Peran Strategis Indonesia Menghidupkan Kembali Spirit KAA Bandung 1955 dan Gerakan Nonblok Beograd 1961 Lewat BRICS

Bagikan artikel ini

Meski dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara BRICS pada 24 Agustus 2023 lalu di Johannesburg, Afrika Selatan,  Indonesia batal bergabung dalam jajaran enam anggota baru, namun pada KTT BRICS 2024 mendatang Indonesia harus bergabung mengingat BRICS saat ini mampu memainkan diri sebagai balancing strategy atau strategi perimbangan kekuatan menghadapi hegemoni global negara-negara blok AS dan Eropa Barat.

Indonesia Siap Hadiri KTT BRICS di Afrika Selatan, Minat Gabung?

Salah satu persaingan global yang cukup sengit saat ini di ranah ekonomi dan perdagangan adalah di sektor energi dan pertambangan. Dari blok AS dan Eropa Barat masih didominasi oleh ExxonMobil, British Petroleum, Royal Dutch Shell, Rio Tinto, Conoco Philips,  Anglo American, Chevron, dan Total.

Adapun China antara lain China National Petroleum, CNOOC, Sinopec dan China Shenhua Coal.

Adapun di ranah agro-bisnis atau pertanian, beberapa perusahaan AS juga masih mengendalikan arah kebijakan agro-bisnis negara-negara berkembang. Misalnya perusahaan swasta AS Cargill, yang saat ini masih merupakan pedagang komoditas pertanian terbesar dengan omzet $108 miliar tercatat pada 2010 lalu. Juga perusahaan privat Prancis Louis Dreyfus, selain itu juga sebuah perusahaan yang juga terkoneksi dengan AS dan Eropa Barat dan berbasis di Singapura yaitu Olam International. Pun juga Noble Group, sebuah perusahaan berbasis di Hongkong yang menyebut dirinya sebagai pedagang komoditas terdefersifikasi terbesar di Asia. Omzetnya pada 2010 tercatat lebih dari $57 miliar dalam priduk pertanian, energi, logam, dan mineral.

Diolah dari buku karya  Geoff Hiscock, Eart Wars, Pertempuran Memperebutkan Sumber Daya Global. Surabaya: Penerbit Airlangga, 2012

Jepang yang sejak pasca Perang Dunia II bersekutu dengan AS dan Uni Eropa, juga termasuk pemain kunci dalam kerangka hegemoni AS dan blok Barat. Di ranah Agro-bisnis antara lain adalah Zen-Noh yang bergerak dalam bisnis ekpor-impor minyak dan makanan China COFCO. Semua pedagang agro-bisnis itu mengembangkan kepemilikan pada lahan makanan, perkebunan, dan pertanian lainnya di luar negeri, dengan dalih untuk mengantisipasi masa kelangkaan sumberdaya pada masa yang akan dating.

Di sektor pertambangan dan energi, beberapa perusahaan China berpotensi menjadi mitra strategis Indonesia di masa depan dalam skema kerjasama berbasis BRICS. Beberapa perusahaan China yang patut diperhitungkan antara lain Chjna Shenhua Datong Coal, China Coal Energy, Yanzhou Coal Mining, Xinhan Coal. Mongolia Yitai Coal, Anshan Iron & Steel, Hebel Iron & Steel, Jiangsu Shagang, China Minmetals Corp, Alumunium Corp of China, dan Maanshan Iron & Steel.

Aluminium Corp of China (Chinalco) saat ini merupakan produsen alumunium nomor 3 dunia dan menaruh minat untuk melakukan investasi di luar negeri. Dengan 9 persen saham, Chinalco menjadi investor tunggal terbesar di panambang Inggris-Australia Rio Tinto, yang memiliki operasi luas dalam bijih besi, batu bara, uranium, berlian, dan tembaga di Australia, ditambah kepemilikan di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, Asia, dan Eropa.

Namun belakangan langkah laju Chinalco untuk melipatduakan sahamnya di Rio Tinto pada 2009 gagal, nampaknya Inggris dan Australia menolak. Dari sini nampak jelas betapa ekspansi bisnis internasional China dipandang sebagai ancaman politik dan keamanan bagi Inggris dan Australia yang notabene tergabung dalam blok AS dan NATO.

Di sektor mineral dan energi, China mengandalkan pada China National Petroleum Corp (CNPC). China Petroleum and Chemical Corp (Sinpec), dan China National offshore Oil Corp (CNOOC). Perusahaan-perusahaan milik negara China tersebut secara intensif melakukan eksplorasi ke pelbagai negara termasuk Indonesia, dalam pencarian titik eksplorasi minyak dan gas. Dan saat ini, perusahaan-perusahaan China tadi memiliki kapitalisasi pasar yang cukup mencengangkan.

Rusia tentu saja merupakan mitra strategis alternatif bagi Indonesia maupun negara-negara berkembang di Asia lainnya. Salah satu sumber energi Rusia yang patut diperhitungkan adalah yang terkandung di Laut Kaspia. Laut Kaspia merupakan cekungan minyak dan gas yang paling strategis di dunia. Secara lokasi geografis, Laut Kaspia pernah dibagi dua antara Uni Soviet dan Iran. Namun sekarang jadi milik lima negara pantai: Rusia, Azerbaijan, Kazakhstan, Turkistan, dan Iran.

Indonesia Masih Kaji Jadi Anggota BRICS – Bandung TV

Signifikansi Laut Kaspia inilah yang nampaknya kemudian mendorong China dan Rusia memprakarsai terbentuknya aliansi strategis bernama Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada Juni 2001 lalu. Selain untuk merangkul negara-negara di kawasan Asia Tengah seperti tersebut tadi, pada perkembangannya juga untuk merangkul Iran. Terbukti strategi tersebut berhasil, dengan bergabungnya Iran di SCO maupun di blok kerja sama ekonomi BRICS dengan bergabungnya Iran sebagai salah satu dari enam negara baru BRICS pada KTT BRICS 24 Agustus 2023 lalu.

Untuk sektor minyak dan gas, perusahaan milik negara Rusia Gazprom masih tetap merupakan pemain kunci dalam kedua sektor strategis tersebut. Selain itu ada juga Novatek, pemain gas murni dua tingkat di belakang Gazprom dalam hal kapasitas produksi. Novatek yang berbasis di Siberia Barat, merupakan wilayah penghasil gas alam terbesar di dunia.

Perusahaan kuat lainnya yang bergerak di industri minyak dan gas adalah Transneft, operator pipa milik negara yang menangani ekspor minyak Rusia. BUMN Zarubezhneft menjalankan berbagai usaha, termasuk Vietsovpetro, kemitraan 50-50 yang telah berlangsung lama dan saling menguntungkan dengan Petro Vietnam atas ladang-ladang minyak lepas pantai Vietnam. Pada 2011 Zaruberzhneft dan PetroVietnam membentuk RusVietPetro untuk mengeksploitasi minyak Rusia di daerah otonom Nenets.

Indonesia sebagai negara yang kaya sumberdaya alam maupun lokasi geografis sebagai aset strategis bangsa, sudah saatnya memainkan peran strategis di dalam konstelasi global yang sedang mengalami tren perubahan dari kerja sama internasional berbasis Unipolar/Pengkutuban Tunggal yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa/NATO, ke arah kerja sama internasional berbasis Multilateral yang mana China dan Rusia muncul sebagai kutub alternatif bagi negara-negara berkembang dan miskin di Asia, Afrika, Timur-Tengah dan Amerika Selatan.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka sangat logis bagi Indonesia untuk bergabung ke dalam blok kerja sama ekonomi BRICS. Jika Indonesia pada 2024 nanti tidak bergabung ke dalam BRICS, hal itu menunjukkan bahwa para penentu kebijakan strategis bidang luar negeri pemerintah kita tidak punya visi geopolitik yang strategis untuk tampil sebagai kekuatan penyeimbang di tengah menajamnya persaingan global AS versus China di Asia Pasifik.

Jika Indonesia saat ini secara serius mengkaji keikutsertaannya sebagai anggota BRICS pada 2024 mendatang seperti diutarakan Presiden Joko Widodo, maka sebaiknya Indonesia memfokuskan diri untuk mengeksplorasi keunggulan-keunggulan maupun kemanfaatannya jika bergabung dengan BRICS.

Yang jelas, saatnya Indonesia mendesak negara-negara BRICS agar dijiwai oleh Spirit Dasa Sila Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955. Yang mana di tengah menajamnya Perang Dingin antara AS dan Eropa Barat vs China dan Uni Soviet pada waktu itu, KAA Bandung 1955 dan juga yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam Gerakan Nonblok 1961 di Beograd, Indonesia mampu mempelopori terbentuknya Kekuatan Ketiga di di antara pengkubutuban blok Barat vs blok Timur pada waktu itu.

Maka Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) akan semakin memperkuat posisi strategisnya jika bergabung ke dalam BRICS. Seraya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dalam merespons tantangan zaman saat ini. Yaitu menggalang kembali perjuangan negara-negara berkembang dan miskin untuk menegakkan keadilan global dan diskriminasi perdagangan internasional yang saat ini masih sangat merugikan negara-negara berkembang dan miskin. Dan lewat BRICS diyakini merupakan mekanisme kerja sama internasional yang cukup efektif untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dengan demikian, baik melalui SCO maupun BRICS yang mana secara kebetulan China dan Rusia tampil sebagai simpul-simpul alternatif di luar skema AS dan Uni Eropa, sudah sepantasnya menjadi motivasi bagi para stakholders kebijakan luar negeri RI untuk mendorong pemerintah agar pada 2024 mendatang Indonesia bergabung dengan BRICS.

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS sepenuhnya sesuai dengan kepentingan nasional negara kita. Selain itu secara signifikan akan meningkatkan kemampuan negeri kita untuk berpartisipasi dalam diplomasi di berbagai forum berskala internasional. Seraya semakin meningkatkan hubungan yang erat dengan sesama negara-negara yang sedang berkembang. Maka otomatis Indonesia akan semakin memainkan peran yang vital dan strategis di forum-forum internasional.

Pemerintah Indonesia hendaknya juga menyadari bahwa saat ini BRICS merupakan salah satu asosiasi internasional yang berkembang semakin dinamis dewasa ini. Lebih dari 20 negara telah menyatakan keinginannya untuk bergabung dalam BRICS. Proses peningkatan jumlah anggota negara-negara yang bergabung ke dalam BRICS pada perkembangannya akan disertai dengan peningkatan secara signifikan dalam peran struktur dalam sistem pemerintahan global. Sehingga akan memastikan terciptanya suatu transisi yang mulus ke arah terciptanya suatu tatanan dunia yang bersifat Multipolar.

Hala ini akan sejalan dengan arah kebijakan luar negeri yang ditempuh Indonesia yaitu terciptanya keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan global yang bersifat harmonis, sehingga tidak ada satupun kekuatan global yang menguasai hegemoni global seperti di era Unipolar di bawah hegemoni AS dan blok Uni Eropa maupun NATO pada masa silam. Maka dengan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS sebagai negara pertama di Asia Tenggara, secara signifikan akan meningkatkan pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Termasuk dalam memperjuangkan visi Indonesia sendiri dalam membangun mekanisme kerja sama internasional maupun regional  di Asia Pasifik, sehingga tercipta perdamaian, stabilitas politik dan keamanan di Asia Pasifik.

Selain itu Indonesia juga punya visi dan sikap dengan negara-negara anggota BRICS untuk secara bersama-sama meningkatkan peran Global South di kancah forum internasional maupun dalam sistem ekonomi global. Mendorong pertumbuhan yang setara dan inklusif, serta mengurangi ketergantungan pada struktur keuangan yang dikendalikan AS dan blok Barat. Dengan demikian, kerja sama yang semakin erat dan mendalam antara Indonesia dan BRICS akan memungkinkan Indonesia secara terintegrasi ke dalam kepentingan-kepentingan strategis negara-negara berkembang lainnya menciptakan mekanisme kerja sama internasional yang setara dan inklusif untuk mempromosikan aspirasi dan kepentingan-kepentingan negara-negara berkembang di berbagai bidang, sehingga secara signifikan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan inovasi, serta mendorong terciptanya ketahanan nasional di  sektor energi dan pangan.  Dua sektor strategis yang hingga kini tetap merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com