Perkembangan Terorisme dan Kontra Terorisme

Bagikan artikel ini

Almira Fadillah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gunadharma Jakarta

Secara umum terorisme merupakan aksi yang bertujuan menyebarkan ketakutan, ancaman maupun eksistensi kelompok tertentu. Saat ini, terutama di Indonesia tindakan teror sendiri telah marak terjadi, baik itu yang dilakukan oleh jaringan teror ataupun yang sekarang kita kenal dengan “Lone Wolf”. Namun dalam perkembangannya, pelaksanaan tindakan teror sendiri tidak lain berhubungan dengan tujuan politik, mengingat upaya teror dinilai sebagai tindakan jihad yang terpuji dalam rangka mewujudkan Khilafah Islamiyah. Mengingat sebagian kelompok teroris di Indonesia maupaun Asean, menggunakan dalil agama yang diterjemahkan secara dangkal sebagai bentuk pembenaran tindakan tersebut.

Berkembangnya terorisme sendiri tidak lain akibat penyebaran faham-faham radikal yang kerap di sosialisasikan melalui kajian, tulisan, internet maupun tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kemanusiaan untuk menggalang masyarakat agar ikut bergabung dan sepemahaman dengan kelompok tersebut. Kejahatan terorisme saat ini dan sebelum tahun 2000, menunjukkan intensitas yang lebih dibandingkan masa sebelumnya. Tidak hanya di Indonesia (Bali dan Jakarta) tetapi juga tempat-tempat lain di dunia, di New York (Amerika Serikat), Pakistan, Spanyol, sampai dengan Inggris. Sebagian besar mereka melakukannya dengan menggunakan bom bunuh diri, disamping cara-cara lain, di New York misalnya dengan menabrakkan pesawat udara ke gedung WTC. Jika dibandingkan kejahatan terorisme pada 1990-an, kejahatan terorisme yang terjadi saat ini jauh lebih unggul baik dalam sisi organisasi, sumber daya manusia, prasarana, pendanaan, maupun tekhnologi yang dipakai.

Menyikapi hal ini, penanganan terhadap masalah terorisme membutuhkan kualitas dan kapasitas intelijen yang tinggi untuk dapat mengungkap pelaku dan motif dibalik terorisme, serta akar permasalahan yang mendasarinya. Disamping itu beroperasinya jaringan terorisme di suatu negara umumnya mempunyai hubungan yang erat dengan jaringan terorisme internasional. Keadaan ini mengakibatkan beberapa aksi terorisme di Indonesia belum diungkap seluruhnya oleh aparat keamanan di Indonesia. Sementara itu aksi-aksi terorisme semakin canggih dan menggunakan teknologi yang tinggi. Tanpa adanya peningkatan kualitas dan kapasitas intelijen, aksi terorisme semakin sulit diungkapkan.

Selain itu dampak yang ditimbulkan dari aki-aksi terorisme, yakni merusak mental, semangat, daya juang masyarakat dalam skala luas dan jangka panjang. Sebagai contoh, dampak tragedi bom Bali pada bulan Oktober 2002 telah menurunkan kegiatan ekonomi lokal sepanjang tahun 2003 dengan berkurangnya pendapatan penduduk Bali sekitar 43 persen, antara lain karena pemutusan hubungan kerja terhadap 29 persen tenaga kerja di Bali. Tragedi Bali juga berpenengaruh dalam perkonomian nasional, dengan menurunnya arus wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 30 persen. Dalam intensitas yang tinggi dan terus menerus, terorisme dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Radikalisme  dan Kontra Terorisme

Berdasarkan pergerakannya, kelompok radikal cenderung melakukan kekerasan serta menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, melalui aksi teror bom karena “Menurut Mereka” terjadi ketidakadilan di dunia, yakni adanya negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat (kebetulan berlatarbelakang Nasrani dan Yahudi) mendomonasi ekonomi dunia, sedangkan dalam kebijakan politik Timur Tengah (isu konflik Palestina dan Israel) cenderung membela kepentingan Israel, termasuk dalam pemberian bantuan persenjataan. Hal ini secara langsung memicu semangat solidaritas primordialisme agama karena rasa frustrasi di kalangan kaum radikal.

Menyikapi maraknya masalah terorisme di Indonesia diterbitkannya beberapa beebrapa peraturan, seperti dari Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 ditahun 2003. Selain itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 7 Maret 2006 juga telah sepakat untuk meratifikasi Internasional Convention for Suppression of Terrorist Bombing (Konvensi Internasional tentang Penentangan Pemboman oleh Teroris) tahun 1997, dan Convention for The Suppression of the financing Terrorism (Konvensi Internasional tentang Menentang Pendanaan untuk Teroris) tahun 1999, menjadi Undang-undang.

Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh masalah terorisme ini mengharuskan suatu Negara, terkhusus Negara Indonesia agar memiliki langkah yang lebih komperhensif dalam menangani tantangan tersebut. Terkait hal ini adanya usulan DPR-RI terkait pembentukan Counter Teroris antar Kementrian menjadi salah satu gagasan yang perlu diimplementasikan dan didukung secara optimal. Mengingat saat ini tindakan counter teroris masih belum optimal justru membuat kelompok tersebut menyerang pemerintah (Kepolisian) yang dinilai sebagai penghambat pergerakan kelompok tersebut.

Jika dikaji dengan baik usulah pembentukan Counter Teroris antar Kementrian akan mempermudah penindakan, proses perizinan, serta meningkatkan ketajaman informasi dalam tahap eksekusi. Semakin banyaknya stake holders yang terlibat tentunya akan mempermudah penanganan kontra terorisme di tingkat nasional. Namun hal ini dapat berjalan secara optimal jika dihilangkannya “Ego Sektoral”. Mengingat masih adanya ego dari masing-masing institusi untuk menonjolkan kinerjanya. Terkait hal ini yang harus kita pahami bersama adalah terorisme musuh bersama yang harus diberanats hingga akarnya, mengingat dampak tindakannya yang dapat menganggu stabilitas keamanan maupun dinamika sosial masyarakat. Mari kita dukung penuh kegiatan pemberantasan terorisme, jangan berikan peluang dan empati bagi tindakan teror.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com