Evita Indah Rahayu, Mahasiswa Papua dan pewarta masyarakat tentang masalah Papua
Diawal-awal bulan Desember 2014, terutama di Papua dan Aceh yang pernah menjadi wilayah konflik akibat keberadaan kelompok separatis dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan bekas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selalu diwarnai kekhawatiran dari masyarakatnya. Mengapa ? Karena pada tanggal 1 Desember 2014 bertepatan dengan ulang tahun OPM, sedangkan pada tanggal 4 Desember 2014 bertepatan dengan ulang tahun GAM yang sekarang telah berubah nama menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Di Aceh sendiri, beberapa petinggi eks GAM sangat berharap agar Milad GAM pada tahun ini wajib diperingati karena merupakan hari bersejarah bangsa Aceh, dan peringatannya kemungkinan akan dilakukan secara “kekeluargaan” oleh mereka, namun sejauh ini beredar informasi di kalangan eks GAM bahwa belum ada instruksi dari pimpinan organisasi tersebut untuk mengadakan Milad atau tidak.
Rumors yang beredar, peringatan Milad GAM kemungkinan akan dilakukan di 3 wilayah, antara lain Banda Aceh, Pidie, dan Lhokseumawe dalam bentuk do’a bersama. Namun, salah satu eks anggota GAM menginformasikan bahwa pelaksanaan Milad GAM tetap dipusatkan di salah satu desa di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, bahkan lelaki tersebut mengungkapkan bahwa dana bersumber dari para tokoh-tokoh GAM yang sudah menjadi pimpinan daerah baik di tingkat provinsi maupun kab/kota. Saat ini panitia Milad terus melakukan penggalangan dana untuk kegiatan tersebut, dan mengajak para mantan GAM yang bergabung ke partai politik lainnya untuk menghadiri perayaan Milad tersebut.
“Pelaksanaan Milad GAM 4 Desember 2014 rencananya tahun ini lebih meriah daripada tahun sebelumnya, dan pusat kegiatan Milad GAM tahun ini akan dilaksanakan di Komplek Makam Chiek Di Tiro di Aceh Besar dalam bentuk kegiatan membaca tahlil/do’a bersama, santunan anak yatim, peusijuk dan orasi politik Wali Nanggroe. Menurut rencana sekitar 5.000 bendera GAM yang sudah sah sesuai qanun Aceh, dan akan dikibarkan menjelang 4 Desember 2014 di seluruh wilayah Aceh,” ucapnya penuh bersemangat.
Namun, tampaknya Milad GAM tahun 2014 juga tidak direspons penuh semangat oleh mantan anggotanya, karena mereka menganggap organisasi tersebut sudah tidak patut dikenang atau diingat lagi, apalagi dinilai organisasi tersebut bersifat kasar atau tidak sopan dengan memecat sebagian mantan anggotanya yang menyebabkan sakit hati.
Disamping itu, di daerah Aceh Selatan, beberapa mantan GAM juga menyatakan tidak akan ikut memperingati Milad GAM, bahkan sebagian besar berpendapat “GAM is over”, karena banyak anggota organisasi ini yang sekarang sulit untuk dikonsolidasikan, dan lebih cenderung memilih kegiatan yang lebih positif daripada memperingati Milad GAM yaitu mereka sibuk beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu “bos eks GAM” di salah satu wilayah juga mengungkapkan sudah tidak mampu untuk mengumpulkan kembali anggotanya agar kembali bersatu. Sedangkan salah satu anggota eks GAM di Kabupaten Aceh Tamiang juga menyatakan, dirinya sudah tidak ingat dengan Milad GAM, karena sudah dipecat dari organisasi tersebut. Beberapa eks GAM di Kabupaten Nagan Raya juga mengungkapkan perasaannya senada.
Menurut penulis, memang sebaiknya pelaksanaan Milad GAM tahun 2014 sebaiknya ditiadakan saja, karena selain akan “memberatkan” warga masyarakat yang kemungkinan besar akan dikenakan “pajak nanggroe” atau sumbangan untuk pelaksanaan Milad tersebut, juga perayaannya dapat menumbuhkan “rasa pilu” di era Aceh masih dalam konflik, padahal sekarang ini kondisi Aceh sudah membaik, dapat membangun dengan lancar, bahkan kondisi Aceh jauh lebih baik dengan wilayah bekas konflik lainnya di NKRI ini.
Bagaimana Dengan Papua ?
Situasi dan kondisi di Papua sebenarnya dapat dinilai sebagai “déjà vu”. Deja vu adalah bahasa Perancis yang secara literal dapat diartikan sebagai “sudah terlihat atau already seen”. Déjà vu juga memberikan “strong sense” bahwa sebuah peristiwa atau masalah sudah diskenariokan sebelumnya atau terjadi dalam situasi yang sedang berlangsung. Situasi déjà vu di Papua dapat disamakan dengan situasi Timtim sebelum lepas dari Indonesia.
Dalam buku berjudul “Internalization of Papuan Issue” menyebutkan situasi Papua saat ini sama dengan situasi di Timtim saat hendak lepas atau merdeka dari Indonesia. Coba diperhatikan persamaannya : di Papua ada OPM, sedangkan di Timtim ada Fretelin dan CNRT ; di Timtim sebelum merdeka ada ETAN bermarkas di New York dan London, sedangkan Free West Papua Campaign berbasis di Oxford, Inggris ; tokoh separatis di Papua yaitu Benny Wenda yang sebenarnya masuk DPO organisasi polisi internasional karena melakukan penyerangan di LP Abepura, Papua pada tanggal 6 s.d 7 Desember 2000, yang kemudian melarikan diri tanggal 8 Januari 2002 serta sekarang tinggal di Inggris, sedangkan di Timtim sebelum merdeka ada tokoh bernama Ramos Horta ; angkatan perang Timtim sebelum merdeka dari Indonesia ada yang bernama Falintil Armed Forces (FDTL) yang dipimpin Taur Matan Ruak, sekarang menjadi Presiden Timor Leste, sedangkan di Papua ada beberapa tokoh OPM seperti Goliath Tabuni dll; saat Timtim hendak referendum juga ada pelayaran kapal asing Lusitania Expresso dari Portugal ke Timtim, belum lama ini ada pelayaran kapal asing Freedom Flotila dari Australia ke Papua dan banyak kasus “yang sama lainnya”.
Situasi menjelang 1 Desember 2014 di Papua, sempat diwarnai SMS provokatif bahwa dalam Sidang Umum PBB 19 s.d 20 September 2014 diputuskan West Papua akan dimerdekakan pada 1 Desember 2014. Putusan kemerdekaan West Papua diklaim mendapat dukungan dari Kerajaan Nippon, Korea Selatan, New Calledonie, Salomon Island, New Zealand, UNI-Eropa, Perancis, Kerajaan Inggris, dan Israel. Kemerdekaan West Papua akan dimumumkan ke seluruh dunia dalam sidang ke-2 pada 24 November 2014 (namun ternyata hanya bualan saja).
Sementara “sayap politik di Papua” terus menyuarakan pentingnya self determination. Menurut mereka, menentukan nasib sendiri (self determination) bagi masyarakat adat di tanah Papua penting untuk dijadikan pondasi dimulainya persatuan dan kesatuan di antara para pemimpin perjuangan politik rakyat Papua dalam menyambut pertemuan West Papua Summit Leader (Pertemuan Pemimpin Papua Barat) di Port Villa, Vanuatu pada Desember 2014. Pertemuan tersebut diharapkan menjadi forum yang baik untuk berkonsolidasi dan rekonsiliasi sekaligus mempersatukan langkah demi mempersiapkan dan mendorong langkah ke arah yang lebih damai dan bersahabat.
Konon, kelompok TPN-OPM juga terus mengadakan konsolidasi dengan terus mengecek kesiapan personil dan kepemilikan senjata tiap Kodap, termasuk mereka masih dipusingkan dengan model struktur TPN-OPM ke depan.
Menurut penulis, perkembangan situasi dan kondisi di Papua tidak dapat lagi diselesaikan dengan cara-cara penggunaan kekerasan, melainkan harus dengan cara-cara soft power yaitu mendekati mereka yang masih bersenjata untuk mau menyerahkan senjatanya secara damai dengan imbalan mendapatkan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan bagi keluarganya bahkan mata pencaharian atau dengan kata lain menggunakan cara-cara disengagement, sehingga mereka tidak tergabung lagi dalam TPN/OPM. Kondisi politik di Papua juga sudah semakin kondusif, ekonomi juga berjalan serta masyarakatnya hidup dalam damai seperti yang digambarkan dalam beberapa film dokumenter terkait Papua.
Penyelesaian masalah Papua ke depan harus diselesaikan dalam konteks diplomasi damai, melalui cara-cara pendekatan antropologi dan sosiologi, bukan kekerasan. Oleh karena itu, tidak ada urgensinya lagi peringatan HUT OPM di Papua pada tanggal 1 Desember 2014. Lebih baik kita mewaspadai tanggal 1 Desember 2014 sebagai hari AIDS internasional saja.