Ada hikmah —ilmu— dalam buku bertajuk “Daulah Shalihiyyah di Sumatera” meski mungkin baru sekelas premis saja. Menariknya isi materi buku tersebut bersumber dari inskripsi batu-batu nisan di Aceh. Ini hal unik lagi menarik. Poin premis yang dipetik, bahwa kolonialisme —ini salah satu ujud implementasi geopolitik— itu bermotif (geo) ekonomi, sedang futtuhat (kekuasaan/kemenangan/kedaulatan) Islam motifnya (geo) spiritual. Dan secara kesisteman (input-process-output-outcome), keduanya memang berbeda. Tak sama. Jika geoekonomi berbasis nafsu, maka basis geospiritual adalah “ketaatan”.
Secara era pun, apabila konsepsi geoekonomi baru dikenal sekitar Abad ke-15 pasca tumbangnya Andalusia (sekarang Spanyol) dan menyebar ke penjuru dunia usai Perjanjian Tordesillas hingga hari ini, sedangkan geospiritual itu sendiri sudah berdiri sejak Zaman Kenabian Abad ke-7 di Madinah bahkan sampai Abad ke-19 hingga runtuhnya Ottoman di satu sisi, sementara di sisi lain, konsepsi dan praktik geoekonomi baru pada Abad ke-14. Itu pointers yang dipetik ketika hikmah buku di atas dibawa ke forum diskusi di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit.
Untuk menguji, perlu didiskripsikan dalam geopolitik Selat Malaka, contohnya. Narasinya begini, secara geopolitik — Portugis, Belanda dan Inggris merebut Selat Malaka semata-mata karena faktor geoekonomi, sedang Iskandar Muda dahulu juga menguasai Selat Malaka tetapi motifnya geospiritual, bukan geoekonomi. Itu ide dasarnya. Ketika timbul asumsi, bahwa sesungguhnya tidak ada perang agama melainkan karena faktor geoekonomi. Itu berlaku pada era kini, di masa lalu tidak sepenuhnya (geoekonomi) seperti itu.
Sekali lagi, cukup menarik hikmah yang diambil dari buku Daulah Shalihiyyah di Sumatera. Selanjutnya coba mem-breakdown kembali Perang Badar (13 Maret 624 M atau 17 Ramadan 2 H) dan Perang Uhud (22 Maret 625 M atau 7 Syawal 3 H). Poin pentingnya, jika dalam Perang Badar, Islam meraih kemenangan karena kuatnya motif geospiritual. Demi mempertahankan dan meraih kegemilangan nilai-nilai serta ajaran agama (Islam). Justru kekalahan Islam dalam Perang Uhud karena motif geoekonomi —mengejar rampasan perang— lebih menonjol dibanding geospiritual. Nafsu melampaui ketaatan sehingga pasukan Islam cenderung lengah, abai dan gilirannya dipukul mundur oleh musuhnya.
Bahwa dari diskusi kecil di GFI tersebut, ada beberapa learning point yang bisa ditarik antara lain:
Pertama, jika sebuah praktik geopolitik bermotif geospiritual, yakni upaya meraih dan mempertahankan nilai-nilai kebenaran berbasis ketaatan maka kemenangan pun niscaya tercapai plus (bonus) geoekonomi;
Kedua, sebaliknya — bila motif ekonomi lebih menonjol dalam praktik operasional (implementasi) geopolitik, ada kecenderungan kurang berhasil, gagal, bahkan “kalah perang” sebagaimana Perang Uhud dahulu.
Itulah diskusi kecil di penghujung tahun api dan era dimana hampir segala penyakit dalam arti luas, keluar semua. Terima kasih
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)