Meskipun Arab Saudi sudah mengakui bahwa stafnya telah melakukan tindak pembunuhan terhadap wartawan senior Jamal Khashoggi, pemerintah Inggris belum mengenakan sanksi terhadap Kerajaan Arab Saudi. Padahal terhadap Rusia, Inggris sepertinya begitu antusias untuk menerapkan sanksi ekonomi begitu negara tirai besi tersebut dipandang telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan blok Barat.
Demikian tulis Kevin Livingstone dalam artikelnya yang berjudul Showing Double Standards Over Russia ketika mengkaji kebijakan luar negeri Inggris yang bersifat double standard terhadap negara-negara yang dipandangnya sebagai sekutu strategis seperti Arab Saudi. Sebaliknya, menurut Livingstone, ketika Rusia dianggap melakukan tindak pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap Ukraina, dengan serta merta Perdana Menteri Inggris menuntut tindakan sanksi secepatnya terhadap pemerintahan pimpinan Presiden Vladimir Putin.
Meskipun Perdana Menteri Inggris Theresa May yakin bahwa Putin tidak bermaksud melancarkan perang terbuka terhadap negara-negara blok Barat, tapi sepertinya Perdana Menteri Inggris tersebut sangat berhasrat untuk menggusur pemerintahan pimpinan Vladimir Putin yang mantan Kepala Dinas Intelijen Rusia KGB tersebut.
Terkait hal itu menarik ketika Kevin Livingstone kilas balik semasa pemerintahan Boris Yeltsin di era awal pasca runtuhnya Uni Soviet. Begitu Yeltsin berkuasa, langkah pertama yang dilakukannya adalah merekrut para ekonom berhaluan neoliberal dari sebuah think-thank yang berpusat di London, Inggris, Institute of Economic Affairs.
Salah satu agenda strategis kaum neoliberal dari think-thank Inggris itu adalah menjarah sumber-sumber daya ekonomi Rusia, yang berakibat cukup merugikan bagi rakyat Rusia. Langkah strategis Inggris melalui Institute of Economic Affairs itu, mendapat dukungan penuh dari pemerintah Amerika Serikat. Sesuai dengan Doktrin Wolfowitz yang menegaskan agar tidak ada ada lagi negara yang sekaliber Rusia sebagai pesaing AS. Sehingga hanya ada kutub tunggula/Unipolar di bawah pimpinan AS.
Sialnya, begitu Putin terpilih jadi presiden pada tahun 2000, skema ekonomi kaum neoliberal dihentikan seraya memulihkan kembali keterpurukan sektor industri Rusia. Putin juga dengan tak ayal menolak doktrin Wolfowitz yang menggiring dunia internasional ke dalam kutub tunggal alias unipolar.
Akibatnya kemudian berkembang gerakan-gerakan separatisme negara-negara yang semula tergabung dalam Uni Soviet, menuntut negara sendiri yang memisahkan diri dari Rusia. Terutama yang berada di kawasan Kaukasus maupun Asia Tengah. Seperti Georgia, Azerbaijan, Ukraina, Kazaktan, Turkistan, dan lain sebagainya. Waktu itu, pihak Moskow mencurigai keterlibatan intelijen Inggris dalam gerakan-gerakan separatis di Rusia tersebut.
Sikap standar ganda politik luar negeri Inggris nampaknya juga diperkuat oleh Washington. Meskpun Presiden Donald Trump masih ragu dalam menerapkan sanksi dan hukuman kepada Rusia dan Cina. Namun Wakil Presiden Mike Pence sepertinya jauh lebih tegas terhadap dua negara yang telah ditetapkan oleh Doktrin Pentagon sebagai musuh utama AS.
Dalam pidato Wakil Presiden Pence di the Hudson Institute pada 4 Oktober lalu, secara terang-terangan mengutuk Cina. Menariknya, sosok kunci dari the Hudson Institute yang jadi tuan rumah bagi Mike Pence, merupakan konsultan bidang pertahanan dari Kementerian Pertahanan AS (Pentagon).
John Bolton, penasehat keaman nasional Presiden Trump, mendesak Gedung Putih agar menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih keras terhadap Rusia dan Cina. Nampaknya di ring satu pemerintahan Trump, meski hanya segelintir orang, ada yang sangat berhasrat untuk memprovokasi konflik frontal dan terbuka kepada Rusia dan Cina.
Bahkan Bolton termasuk elemen garis keras di dalam pemerintahan Gedung Putih yang menentang penyelesaian damai antara AS dan Korea Utara. Bolton juga termasuk pemain kunci dalam membujuk Trump agar AS menarik diri dari perjanjian damai yang dikenal dengan the Intermediate –Range Nuclear Forces (INF) antara Reagan dan Gorbachev pada 1997.
Lebih rumit lagi, media massa arus utama di AS dan Eropa Barat semakin mempertajam ketegangan dengan melansir berita-berita bohon terkait konflik perbatasan antara Rusia versus Ukraina.
Seperti kita ketahui, Viktor Yanukovich yang tidak sehaluan dengan skema ekonomi neoliberal AS dan blok Barat kemudian digulingkan dari tampuk kekuasaan pada 2014. Viktor Poroshenko yang pro Barat menggantikan Yanukovich. Penggusuran Yanukovich dipicu oleh keputusannya untuk menunda kesepakatan kerjasama ekonomi dengan Uni Eropa. Supaya tidak merusak hubungan baiknya dengan Rusia sebagai mitra dagang.
Akibat keputusan Yanukovich, sontak kelompok-kelompok sayap kanan dan pasukan paramiliter yang berhaluan Fasisme melancarkan protes terhadap pemerintahan Yanukovich. Seraya menyerukan pembersihan etnik Rusia di Ukraina. Ironisnya, negara-negara blok Barat seperti AS dan Inggris, termasuk yang mendukung gerakan sayap kanan dan fasisme itu untuk menggulingkan Yanukovich. Padahal negara-negara Eropa Barat plus AS justru merupakan musuh negara-negara berhaluan fasisme seperti Jerman, Italia dan Jepang.
Bicara soal sikap standar ganda Inggris, memang bukan hal baru. Anthony Sampson, ketika menulis Biografi Nelson Mandela (Pejuang Anti Apartheid Afrika Selatan) bertajuk Nelson Mandela, the Authorized Biography, semasa pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, juga menerapkan standar ganda. Menutup mata terhadap kebijakan rasialis dan anti kulit hitam rejim Apartheid, semata demi melindungi perusahaan-perusahaan Inggris yang berinvestasi di Afrika Selatan. Seraya menuduh Mandela dan African Nationalist Congress (ANC) dipengaruhi komunis.
Tentu saja tuduhan itu hanya fantasi Thatcher saja untuk menutupi fakta bahwa rejim Apartheid Afrika Selatan memang jelas-jelas menerapkan dominasi ras kulit putih terhadap kulit hitam demi mempertahankan sistem kapitalisme di Afrika Selatan.
Berarti, ketika mempertaruhkan kepentingan imperialisme dan kolonialismenya di negara-negara berkembang seperti Arab Saudi dan Ukraina, Inggris menutup mata terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan penerapakan sistem politik yang otoriter. Namun terhadap Cina, Rusia dan Korea Utara, Inggris bersama-sama dengan AS dengan tak ayal segera melancarkan kecaman keras, sanksi ekonomi dan isolasi begitu melakukan tindakan yang dianggap bermusuhan atau bertentangan dengan agenda-agenda strategis AS dan Uni Eropa.
Karenaa itulah, sikap Inggris terhadap Arab Saudi yang menutup mata terhadap keeterlibatan intelijen pemerintah raja Salman terhadap pembunuhan Jamal Khashoggi bisa dianalogikan dengan kebijakan tutup mata terhadap diskriminasi rasial rejim Apartheid di Afrika Selatan terhadap warga kulit hitam maupun sepak-terjang kelompok berhaluan fasisme dan sayap kanan di Ukraina. Sedangkan kepada Rusia dan Cina yang dianggap musuh Barat, begitu cepat kebijakan sanksi ekonomi dan isolasi internasional diserukan terhadap kedua negara tadi. Begitu pula kepada Korea Utara dan Iran.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)