Perang Sipil di Suriah, Pancingan Perang Dunia III atau Holocaust?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tampaknya genderang perang di Suriah tetap ditabuh oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu utamanya yakni Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Strategi yang diterapkan sekilas berbeda dengan pola “keroyokan” ala NATO terhadap Pemerintahan Gaddafi, tetapi jika dicermati secara dalam sesungguhnya tidak berbeda, bahkan persis sama. Perbedaan cuma dikulit belaka. Ya. Ketika saat ‘mengeroyok’ Libya, NATO sudah berbekal Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang, sementara di Suriah lain lagi.

Setidaknya pasca gagal terbitnya Resolusi PBB bagi Suriah karena terjegal oleh veto Cina dan Rusia, maka ibarat “memakan bubur panas” ia memulai dari pinggir-pinggirnya. Disinilah letak kesamaan pola. Seperti halnya di Libya, sebelum terbit resolusi 1973 — AS dan sekutu juga mengobarkan dulu pemberontakan atau perang sipil. Demikian pula di Suriah, kegagalan gerakan massa melalui ‘musim semi Arab’ guna menerbitkan resolusi PBB, menjadikan perang sipil sebagai alternatif terakhir.

Sasaran antara yang ingin diraih ialah intervensi massiv militer Suriah terhadap perang sipil. Setelah fase ini maka bisa ditebak, niscaya gelombang laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “komprador” lokal ingin ada intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing di Suriah melalui resolusi PBB. Itulah skenario yang dapat dibaca.

Tak boleh dielak, bahwa saat ini telah ada pengepungan berasal dari tiga negeri tetangga saling berbatas teritori dengan Suriah. Misalnya, perbatasan Jordan-Suriah via al Mafraq. Lalu Turki bersumber dari kota Hakkari (baca: Genderang Perang Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki, oleh Dina Y. Sulaeman dan M Arief Pranoto, di www.indonesian.irib.ir). Sedang dari Lebanon melalui daerah Ersal. Tak kurang Menteri Pertahanan Lebanon, Fayez Gessen mengkonfirmasi data terkait dengan keberadaan operasi penyelundupan senjata dan masuknya teroris al – Qaeda untuk Suriah, yang mengaku menjadi anggota oposisi Suriah, pada titik-titik perbatasan ilegal antara Suriah dan Lebanon, khususnya melalui daerah perbatasan ERSAL (SANA, 20/12/2011). Suriah tengah dikepung!

Mencermati tahapan di atas, sepertinya AS dan sekutu ingin memaksakan grand design penaklukan dunia sebagaimana paparan Wesley Clark, mantan Komandan NATO lima tahun lalu (2005) di Pentagon, yang dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia, Sudan dan seterusnya.

Secara kuantitatif, roadmap penaklukan cuma tinggal dua langkah lagi, yakni Suriah dan Iran; tetapi dari sisi kualitatif sejatinya mengalami banyak kegagalan. Fakta menyatakan, bahwa kekalahan-kekalahan militer AS dan sekutu jarang bahkan tak pernah diekspos. Para media mainstream senantiasa melakukan edit dan counter berita atas kegagalan superpower dan sekutunya. Sebagai contoh kekalahan di medan tempur Irak, Afghanistan, dan terakhir kemarin di Libya merupakan data riil. Kedok atau dalihnya mirip-mirip, yakni penarikan pasukan melalui skenario tayangan video kematian tokoh sentral. Untuk penarikan di Irak dan Afghanistan berdalih “kematian Osama”, sedang penarikan pasukan di Libya berdalih “kematian Gaddafi”, sementara di medan laga perlawanan rakyat lokal dan tentara (setempat) masih berlangsung sengit, massiv lagi dahsyat.

Kembali ke Suriah, perang sipil  yang kini meletus di Baba, kota terbesar ketiga di Suriah, sejatinya merupakan pancingan agar militer Bashar al Assad turut campur tangan lebih dalam. Selanjutnya jika merujuk isyarat Andrew Gavin Marshal, peneliti serta kontributor di Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa gejolak yang terjadi kini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan Cina.

Hal ini sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dengan membatasi gerak Cina dan Rusia serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu. Marshall menyebutnya sebagai “Revolusi Warna”. Ia mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia (PD) III.  Pertanyaanya ialah, apakah AS dan sekutu menginginkan meletus PD III sebagaimana isyarat Marshall di atas?

Jika merujuk sinyalemen Hugo Chaves, Presiden Venezuela kepada PBB: “Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk memulihkan sistem kapitalisme global” (Lizzie Phelan, 2011), maka jawaban pertanyaan tadi adalah: YA! Pertanyaan berikut yang menyeruak, apa motivasi utama AS dan sekutu mengobarkan PD III di tengah krisis ekonomi dan bencana negeri yang tak kunjung usai; tidak gentarkah ia dengan Rusia, Cina, Iran dan negeri-negeri lain di belakang Suriah?

Sesuai isyarat Chaves di atas bahwa perang kolonial seri baru bertujuan memulihkan sistem kapitalisme. Dan agaknya para elit kekuasaan Paman Sam ingin menjiplak model pemulihan Great Depression dekade 1930-an doeloe di AS melalui PD. Terbukti 10 tahun pasca PD II ekonomi AS memang kembali pulih. Dan meletusnya PD III bakal menaikkan oplah dan lapangan pekerjaan, terutama industri peralatan tempur, senjata, para kontraktor perang dan bidang-bidang lain di sekelilingnya. Ya, PD III bakal memulikan kembali sistem kapitalisme yang kini tengah sekarat lagi cenderung bangkrut.

Bagi AS dan sekutu, secara formal modal awal yang diperlukan dalam PD III adalah Resolusi PBB untuk Suriah. Dan sepertinya ia tak bakal terbit selama veto Cina dan Rusia menghadang. Belum lagi permasalahan tuntutan kedua adidaya untuk penyelidikan secara mendalam soal kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat oleh rezim Gaddafi di Libya. Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi PBB.

Selanjutnya senada dengan ancaman Bashar al Assad, jika Suriah diserang pihaknya akan membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang ia persiapkan lama. Maka ada dua pilihan pasti, yakni PD III yang diinginkan AS dan sekutu guna memulihkan sistem kapitalis global, jangan-jangan justru Holocaust yang menyapu Israel. Manusia boleh saja berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Siapa menebar duka bakal memetik sengsara!

(Dari berbagai sumber)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com