Telaah Kecil Geopolitik
Isyarat Michele Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, bahwa Myanmar bisa didera perang saudara seperti Suriah (14/4/21, WE Online, Jenewa), patut dicermati secara seksama. Ia menyebut bahwa ada gema yang jelas tentang Suriah pada 2011.
“Kami melihat protes damai bertemu dengan kekuatan yang tak perlu dan jelas tidak proporsional,” kata Ravina Shamdasani, jubir Bachelet (13/4/2021), dikutip laman Voice of America.
Bachelet menyebut, situasi itu tidak bisa dibiarkan. Ia menyeru kepada negara-negara untuk memutus pasokan senjata dan keuangan terhadap junta militer Myanmar.
Persoalannya ialah, betapa di tengah memanasnya suhu geopolitik antara Amerika Serikat (AS) versus Cina di Laut Cina Selatan (LCS), adanya konflik Myanmar justru memecah konsentrasi (dan menjadikan tak fokus) masing-masing pihak yang hendak berseteru di LCS. Termasuk konflik di Ukraina telah memecah perhatian para adidaya terutama AS. Dan secara otomatis, jika nantinya meletus peperangan maka pengerahan sumber daya perang niscaya terbelah. Tidak optimal.
Muncul pertanyaan sekaligus sebagai asumsi telaah ini: “Jangan-jangan kedua adidaya —AS dan Cina— telah sepakat untuk memindahkan medan tempur (proxy warfare)-nya dari LCS ke Myanmar?”
Dengan demikian, pernyataan Bachet bahwa konflik Myanmar memiliki gema sebagaimana perang di Suriah disinyalir merupakan isyarat (legitimasi) atas pergeseran lokasi tempur dimaksud.
Kendati proxy warfare di Myanmar baru sebatas asumsi, akan tetapi ada beberapa alasan atau pertimbangan pokok mengapa kedua adidaya mengubah perang (konvensional) secara militer di LCS menjadi perang perpanjangan tangan melalui pihak ketiga (proxy war) di Myanmar.
Adapun pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. ASEAN ternyata mandul. Tidak bisa diharap perannya dalam menyelesaikan konflik internal di Myanmar;
2. Para adidaya menyadari bahwa perang (dunia ke-3) nantinya akan menimbulkan kerusakan cukup besar serta kerugian teramat dahsyat, akibat pemakaian teknologi perang super canggìh seperti nuklir misalnya, atau drone dan 5G-nya, ataupun biological weapon, pesawat siluman, kapal induk, kapal selam, satelit dan seterusnya;
3. Peperangan bakal meluas serta merebak dimana-mana (perang dunia). Selain melibatkan masing-masing aliansi di pelbagai belahan dunia — juga bakal terjadi sabot-menyabot terkait supply chain berbagai produk khususnya energi (minyak) selaku unsur utama dalam peperangan;
4. Akan timbul kemacetan bahkan hancurnya berbagai pasar di kawasan, dan niscaya bakal terjadi pemiskinan secara global akibat banyak pasar menjadi porak-poranda;
5. Proses recovery akan memakan tempo relatif lama akibat tingkat kerusakan yang tinggi, kehancuran infrastruktur, luka-luka psikis antarbangsa, serta merebaknya rasa saling tidak percaya antarnegara;
6. Peradaban global yang sudah maju bakal (kembali) terlempar ke masa silam;
7. Dalam geopolitik — peperangan hanya sebuah agenda belaka, karena skema (tujuan akhir)-nya adalah geoekonomi yaitu penguasaan pangan dan energi. Jadi, peperangan militer secara terbuka di era modern bukanlah pilihan bijak dan tepat;
8. Tren perang sekarang cenderung asymmetric (perang asimetris) berpintu proxy war. Kenapa? Selain murah, tidak gaduh, terlokalisir di suatu wilayah, juga kini menjadi pilihan para adidaya global dalam rangka meluaskan ruang hidup atau lebensraum;
9. Bahwa sejarah perang bangsa Cina, ia kerap kali kalah —tidak setiap kali— apabila Cina melakukan ekspansi secara fisik (militer) di luar kawasannya.
Jadi, apa yang terjadi di LCS kini hanyalah shock and awe alias saling gertak menakuti-nakuti atau sekedar show of force (pameran kekuatan) secara militer.
Kenapa demikian?
Ada dua doktrin militer global yang dianut oleh negara-negara, yaitu:
Pertama: Sivis Pacem Parabellum. Barang siapa ingin damai, bersiaplah untuk perang;
Kedua: Security Dilemma. Dimana setiap negara akan merasa aman jika punya kekuatan seimbang dengan negara sekitarnya. Hal inilah yang kemudian memicu perlombaan senjata di dunia.
Inilah telaah kecil perseteruan antara AS dan Cina di panggung global. Memang belum merupakan kebenaran, dan tidak ada maksud untuk pembenaran. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Kritik dan saran sangat diharapkan.
Akan tetapi, telaah ini bukan ilusi penulis oleh sebab berbasis fakta dan data di lapangan dengan geopolitik sebagai pisau bedah. Kalaupun analisis ini nantinya meleset, semata-mata mungkin selain kondisi geopolitik yang memang unpredictable (sulit diramal) dan turbulent (tiba-tiba), juga faktor VUCA yang menerjang hampir di semua sektor kehidupan.
Demikianlah adanya, terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments