Dongeng Kecil tentang Kepemimpinan Politik
Ada anekdot tentang kepemimpinan di republik ini. Dibilang lucu, tetapi memprihatinkan; dikatakan mengenaskan, namun aktual serta terjadi. Itulah realitas yang berlangsung di negeri ini. Ada pergeseran paradigma dalam format pencarian pemimpin.
Lantas, pemimpin itu diciptakan atau dilahirkan? Nah, dongeng ini mencoba menguak walau sedikit.
Di zaman Orde Lama (Orla) dulu, pemimpin itu diciptakan oleh situasi. Baik saat praproklamasi ataupun pascapergolakan dikala merebut kemerdekaan. Wajar jika format kepemimpinan ialah sosok yang keluar dari ‘semak belukar pada sebuah ladang yang dibakar atau terbakar’ oleh pergolakan alias pertempuran. Mereka kerap disebut, “Orang lapangan, bukan wong kantoran”. Dan rata-rata, ia mengetahui benar jalannya hukum sesuatu yang digeluti, atau dalam bahasa ngaji sering disebut: makrifat-hakikat-tharikat-syariat.
Ketika seseorang dapat berselancar di tengah gejolak situasi serta mampu mengendalikan keadaan, niscaya bakal muncul secara alami sebagai pemimpin di lingkungan dimana ia berjuang demi bangsa dan negara. Dan hal tersebut bisa terjadi di level serta lini manapun baik di fungsi tertentu, misalnya, atau di daerah, pada tingkat nasional, bahkan di level global.
Agaknya, pada era Orde Baru (Orba) lain lagi cerita. Justru komunitas intelijen —selaku mata dan telinga negara— berperan dominan membidani para pemimpin. Dengan demikian, bahwa track record orang, atau nilai-nilai yang dianut, latar ideologi, kompetensi, integritas dan lainnya menjadi rujukan utama untuk siapa layak menjadi pemimpin di berbagai lini, skala dan level pengabdian.
Wakil Presiden di era Orba, contohnya, selalu berasal dari para pembantu presiden ataupun inner circle istana. Tentu ia telah melalui profiling yang tidak sederhana. Sosoknya jelas.
Jadi, pemimpin itu bukan hasil karbitan. Dan pemimpin manapun memang dilahirkan oleh situasi pada masanya, dan diciptakan melalui mekanisme kala itu. “Seleksi ketat”. Tidak instan. Ada proses-proses yang mutlak kudu dilewati.
Harus diakui bersama, bahwa format persalinan kepemimpinan pada masa Orla dan Orba, membidani model pemimpin lapangan yang pilih tanding, dugdeng, lagi mumpuni. Minimal memiliki kharakter individu yang kuat sesuai tuntutan zaman.
Sedangkan di masa sekarang ini —Orde Reformasi— format kepemimpinan dirasa tidak bertambah selektif namun cenderung longgar, tidak seketat dulu lagi. Kenapa? Ya. Pemimpin kini tidak lagi diciptakan oleh situasi, tidak pula direkomendasi fungsi intelijen (negara), namun ia dibidani oleh lembaga-lembaga survei. Sebagaimana prolog di atas, inilah yang dibilang lucu tapi memprihatinkan, aktual namun mengenaskan. Dan kita enjoy menikmati.
Usai Pak Harto lengser keprabon, format kepemimpinan kini diukur dari kedekatan dengan pusat kekuasaan —hal ini masih bisa dimaklumi— seperti tim sukses, misalnya, atau buzzer, dan lain-lain. “KKN kemasan baru”. Yang paling dominan justru diukur dari sisi popularitas serta elektabilitas di mata publik.
Tidak boleh dipungkiri, bahwa di era Revolusi Industri 4.0 ini, kerap membidani para pemimpin (politik) publik dari apa yang disebut dengan istilah ‘citra diri’ alias pencitraan. Akibat fenomena tersebut, sekarang marak ‘industri pencitraan’, kenapa? Sebab, pasarnya terbentang luas sepanjang tahun di seluruh wilayah Tanah Air, terutama saat menjelang tahun politik. Apalagi, fabrikasi dari industri citra ini cenderung simpel lagi mudah diproduksi (asalkan ada duit). Tak sulit amat. Cukup berTikTok-ria di alam maya, misalnya, atau tancap baliho, pasang spanduk, ataupun (tebar pesona) bagi-bagi sembako, lempar-lempar bingkisan, money politic dan lainnya, maka dijamin popularitas seseorang melejit dalam tempo singkat.
Sedang fabrikasi yang memiliki daya jual tinggi ialah popularitas yang diciptakan oleh dan/atau via lembaga survei berbayar. Memang sich, popularitas pada politik praktis tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Ada faktor “X” lainnya.
Namun, berbasis industri pencitraan dimaksud, gilirannya siapa mau menjadi Bupati/Walikota, ataupun nyalon Gubernur, atau Presiden/Wapres sekalipun, tinggal memainkan jasa lembaga survei untuk membentuk opini publik tentang layak atau tidaknya ia menjadi ini, jadi itu dan lain-lain, tergantung si pemesan.
Konsekuensi logis yang muncul —tanpa disadari— bahwa yang dicoblos oleh rakyat di bilik TPS sebenarnya hanya citra si kandidat, bukan ideologi, bukan pula kharakter, apalagi visi-misi serta integritasnya. Inilah realitas semu yang diciptakan agen-agen periklanan dan lembaga survei. Maka, ibarat rakyat (tuan) itu membeli kucing dalam karung, ketika dibuka ternyata harimau atau buaya yang keluar. Mak leeebb! Niscaya memakan si tuan pembelinya, dan bisa ludes pula ‘seisi-rumah’ (isi negara).
Poin urgen yang mutlak dicatat pada paragraf ini, sebenarnya bukan rakyat keliru memilih kandidat, atau salah mencoblos; tetapi faktor mekanisme dan pola election —sistem politik— memang seperti itu. Harap maklum. Inilah yang kini berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masive dalam format pencarian pemimpin baik melalui pilkada, pileg, pilgub, maupun ‘pil-pil’ lainnya.
Dengan demikian, maraknya korupsi di republik ini bukan soal moral an sich, justru korupsi lebih disebabkan karena faktor sistemnya. Salah satunya, high cost politics. Asumsi yang sudah bisa dibangun, bahwa korupsi di Indonesia itu dominan (diciptakan) oleh sistem.
Retorika gelisah pun berkelindan kian-kemari, “Mungkinkah kepemimpinan lewat pola seperti ini mampu mengurusi nasib jutaan jiwa melainkan justru menggerogoti rakyat?” Retorika memang tidak untuk dijawab. Ya. Selain (retorika) hanya poin untuk kontemplasi alias permenungan, juga supaya dongeng ini dapat terus dilanjutkan.
Pertanyaan menggelitik timbul, “Kenapa pergeseran pola dan paradigma kepemimpinan di Bumi Pertiwi ini bergerak ke arah yang lebih buruk daripada —Orla dan Orba— era sebelumnya?”
Bersambung ……
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments