Perpecahan di G8 Jangan Sampai Merusak Kekompakan Negara-Negara Forum G20

Bagikan artikel ini

Ukraina itu merupakan lambung barat Rusia, sehingga nilai strategisnya secara geopolitik di mata negara beruang merah tersebut cukup tinggi. Wajar jika Rusia memandang manuver Amerika Serikat dan NATO untuk membangun pangkalan-pangkalan militernya di Ukraina menyusul keberhasilannya mendukung penggulingan Presiden Viktor Yanukovych pada Februari 2014. Namun, manuver Washington ini dengan mudah bisa dibaca oleh Moskow. Maka, Presiden Vladimir Putin memerintahkan menggerakkan pasukannya ke Krimea, daerah di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia.

Masalah jadi semakin krusial ketika wargaDonetsk dan Lugansk, secara aspiratif berkeinginan bergabung kembali ke negeri induknya, Rusia. Sehingga dengan tak ayal warga Donetsk dan Lugansk membentuk satuan-satuan milisi perlawanan terhadap pasukan Ukraina. Pada perkembangannya bahkan mereka berhasil menggilas pasukan militer Ukraina di medan tempur. Akibatnya, pihak Kiev dan Washington kontan dilanda kepanikan karena tidak menduga bakal mengalami kekalahan militer yang cukup serius. Dalam perhitungan Amerika dan pemerintahan satelitnya di Ukraina, perlawanan militer warga pro Rusia di Donetsk dan Lugansk akan dengan mudah ditumpas.
Bisa dipahami jika Rusia begitu all out membela warga pro Rusia di Ukraina, karena Moskow sudah bisa membaca bahwa jika rencana AS tersebut berjalan sesuai rencana, maka akan disusul dengan membangun pangkalan-pangkalan militer NATO dan sistem rudal di Wilayah Ukraina. Inilah aspek paling krusial di balik krisis Ukraina, yang di mata AS dan sekutu-sekutu baratnya, manuver militer Rusia ke Krimea dipandang sebagai campur tangan di wilayah Ukraina.
Jika kita menelisik mundur ke belakang, apa yang terjadi di Ukraina sekarang sejatinya merupakan bagian dari perselisihan lama sejak runtuhnya tembok Berlin. Yang merupakan simbol awal berakhirnya Perang Dingin dan kehancuran pemerintahan komunis di beberapa negara di kawasan Eropa Timur. Dan bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur pada Oktober 1990.
Pada bulan-bulan berikutnya sesudah runtuhnya Tembok Berlin, Uni Soviet dan Jerman Barat mengadakan perundingan mengenai penarikan munur pasukan Soviet dari wilayah Jerman Timur dan penyatuan kembali Jerman.
Dari hasil perundingan tersebut, tercapai kesepakatan antara Soviet dan pihak barat bahwa sebagai kompensasi atas penarikan mundur pasukan Soviet, pihak barat berjanji tidak akan memperluas keanggotaan NATO. Namun janji pihak barat tersebuit kemudian dilanggar. NATO malah memperluas keanggotaannya dengan merangkul 12 negara Eropa Timur eks komunis dalam tiga babak perluasan. Sehingga langkah ini dipandang sebagai upaya menyudutkan dan “mengepung” Rusia.
Adanya konsesi dari AS dan pihak barat memang sempat dibantah oleh Washington, namun meskipun tidak eksplisit menyebut NATO, beberapa kalangan menilai bahwa arah perundingan yang dirancang oleh pihak barat melalui perundingan Jerman Barat dan Soviet pada waktu itu, memang mengarahkan pada sebuah jaminan bahwa tak akan ada perluasan keanggotaan NATO dari negara-negara Eropa Timur eks komunis. Dan nyatanya komitmen yang menjadi pegangan Rusia sehingga waktu itu bersedia menarik mundur pasukan militernya dari Jerman Timur, kemudian dilanggar.
Dari konstruksi kisah lama tersebut, menarik ketika Mei 2014 lalu, Presiden Barrack Obama dan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia memutuskan membatalkan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G8 yang kebetulan rencananya akan dilansungkan di Rusia pada Juni 2014. Sebagai gantinya, kemudian diganti menjadi pertemuan G7 di Brussels, tanpa kehadiran Rusia.
G7 sejatinya merupakan blok ekonomi negara-negara Eropa Barat atau Uni Eropa, yang secara strategis punya kepentingan ekonomi yang sejalan dengan Washington. Meskipun Perancis dan Jerman beberapa kali seringkali menyulitkan AS dan Inggris yang memang sejak dahulu sudah menjalin persekutuan tradisional, namun dalam skema ekonomi kapitalisme global yang berhaluan Neoliberal dan pro pasar, mereka tetap dalam satu ikatan yang solid dan satu derap langkah.
Sehingga ketika harus menyikapi soal krisis Ukraina dan manuver Rusia menggerakkan pasukannya ke Krimea dan mendukung warga pro Rusia di Ukraina, persekutuan negara-negara Eropa Barat yang notabene juga tergabung dalam ikatan pakta pertahanan melalui NATO, praktis juga bersikap satu suara menentang sikap dukungan Rusia terhadap gerakan perlawanan bersenjata warga pro Rusia di Donetsk dan Lugansk.
G7 juga mengancam akan mengeluarkan sanksi-sanksi yang lebih keras terhadap Rusia atas tindakannya mencaplok Krimea. “Kami tetap siap untuk meningkatkan aksi-aksi, termasuk mengeluarkan sanksi sektoral yang terkoordinasi, yang secara signifikan akan meningkatkan dampak terhadap perekonomian Rusia, jika Rusia terus memperparah situasi,” demikian penegasan para pemimpin G7 dalam sebuah pernyataan.
Maka dari itu, gagasan Australia untuk mengisolasi dan mengucilkan Rusia dari G20, harus dibaca sebagai kelanjutan dari penyikapan para pemimpin G7 untuk mengenakan sanksi yang bisa berdampak buruk bagi perekonomian Rusia.
Jika Rusia benar-benar tidak diikutsertakan dalam forum ekonomi G20, yang mana negara-negara berkembang termasuk Indonesia, berharap para peran strategis Rusia untuk menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi AS dan G7, maka forum G20 akan kehilangan peran dan makna strategisnya sebagai forum ekonomi multilateral untuk membangun kerjasama ekonomi global yang bertumpu pada keadilan dan saling menguntungkan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Global Future Institute berharap, semoga pertikaian antara AS-NATO versus Rusia terkait krisis Ukraina yang merupakan warisan pasca Perang Dingin sejak awal 1990an, hendaknya jangan sampai membawa dampak buruk bagi kekompakan negara-negara anggota forum ekonomi G20. Apalagi jika kemudian Rusia dikeluarkan dari keanggotaannya di G20.

Penulis: Ferdiansyah Ali dan Agus Setiawan, Peneliti Global Future Institute(GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com