Peperangan Geopolitik Abad ke-21

Bagikan artikel ini

Peperangan di masa depan, entah kelak disebut perang dunia ke-3, misalnya, atau perang nuklir, perang generasi kelima dan lain-lain, dalam konteks makro ia dinamai peperangan geopolitik (geopolitical warfare). Ini bukan peperangan gaya baru, ataupun perang postmodern, tetapi lebih kepada mengakomodasi berbagai model/jenis perang yang lahir, tumbuh serta berkembang di era kini dan era sebelum baik perang konvensional, perang asimetris, proxy war, currency war, cyber war, trade war, ataupun perang generasi ala William S. Lind.

Narasi perang geopolitik dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut: “Simultansi (keserempakkan) strategi, taktis dan teknis operasional berbagai jenis perang di medan laga bertujuan menguasai (geo) posisi sebuah kawasan, namun tergantung situasi dan kondisi”. Frasa ini nanti dijelaskan di bawah.

Peperangan geopolitik nantinya, lebih bertujuan/demi memperebutkan (geo) posisi suatu kawasan tertentu yang memiliki apa yang disebut dengan istilah geopolitical leverage (kemanfaatan geopolitik) dan geopolitical flashpoints (titik-titik nyala yang dapat meletuskan peperangan lebih besar) melalui modus berbagai jenis perang. Itulah yang dimaksud dengan frasa “simultansi di medan laga namun tergantung kondisi” di atas. Artinya, para pihak yang bertikai dapat menggunakan model perang konvensional, mungkin, atau nirmiliter, atau currency war, trade war, perang generasi kelima, ataupun secara serempak dengan intensitas berbeda tergantung kondisi di medan laga. Nantinya akan sulit diterka, apakah sebuah isu yang muncul itu bagian dari desain besar serangan lawan terhadap target, atau sebaliknya?

Merujuk narasi perang geopolitik yang menekankan urgensi geoposisi kawasan tertentu selaku target yang hendak dikuasai, pertanyaan selidiknya adalah, “Kawasan mana yang secara kriteria memiliki geopolitical leverage dan flashpoints baik secara global, regional maupun lokal/nasional?”

Apakah Iran yang punya migas dan Selat Hormuz? Bukan. Apakah Mesir yang memiliki Terusan Suez? Juga bukan. Lantas, siapa gerangan? Jawabannya adalah: “Indonesia”. Kenapa? Indonesia itu epicentrum global. Indonesia punya segalanya. Jika merujuk persyaratan PBB secara umum tentang keberadaan negara, misalnya, maka air (bersih), pangan dan energi begitu berlimpah di Indonesia. Water, food and energy security. Bila kini masih cenderung impor beberapa komoditas itu hanya soal tata kelola yang belum optimal.

Dari perspektif geopolitik, secara lebih spesifik bahwa Indonesia selain dinilai sumber raw material bagi industri-industri dunia, pasar potensial karena faktor demografi, tempat putar ulang kapital bagi investor, dan juga yang utama ialah lintasan sealane of communications (SLOCs) yaitu jalur pelayaran/perdagangan dunia yang tak kunjung sepi karena faktor (geo) posisi silang di antara dua benua (Asia-Australia) dan dua samudra (Lautan Hindia-Lautan Pasifik).

Menguasai Indonesia ibarat mengendalikan geopolitical chokepoints di level global, yakni lintasan atau titik sempit geopolitik yang mampu menjelma menjadi “senjata (geopolitik) handal” dalam perang dunia kelak. Siapa menguasai jalur akan mengendalikan pasar. Dan gangguan di jalur pelayaran, pasar pun bakal terganggu. Itu kredonya.

Pantas saja science fiction bertajuk “Ghost Fleet“-nya PW Singer dan August Cole menggambar bahwa peperangan antara tiga adidaya (Amerika, Rusia, Cina) kelak salah satu medan tempurnya berlokasi di “bekas wilayah Indonesia.” Artinya apa, tahun 2030 nanti tatkala terjadi peperangan besar antara tiga raksasa global dimaksud, bahwa Indonesia diilusikan sudah bubar, tulis Singer dan Cole dalam Ghost Fleet (Armada Hantu). Itulah yang perlu dipahami serta disadari bersama oleh segenap anak bangsa dan tumpah darah Indonesia. Kenapa? Betapa perang Asia Timur Raya dahulu ternyata bermula dari science fiction punya Hector C. Bywater bertajuk The Great Pasific War. Dan akhirnya “fiksi”-nya Bywater memang riil terjadi.

Nah, kegaduhan Omnibus Law, misalnya, apakah itu agenda asing menuju ke sana? Kenapa demikian, geopolitik mengendus bahwa Omnibus Law disinyalir justru membesarkan kapitalisme pada satu sisi, tetapi juga menguatkan komunisme di sisi lain. Mengapa? Ketika kapitalisme semakin meraksasa justru daya tawar komunis pun kian kuat lagi mengakar. Ini asumsi. Masìh perlu diuji. Artinya, ketika kedua ideologi besar itu beradu kuat maka yang tergambar adalah mogobotongo. Tiji-tibeh. Punah, sebagaimana ilusi Singer dan Cole.

Mengapa semua ini terjadi di Bumi Pertiwi?

“Nilai luhur Pancasila selama ini hanya dipuja dalam kata dan gambar, namun dikhianati dalam perbuatan”, kata Buya Syafii Maarif dalam Kongres Pancasila VII di UGM, Jogja (1/6/2015).

Dan agaknya, hampir sebagian bangsa ini dan para elit (politik) selain abai terhadap philosofische grondslag (fundamen filsafat) —Pancasila— juga faktor geopolitical leverage dan flashpoints sebagai takdir geopolitik yang membuatnya selalu dalam “intervensi” asing agar Indonesia tidak bisa menjadi besar dan kuat.

Coba andaikan Indonesia cuma penghasil singkong atau jambu mete belaka; atau, bayangkan bila posisi Indonesia “nyempil” di Amerika Latin, misalnya, pasti sepi dari kegaduhan (geo) politik dan lain-lain.

Let them think let them decide!

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com