Kemana Isu Perubahan Ke-5 UUD 1945 Berlabuh? (Bagian-7)

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Asymmetric War
Geopolitik mengajarkan, bahwa dalam sistem penjajahan (karena faktor kemajuan iptek), semua pola dan modus kolonialisme bisa berubah. Tidak ada yang abadi, ujar geopolitik — kecuali politik devide et impera. Ini modus abadi. Ada (politik) pecah belah dalam kemasan baru di era modern.
Republik Indonesia Serikat (RIS), misalnya, sesungguhnya merupakan skenario (dan strategi) Belanda untuk melemahkan kembali Indonesia lewat politik pecah belah.
Digelarnya Konferensi Inter-Indonesia —antara delegasi Indonesia dan delegasi Bijeenkomst voor Federale Overleg (disingkat BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal— pada tanggal 19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta. Ya, pembentukan BFO tak lain ialah modus devide et impera Belanda guna ‘mengepung’ Indonesia dari berbagai penjuru. Kenapa? BFO terdiri atas beberapa negara federal yang meliputi:
1. Negara Dayak Besar;
2. Negara Indonesia Timur;
3. Negara Borneo Tenggara;
4. Negara Borneo Timur;
5. Negara Borneo Barat;
6. Negara Bengkulu;
7. Negara Biliton;
8. Negara Riau;
9. Negara Sumatera Timur;
10. Negara Banjar;
11. Negara Madura;
12. Negara Pasundan;
13. Negara Sumatera Selatan;
14. Negara Jawa Timur; dan
15. Negara Jawa Tengah.
Dan melalui konferensi di Yogya tadi, Belanda ingin menyampaikan pesan kepada dunia bahwa (seolah-olah) wilayah kedaulatan Indonesia tersisa sedikit yaitu di sebagian pulau Jawa, Madura dan Sumatera.
Termasuk sisi lain Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949, tersirat hidden agenda lanjutan guna memecah-belah serta ‘mengubur’ NKRI agar konstitusi RIS terus berlanjut.
Tetapi, munculnya Mohammad Natsir, ketua Fraksi Partai Masyumi dengan gagasan Mosi Integral pada 3 April 1950 membuyarkan impian Belanda. Singkat cerita, pengajuan ‘Mosi Integral Natsir’ — akhirnya menyatukan kembali negara-negara bagian ke pangkuan NKRI. Inilah Proklamasi Kedua yang resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950.
Dengan adanya Mosi Integral Natsir, maka bubarlah RIS dan negara-negara bagian bentukan Belanda, balik ke pangkuan NKRI.
Nah, uraian di atas merupakan preseden konstitusi yang berupa kembalinya bangsa dan negara ini kepada UUD asli yang lahir 18 Agustus 1945 setelah sekian waktu di bawah UUD RIS. Ini juga bisa dijadikan rujukan jika bangsa ini hendak kembali ke UUD 1945 asli.
Lantas, adakah rujukan lain selain Mosi Integral Natsir untuk bangsa ini kembali ke UUD 1945 asli?
Jawabannya: “Ada!” meski sifatnya celah atau titik. Yaitu Tap MPR No I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi guna melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap perubahan/amandemen UUD 1945.
Ada pointers dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI) bertopik Kaji Ulang Amandemen UUD 1945, pada Rabu, 1 April 2021 — yang juga dihadiri oleh Dr Zulkifli S Ekomei selaku penggugat UUD palsu. Adapun pointers diskusi di GFI antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa telah diterbitkan Keputusan/Tus MPR No 4/2003 diketuai oleh Prof Sri Sumantri untuk mengkaji ulang UUD hasil empat kali amandemen;
2. Pada gilirannya, lembaga tersebut tidak difungsikan, bahkan hasil kerja Komisi Konstitusi justru ‘dimasukkan laci’ ketika MPR diketuai oleh HN;
3. Hingga kini, publik tidak mengetahui apa dan bagaimana isi serta hasil kaji ulang amandemen UUD 1945 yang dilakukan Komisi Konstitusi pimpinan Prof Sri Sumantri;
4. MPR masa bakti 1999 – 2004 kurang transparan dalam hal mekanisme dan hasil dari kaji ulang UUD yang berdasar Tus MPR No 4/2003.
Pertanyaan gelisah pun muncul: “Bagaimana akan mengubah ke-5 UUD 1945, sedang kaji ulang amandemen ke-1 hingga perubahan ke-4 belum dipahami rakyat?”
Selamat menjalankan ibadah puasa ramadan. Mohon maaf lahir batin.
(Bersambung Ke Bagian 8)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com