Momen itu saat (masa) yang tepat. Ibarat adagium kuno: “Setiap orang/golongan/bangsa — ada saatnya, setiap masa ada orangnya.” Lazimnya ketepatan masa atau saatnya sudah tiba, diujudkan dalam sikap dan tindakan. Hasilnya niscaya mencengangkan. Selain dahsyat, bahkan terkadang, gelegarnya pun di luar perkiraan para pelakunya itu sendiri.
Pengandaian lain, momentum itu seperti matahari terbit. Siapa yang mampu menahan? Ibarat malam menggulung siang, dan terang melipat kegelapan. Demikian sebaliknya. Sun Tzu menyebut momentum semacam busur panah yang ditegangkan. Tinggal arah dan bidik sasaran. Lepaskan anak panah. Tidak ada kekuatan mampu menghentikan. Konon, bila ada narasi penghentian pun, itu cuma tipuan. Propaganda, sekedar deception semata. Mengapa demikian, sebab diyakini bahwa momentum adalah takdir — ketetapanNya.
Tatkala agama mengajarkan bahwa rezeki, jodoh dan kematian itu urusan Tuhan. Ranah-Nya. Maafkan kelancangan saya apabila dalam catatan sederhana ini menambahkan, bahwa momentum pun sesungguhnya juga ranah-Nya. Ada campur tangan Tuhan di sana dan kerap dinarasikan dengan diksi: “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
Dalam sebuah organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, menyusut dan mati, momentum selalu datang dan pergi. Ia silih berganti. Ada momentum besar, sedang dan ada momentum kecil. Dalam konteks lain, terdapat momentum global, regional serta nasional dan/atau lokal. Kemerdekaan bangsa, contohnya, merupakan momentum bagi sebuah bangsa kecuali sang penjajah dan kaum pengkhianatnya. Anteknya. Sumpah Pemuda tempo doeloe juga dianggap momentum bagi bangsa Indonesia, dan/atau Revolusi Industri, misalnya, dinilai sebagai momentum global karena mampu mengubah motivasi (dan perilaku) geopolitik kaum kolonialisme, dan lain-lain.
Learning point momentum ialah persenyawaan antara energi baik fisik, nonfisik maupun energi lingkungan. Ini yang mutlak diurai, di-mapping, dianatomi, dikelola dan lain-lain agar gerak momentum tidak salah jalan. Tak salah arah. Tepat sasaran.
Kajian geopolitik mencermati, ada beberapa energi utama dalam sebuah momentum, antara lain adalah:
Pertama, akumulasi kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan seterusnya bercampur menjadi satu;
Kedua, ada solidaritas dan perasaan senasib sepenanggungan;
Ketiga, menguatnya rasa persatuan dan kesatuan;
Keempat, sedapnya cinta tanah air dan manis nasionalisme; dan
Kelima, terdapat trigger atau faktor pemicu.
Memang masih terdapat aspek lain sebagai penyebab momentum terjadi, tetapi aspek-aspek di atas itulah yang relatif lebih dominan dan dianggap arus besarnya. Kenapa begitu, bahwa kelima faktor tadi cukup memiliki irisan geopolitik atas sejarah, budaya, cita-cita dan filosofi.
Ya lazimnya momentum harus diperingati, dirayakan, diprasastikan, atau apapun istilahnya — tujuannya guna merawat ruh momentum agar tetap terpelihara serta terjaga. Bukankah setiap bangsa merayakan hari kemerdekaan, sedang orang seorang, group, lembaga, organisasi dan seterusnya pun merayakan hari jadinya (ulang tahun). Mengapa begitu, sebab ia bagian dari sejarah, takdir geopolitik, dan lain-lain sehingga mutlak harus disyukuri, dihormati, diperingati, bukannya di-bully apalagi dicaci-maki.
Peristiwa 212 dan varian terbaru (reuni), jika dikaji dari perspektif geopolitik —tidak boleh dipungkiri — ia dapat digolongkan momentum bangsa ini. Retorikanya, “Adakah peristiwa sebelumnya, sekian juta orang menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama di satu tempat?”. Itu hanya satu contoh retorika. Jadi, ketika bicara momentum, ia tidak boleh diklaim hanya milik kelompok ini, atau punya golongan itu, dan lain-lain. Sebagaimana Sumpah Pemuda dahulu, contohnya, apakah ia boleh diklaim milik golongan tertentu saja?
(InshaAllah) momentum itu takdir geopolitik, bagian kecil dari takdirNya. KetetapanNya
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)