Perubahan Sikap Barat dan Kerunyaman Arab Saudi Dalam Perang Yaman

Bagikan artikel ini
Ketika koalisi ini mulai melancarkan serangan ke Yaman dengan sandi “Badai Mematikan”, pasukan Saudi mendapat dukungan militer dan intelijen secara signifikan dari negara-negara Barat. Barat menyuplai para petinggi militer dan intelijen Saudi dengan data-data lapangan menyangkut pergerakan pasukan militer Yaman dan milisi Ansarullah (Houthi) yang diperoleh melalui pencitraan satelit.
Amerika Serikat (AS), Inggris dan beberapa negara Barat lainnya semula menduga perang Yaman tidak akan berlangsung lebih dari satu atau dua bulan untuk mengganyang Ansarullah dan menyingkirkannya dari Sanaa, ibu kota Yaman.
Tapi yang terjadi ternyata mengejutkan; pasukan Ansarullah dan militer Yaman loyalis mantan presiden Yaman Ali Abdullah Saleh tetap solid. Tak hanya bertahan, kedua target serangan koalisi Arab ini bahkan dapat melancarkan serangan-serangan mematikan. Selain itu, di Sanaa bukannya terjadi aksi-aksi unjuk rasa anti Ansarullah, tapi malah sering terjadi unjuk rasa anti serangan koalisi Arab.
Ketika serangan koalisi Arab semakin banyak menjatuhkan korban sipil dan muncul banyak indikasi kejahatan perang pasukan koalisi Arab, mulailah lembaga-lembaga peduli HAM dan parlemen-parlemen Barat menuntut boikot senjata terhadap Saudi. Tuntutan yang terbaru diantaranya meluncur dari parlemen Belanda pada tanggal 16 Maret 2016.
Sumber-sumber Barat menyebutkan bahwa negara-negara Barat mulai menarik bantuan militernya kepada Saudi dalam serangan terhadap Yaman menyusul terjadinya berbagai perkembangan naif di Yaman, termasuk tersebarnya pasukan teroris al-Qaeda dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISISI) di Yaman.
Para petinggi Barat rupanya tak ingin terseret ke mahkamah kejahatan perang setelah lembaga-lembaga peduli HAM internasional mengancam akan memperkarakan pemerintah Saudi dan perusahaan-perusahaan produsen senjata Barat di mahkamah internasional, menyusul jatuhnya ribuan korban sipil, termasuk kaum perempuan dan anak kecil. Kegamangan itu terlihat dari berbagai statemen terbuka para petinggi Barat dalam interaksi dengan Saudi.
Washington mulai mengambil jarak dari Perang Yaman, dan Presiden AS Barack Obama bahkan menuding Saudi menebar kekacauan dan ekstrimisme.
Pentagon kecewa berat karena meskipun pasukan Houthi dan militer Yaman terdesak mundur di selatan Yaman, pasukan yang dominan di kawasan ini bukannya pasukan presiden tersingkir Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi yang didukung Saudi tapi malah pasukan teroris al-Qaeda dan ISIS. Pentagon kuatir pasukan alQaeda dan ISIS menjangkau wilayah-wilayah laut di selatan Yaman yang menjadi jalur strategis semisal Bab al-Mandab.
Inggris juga tak mau ketinggalan berusaha cuci tangan dari dosanya menyokong Saudi dalam Perang Yaman. Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond meminta Saudi dan sekutunya tidak menggunakan senjata buatan Inggris dalam serangan mereka terhadap warga sipil Yaman.
Inggris mendapat tekanan hebat sehingga terpaksa mundur teratur dari kebijakannya yang selama ini mendukung Saudi, terutama setelah Parlemen Eropa bulan lalu merilis pernyataan yang menegaskan boikot senjata terhadap Saudi.
Hanya Perancis sekarang yang dicurigai masih memberikan bantuan, meski terbatas, kepada Saudi akibat adanya transaksi-transaksi dagang dan militer antara Paris dan Riyadh.
Berubahnya sikap pemerintah negara-negara Barat dan kekuatiran mereka terhadap kemungkinan akan adanya pengadilan terkait Perang Yaman di masa mendatang tak pelak membuat Saudi runyam. Nyali rezim Riyadh dalam ugal-ugalannya selama ini terkait isu Yaman praktis jatuh.
Karena itu, tak heran apabila Saudi sekarang terlihat gamang dan lalu memperlunak pendiriannya soal penyelesaian krisis Yaman. Saudi yang semula begitu haus darah dan perang tiba-tiba berusaha berbicara fasih tentang penyelesaian perang melalui jalur negosiasi.
Sadar akan beratnya beban Perang Yaman dan tak jelas kapan militer Yaman dan Ansarullah dapat ditaklukkan, Saudi terpaksa angkat bicara bahwa perang akan segera diakhiri.
Juru bicara pasukan koalisi Arab Brigjen Ahmad Asiri pada 16 Maret mengumumkan bahwa operasi militer besar-besaran koalisi Arab di Yaman sudah mendekati titik akhir. Hanya saja, agar Saudi tak terlalu kehilangan muka, dia mencoba mempercantik retorikanya dengan mengatakan bahwa Yaman tetap memerlukan dukungan jangka panjang agar tidak berubah menjadi Libya Jilid II.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com