksin dijual dengan harga mahal. Negara epidemic dipaksa WHO menyerahkan sample virus ke Global Influenza Surveillance Network (GISN).

Salah satu poin penting Siti Fadilah yang terangkum dalam buku memoarnya bertajuk Saatnya Dunia Berubah), Pemerintah AS dan WHO telah berkonspirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus flu burung.

Fakta yang berhasil diperoleh Siti Fadilah, data sequencing DNA H5N1 yang dikuasai WHO Collaborating Center (WHO CC) disimpan di Los, Alamos National Laboratory di New Mexico, AS. Laboratorium Los Alamos yang berada di bawah Kementerian Energi AS ini, diketahui telah melakukan riset mengenai senjata biologi dan bahkan, bom atom.

Menurut informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute pada Desember 2009, pemerintah AS sempat mendesak pemerintah Indonesia agar buku memoar Siti Fadilah tersebut ditarik dari peredaran. Sebagai imbalannya, AS akan memberikan suku cadang militer yang sebelumnya diembargo pemerintahan AS semasa Presiden Bill Clinton, menyusul penembakan TNI di Santa Cruz, Timor-Timur.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan dihentikannya kerjasama Indonesia-NAMRU-2 pada Oktober 2009 lalu, NAMRU-2 AS atau yang sejenis dengan itu, tidak akan beroperasi lagi di Indonesia?

Membaca misi terselubung NAMRU-2 AS dari sudut pandang Siti Fadilah Supari, nampaknya kita masih cukup beralasan untuk mewaspadai potensi beroperasinya kembali NAMRU-2 AS sebagai laboratorium yang bertujuan ganda. Atau dengan meminjam istilah Siti Fadilah,  merupakan pangkalan militer AS yang bergerak di bidang kesehatan.

Maka itu, skema maupun modus operandi ala NAMRU-2 AS harus terus-menerus dalam pantauan berbagai pemangku kepentingan kebijakan luar negeri di Indonesia. Seperti Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Lembaga Ketahanan Nasional, maupun Badan Intelijen Negara (BIN) maupun Badan Intelijen Strategis (BAIS).

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com