Telaah Kecil Geopolitik atas Terbitnya Alipay dan WeChat di Indonesia
Kepentingan nasional yang paling utama ialah kedaulatan negara. Ia tegak lurus, mutlak dan merupakan kekuasaan tertinggi atas penduduk, teritorial beserta isi dan dinamika baik di atas permukaan maupun yang di bawah permukaan oleh suatu sistem negara. Sekali lagi, bahwa kedaulatan tidak bisa ditawar-tawar. Slogan “NKRI Harga Mati” adalah buah kesakralan dari sebuah kedaulatan bagi segenap tumpah darah Indonesia.
JJ Rouseaue menyatakan bahwa kedaulatan tidak bisa dicabut; kedaulatan tak bisa dibagi. Jadi, semakmur atau sekaya apapun sebuah negara, Qatar misalnya, tatkala ada bercokol pangkalan militer asing di wilayahnya, secara de facto dan de jure — kedaulatannya terbagi. Qatar tidak lagi berdaulat secara utuh.
Dari perspektif geopolitik, bagi negara-negara yang ada pangkalan militer asing, maknanya — living space, lebensraum atau ruang hidupnya sudah tergerus. Munculnya frontier merupakan keniscayaan di sana, yaitu batas imajiner antara pusat dengan daerah akibat pengaruh asing. Semakin lama, bila tanpa antisipasif secara serius — frontier akan semakin menebal dan meluas. Geopolitik memberi isyarat, frontier adalah dimensi (atau semacam pintu masuk) bagi apa yang disebut kolonialisme. Frontier tidak boleh dibiarkan bila sebuah negara ingin berdaulat secara bulat lagi utuh.
Retorikanya yang muncul, seberapa luas dan tebal frontier di negeri ini ketika ringgit –mata uang Malaysia– menjadi alat transaksi hampir di semua perbatasan Malaysia-Indonesia; atau seberapa besar frontier di Papua jika OPM atau KKB masih eksis disana? Retorika tidak untuk dijawab agar catatan kecil ini dilanjutkan.
Perkembangan dinamika (modal) geopolitik global mengajarkan, bahwa penggerusan ruang hidup sebuah negara tak melulu melalui kekuatan senjata (militer) saja, itu modus dan pola masa lalu. Era kini telah berubah secara nirmiliter atau asimetris. Barangkali, inilah praktik dan implementasi atas isu global yang paling aktual yaitu “perubahan power concept” –dari militer ke power ekonomi– selain isu lain yaitu geopolitical shift, pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik.
Dan hari ini, di berbagai belahan dunia, tidak sedikit — ada praktik bagi-bagi kedaulatan negara kepada entitas lain, bahkan lebih jauh lagi yakni penyerahan kedaulatan kepada entitas yang tidak berhak tetapi atas nama “investasi”, kebijakan, bisnis dan seterusnya. Misalnya, negara menyerahkan pelabuhan laut dan bandara udaranya kepada asing karena tidak mampu mengembalikan utang, bahkan ada negara menyerahkan kedaulatannya (bidang keuangan) kepada asing. Zimbabwe dan Angola adalah contoh aktual. Kedua negara di Afrika itu sekarang menggunakan Yuan —mata uang Cina— sebagai transaksi pembayaran sehari-hari akibat pemerintahannya gagal atau tak mampu mengembalikan utang (debt trap) Cina. Pada gilirannya, utang dianggap lunas namun mata uang kedua negara diganti Yuan. Apakah hal ini berarti, secara de facto, Angola dan Zimbabwe menjadi bagian dari (provinsi) Cina? Lagi-lagi, retorika ini tak perlu dijawab.
Agaknya kini, tanpa gebyar media massa telah beroperasi Alipay, alat transaksi non-tunai (e-Money) milik Jack Ma dan WeChat punya Xiaolong Zhang. Hanya operasional memakai nama lain. Mungkin disamarkan akibat kasus pahit di Bali (baca: Membaca Jaringan Cina di Bali dari Perspektif Geopolitik) yang dilarang Gubernur Wayan Koster karena selain aktivitas ekonomi tersebut tidak ada kontribusi terhadap pemda dan masyarakat sekitar, juga di Bali kemarin belum ada otoritas keuangan domestik yang digandeng.
Hari ini, Alipay atau WeChat menggandeng pemain lokal Alto Halodigital Internasional (AHDI) sesuai syarat bisnis di dalam negeri. Dan usai paparan di depan Bank Indonesia (BI), Alipay dengan mitra lokalnya AHDI sudah bisa jalan dan BI tak melarang meski belum terbit piranti lunaknya.
Kedua platform asal Cina terus berekspansi. Alipay menggandeng PT Elang Mahkota Teknologi Tbk dengan nama DANA (Dompet Digital Indonesia). BNI pun berencana akan merangkul Alipay dan WeChat, dan lain-lain. Konon, kesuksesan dua platform ini mampu mengalahkan bank-bank di Cina karena hampir 92% transaksi pembayaran di Cina dikuasai oleh dua pemain ini.
Secara bisnis dan kebijakan — investasi kedua platform ini syah-syah saja karena sifatnya B to B kendati hal tersebut menabrak UU BI dimana semua transaksi di Indonesia wajib memakai rupiah. Dan secara geopolitik, sesungguhnya dimensi ruang (non-teritorial) Indonesia telah tercaplok dan frontier bakal kian menebal serta meluas karena ekspansi dua platform asal Cina tadi diprakirakan tak akan berhenti untuk memperluas ruang “hegemoni”-nya. Kelak jika Alipay dan WeChat semakin besar, melebar dan meluas penggunaannya di masyarakat, apakah Indonesia bakal bernasib seperti Angola dan Zimbabwe? Ah, entahlah. Hanya saja, kedua negara di Afrika riil memakai Yuan, mata uang Cina, sedang kita menggunakan e-Money, milik Cina juga.
Seyogianya bila permintaan market serta tren uang non’tunai terus meningkat, kenapa tidak disosialisasikan e-Money produknya Mandiri, misalnya, atau Flazz bank BCA, tapcash bank BNI, dan seterusnya semua produksi dalam negeri.
Geopolitik menyimpulkan, bahwa apa yang kini terjadi — beroperasinya Alipay dan WeChat di Bumi Pertiwi merupakan bentuk kolonialisme gaya baru melalui pintu frontier dan dimensi ruang. Saya mengistilahkan, penjajahan hening post modern. Kenapa demikian? Ada aktivitas dan dinamika pemindahan uang serta modal di masyarakat secara masive, sistematis serta terstruktur namun berjalan senyap tanpa hiruk pikuk sama sekali, bahkan uniknya — bangsa yang dijajah justru jatuh cinta kepada penjajah.
Welcome Jack, sugeng rawuh Zhang!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)