Me-review Indonesia Saat ini dari Free Fight Liberalism Sejak Amandemen UUD 1945 Dan Pemahaman Kembali Tentang Keindonesiaan

Bagikan artikel ini
Prihandoyo Kuswanto
Sejak amandemen UUD 1945 pada 1999 – 2002, dengan segala kelicikan maka UUD 2002 masih juga dikatakan UUD 1945, agar rakyat dan TNI tidak berontak. Strategi penipuan ini memang jitu sebab selama 17 tahun reformasi baik TNI, maupun POLRI diam bahkan menikmati keadaan padahal apa yang dijaganya itu, sesuai dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Bhayangkara, Pancasila dan UUD 1945 sudah tidak bermakna sejak Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Naskah Asli diamandemen.
Demokrasi Liberalpun dijalankan, apakah bangsa ini pernah mengalami hal yang demikian? Ya tentu saja pernah mengalami, bahkan sekarang ini adalah melanjutkan apa yang telah dijalankan selama tahun 50an melanjutkan Free Fight Liberalism, dimana pertarungan perebutan kekuasaan melalui Pilsung dari Pilpres, Pilkada, yang terus berlanjut ketika sudah di pemerintahan dimana terjadi saling jegal, saling caci maki, kampanye hitam dan terus berlanjut hari ini. Demokrasi banyak-banyakan suara, padahal yang banyak belum tentu baik dan yang banyak belum tentu mengerti. Triliunan rupiah dikucurkan demi memilih yang belum tentu baik, puluhan triliun dikucurkan hanya untuk memilih koruptor.Begitu sudah terpilih, lalu terbukti 84% Kepala Daerah tersangkut masalah Korupsi.
Barang kali kita harus membuka sejarah agar tidak tersandung untuk kedua kalinya dengan batu yang sama pidato Bung Karno perlu kita baca kembali apa yang di wejangkannya dan bisa menjadi kaca benggala dalam berbangsa dan bernegara. Cuplikan pidato Bung Karno yang perlu kita renungkan berikut ini:
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never Leave History)……… Cobalah lepaskan pandangan kita lebih jauh lagi ke belakang. Marilah kita mawas diri sejak saat kita terlepas dari cengkeraman penjajah Belanda di tahun 1950, yaitu apa yang dinamakan Pengakuan Kedaulatan – recognition of sovereignty. Betapa hebatnya crucial period-crucial period yang harus kita lalui selama masa 1950-1959 itu. Free fight liberalism sedang merajalela; jegal-jegalan ala demokrasi parlementer adalah hidangan sehari-hari, main krisis kabinet terjadi seperti dagangan kue, dagangan kacang goreng. Antara 1950 dan 1959 kita mengalami 17 kali krisis kabinet, yang berarti rata-rata sekali tiap-tiap delapan bulan.
Pertentangan yang tidak habis-habis antara pemerintah dan oposisi, pertentangan ideologi antara partai dengan partai, pertentangan antara golongan dengan golongan. Dan dengan makin mendekatnya Pemilihan Umum 1955 dan 1956, maka masyarakat dan negara kita berubah menjadi arena pertarungan politik dan arena adu kekuatan. Nafsu individualisme dan nafsu egoisme bersimaharajalela, tubuh bangsa dan rakyat kita laksana merobek-robek dadanya sendiri, bangsa Indonesia menjadi a nation devided againts itself.
Nafsu hantam kromo, nafsu serang-menyerang dengan menonjolkan kebenaran sendiri, nafsu berontak-memberontak melawan pusat, nafsu z.g. demokrasi yang keblinger, yang membuat bangsa dan rakyat kita remuk-redam dalam semangat, kocar-kacir berantakan dalam jiwa. Sampai-sampai pada waktu itu aku berseru: rupanya orang mengira bahwa sesuatu perpecahan di muka Pemilihan Umum atau di dalam Pemilihan Umum selalu dapat diatasi nanti sesudah Pemilihan Umum. Hantam kromo saja memainkan sentimen.
Tapi orang lupa, ada perpecahan yang tidak dapat disembuhkan lagi! Ada perpecahan yang terus memakan, terus menggerantes, terus membaji dalam jiwa sesuatu rakyat, sehingga akhirnya memecahbelahkan keutuhan bangsa samasekali. Celaka, celaka bangsa yang demikian itu! Bertahun-tahun, kadang-kadang berwindu-windu ia tidak mampu berdiri kembali. Bertahun-tahun, berwindu-windu ia laksana hendak doodbloeden, kehilangan darah yang ke luar dari luka-luka tubuhnya sendiri. Karena itu, segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: terlepas dari perbedaan apapun, jagalah persatuan, jagalah kesatuan, jagalah keutuhan! Kita sekalian adalah makhluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini seolah-olah adalah buta.
Ya benar, kita merencanakan, kita bekerja, kita mengarahkan angan-angan kepada suatu hal di waktu yang akan datang. Tetapi pada akhimya Tuhan pula yang menentukan. Justru karena itulah maka bagi kita sekalian adalah satu kewajiban untuk senantiasa memohon pimpinan kepada Tuhan. Tidak satu manusia berhak berkata, aku, aku sajalah yang benar, orang lain pasti salah!
Orang yang demikian itu akhimya lupa bahwa hanya Tuhan jualah yang memegang kebenaran!
Demikian kataku di waktu itu.
Berbareng dengan crucial period-nya krisis-krisis kabinet dan krisis demokrasi itu, kita juga mengalami kerewelan-kerewelan dalam urusan daerah, kerewelan-kerewelan dalam urusan tentara, mengalami bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal sulam zonder overall-planing yang jitu, mengalami, aduh, Indonesia yang subur loh jinawi, bukan kecukupan bahan makanan tetapi impor beras terus-menerus, mengalami bukan membubung-tingginya kebudayaan nasional yang patut dibangga-banggakan, tetapi gila-gilaannya rock and roll, geger-ributnya swing dan jazz, kemajnunannya twist dan mamborock, banjirnya literatur komik.
Contoh-contoh ini adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Jawabanku pada waktu itu adalah, “kelemahan jiwa kita ialah bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain, padahal kita ini pada asalnya adalah rakyat gotong royong”.
Demikianlah seruanku pada waktu itu, dan demikianlah pesan seluruh jiwa semangatku menghadapi crucial period waktu itu.
Situasi di bidang ekonomi pun pada waktu itu tidak jauh berbeda. Warisan ekonomi yang saya terima pada tahun-tahun itu barulah berupa tindakan pengambil-alihan obyek-obyek ekonomi dari tangan penjajah Belanda sahaja. Situasi ekonomi yang demikian itu sudah jelas belum memungkinkan adanya pembangunan. Malahan cita-cita pembangunan kita itu sahaja pada waktu itu sudah dihadapkan kepada crucial period – nya pertentangan pandangan dan berlawanannya konsepsi. Berkobarlah pertentangan daerah melawan pusat dalam soal pembangunan, berkobarlah rivalitas daerah yang satu melawan daerah yang lain. Sebagai usaha untuk mengatasi hantam-hantamam di bidang ekonomi pembangunan itu, diselenggarakan di Jakarta sini tempo hari Munas dan Munap. Tetapi kendatipun demikian, segala usaha ternyata tidak mampu menahan arus-meluncurnya disintegrasi dan dislokasi perekonomian kita yang malahan semakin menjadi-jadi.
Pengeluaran uang menjadi terus-menerus meningkat, antara lain dan teristimewa karena diperlukan untuk operasi politik, operasi militer, dan operasi administrasi. Biaya yang meningkat-ningkat ini mengakibatkan inflasi yang sungguh sukar dapat dibendung. Harga-harga dan tarif-tarif terus menaik, pendapatan dari para buruh dan pegawai sebaliknya terus-menerus merosot dalam nilainya karena uang kita semakin kehilangan kekuatan nilai tukarnya. Tibalah sebagai puncak dalam crucial period-nya ekonomi keuangan itu tindakan pengguntingan uang, yang ternyata malah menambah hebatnya inflasi dan menambah beratnya penderitaan dan pengorbanan rakyat…”
Setelah membaca cuplikan di atas, keadaan sekarang rasanya sama dengan keadaan Indonesia tahun 50an, yang membedakan saat ini adalah kita menyerahkan kompas kehidupan berbangsa dan bernegara pada Asing, kita rela melegalkan Kolonialisme, kita amandemen UUD 1945 lalu kita cangkokan amandemen dengan liberalisme, kapitalisme, dan individualisme. Dengan UUD 2002 cangkokan ini kemudian selanjutkan kita legalkan kolonialisme, kapitalisme, liberalisme dengan Puluhan Undang-Undang, bahkan kita sudah tidak lagi bisa berfikir sehat negara bangsa ini kita bongkar, kita buka blak, agar asing bisa masuk meraba semua kehidupan berbangsa dan bernegara kita, dengan bangga mengatakan saat ini adalah era baru, padahal era saat ini yang penuh dengan penghisapan, kolonialisme adalah musuh pendiri bangsa ini.
Kita tidak lagi mempertimbangkan sejarah, nilai-nilai, bahkan dengan kalap Pancasila ditengelamkan, dan sesungguhnya sejak amandemen UUD 1945 Indonesia sudah dicabut rohnya. Indonesia saat ini bukan lagi Indonesia yang di Proklamasikan, Indonesia bukan lagi yang digambarkan didalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 beserta penjelasannya, dan Indonesia karenanya bukan lagi Indonesia yang berdasar pada Pancasila.
Indonesia saat ini adalah negara dengan dasar Ultra Liberal, maka tidak heran jika 0,2 % Minoritas China menguasai lahan 70%, di sektor perkebunan, tambang-tambang, real estate, Industrial estate, dan 0,1 persen penduduk Indonesia menguasai 50% kekayaan Indonesia, apakah ini semua sesuai dengan Tujuan bernegara? Inilah bukti nyata bahwa negara bangsa ini sudah bukan Negara Pancasila.
Pertanyaan berikutnya apakah kita sebagai anak bangsa membiarkan keadaan seperti ini? tentu tidak saya yakin mulai membesar tingkat kesadaran kita sebagai bangsa, dan saya juga yakin akan ada revolusi besar di negeri ini, bagaimana dengan anda apakah anda sudah sadar atau belum tentang keadaan bangsa dan negara ini?
Proklamasi dan Preambule UUD 1945
Untuk melengkapi tinjauan masalah Indonesia sebagaimana sedikit kita bahas di atas, dan mungkin sekaligus bagaimana mencari solusi atas berbagai masalah itu, ada baiknya kita meninjau kembali kebangsaan dan keindonesiaan kita itu sesungguhnya dimulai dari mana. Pemahaman terhadap asal-muasal tentang kebangsaan dan keindonesiaa ini penting agar kita tidak terombang-ambingkan oleh berbagai isyu-isyu yang tidak jelas jluntrungannya terutama tentang apa itu bangsa, apa itu rakyat, dan apa itu warga negara yang hari ini sudah menjadi tidak dipahami oleh kita sendiri sebagai bangsa.
Bung Karno mengatakan dalam satu pidatonya, bahwa antara proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembukaan UUD 1945 terdapat hubungan yang sangat erat. Beliau mengatakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah suatu proclamation of independence. Sementara Pembukaan adalah declaration of independence. Antara proclamation of independence dan declaration of independence adalah loro-loroning atunggal, keduanya adalah satu dan tidak dapat dipisahkan, satu melengkapi yang lain. Hanya Indonesia yang memiliki keduanya. Negara lain hanya memiliki salah satu, kalau tidak proklamasi kemerdekaan, ya deklarasi kemerdekaan.
Indonesia memiliki keduanya. Proklamasi menegaskan kemerdekaan melepaskan diri dari penjajahan dan mengusir penjajah dari bumi nusantara. Deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) untuk memberikan arah dan mengisi kemerdekaan.
Pernyataan Bung Karno ini menarik untuk ditelusuri dan ditelaah, ada apakah dibalik dua peristiwa maha penting dari kelahiran Negara Indonesia yang disebut beliau sebagai loro-loroning atunggalitu. Untuk itu kita perlu meneliti dan menyelami sesuatu yang ada dibalik bunyi naskah kedua dokumen maha penting ini, yakni teks proklamasi dan naskah Pembukaan (Preambule) UUD 1945.
Agar lebih bisa membayangkan kedua naskah tersebut dan apakah ada hubungannya, saya membuat visualisasinya dalam bentuk skema hubungan antara proklamasi dan pembukaan untuk membuktikan kebenaran dari kata-kata beliau. Diagram skematik dari hubungan keduanya dapat dilihat halaman berikut di bawah ini.
Sebelum itu sekarang marilah kita meninjau dari isi teks proklamasi asli tulisan tangan Soekarno yang berdiskusi dengan Hatta di rumah Laksamana Maeda sebagai berikut:
Adakah yang menarik dari teks proklamasi tersebut? Mudah-mudahan kita sama. Tentu secarik kertas tersebut bukan sekedar tulisan biasa tanpa makna.
Ada dua pertanyaan yang akan saya ajukan dan memerlukan jawaban yang tuntas. Pertanyaan pertama berkaitan dengan alinea pertama di mana ada bunyi kalimat “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia”. Tidakkah ada yang aneh dengan kalimat pada alinea pertama itu?
Pertanyaan lanjutannya adalah siapakah Bangsa Indonesia itu? Apakah pada saat itu sudah ada? Jika benar sudah ada, kapan adanya Bangsa Indonesia?
Pertanyaan pertama tersebut berkaitan dengan subyek pelaku, yakni pelaku pembuat penyataan kemerdekaan. Maka dengan demikian, dapatkah dikatakan bahwa Bangsa Indonesia yang dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia, benar-benar sudah ada? Apakah sudah menjadi entitas yang bulat meskipun tidak ada akta kelahirannya? Jika kita telaah dari perspekti dimensi waktu, memang tidak mungkin ada waktu T1 (kemerdekaan Indonesia) sebelum didahului dengan waktu T0 (adanya Bangsa Indonesia).
Jika kita telaah dari perspektif dimensional waktu, di dalam naskah Proklamasi terdapat 4 waktu, T0, T1, T2, dan T3. T0 adalah waktu dimana “Kami Bangsa Indonesia” secara eksistensial ada (yaitu Bangsa Indonesia telah atau sudah ada saat membuat penyataan), sebagai sebuah entitas yang hendak menyatakan sesuatu. T1 adalah saat dimana Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. T2 adalah Alinea II Teks Proklamasi. Dan T3 adalah Tanda tangan Soekarno – Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Pendalaman melalui perspektif dimensi waktu ini penting untuk menelaah lebih jauh isi dari Teks Proklamasi.
Mari sekarang kita menjawab pertanyaan siapakah Bangsa Indonesia, dan mengapa menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Untuk menjawab ini, tidak bisa tidak kita harus meninjau 17 tahun sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945. Saya tidak mengulas dan mengulang penjelasan yang sudah dibuat oleh banyak pakar tentang detik-detik menjelang proklamasi yang diawali oleh penculikan Soekarno dan Hatta oleh anak-anak muda dan dibawa ke Rengasdengklok, pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari dan baru kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 malam hari, dan langsung berkoordinasi untuk membahas rencana kemerdekaan esok harinya.
Pada saat proklamasi, yang merdeka terlebih dahulu adalah Indonesia, dengan kalimat “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia”. Jadi yang menyatakan adalah Bangsa Indonesia. Yang merdeka adalah Indonesia. Maka, apakah Indonesia itu?
Pada 17 tahun sebelum kemerdekaan, ada sejarah yang ditorehkan oleh para pemuda Indonesia, para Jong-jong yang menyelenggarakan Kerapatan Pemoeda pada 28 Oktober 1928, yang menghasilkan sebuah Poetoesan Kerapatan Pemoeda, yang terkenal dengan istilah Sumpah Pemuda dimana para Jong-jong pada saat itu bertekad dan bersumpah untuk bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Jika kita bawa ke teks proklamasi, maka kita dapatkan pengertian ya, tanah air, bangsa, dan bahasa itulah yang dinyatakan kemerdekaannya oleh Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jadi, tanggal 17 Agustus 1945 adalah Kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan Tanah Air (wilayah) Indonesia, kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan kemerdekaan Bahasa Indonesia. Kemerdekaan ini bermakna menjadi fondasi bagi pembentukan Negara Indonesia yang akan dibentuk keesokan harinya, 18 Agustus 1945. Sebab untuk membentuk negara, dipersyaratkan 3 ketentuan, yaitu ada wilayah, ada rakyat dan ada pemerintahan. Jika 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan Negara, hal ini akan menimbulkan problem hukum, sebab negara yang dibentuk negara dengan wilayah mana saja, dengan rakyat mana saja, sebagaimana dipersyaratkan oleh hukum internasional. Selain itu, perlu diketahui, sebelum Indonesia merdeka, di Nusantara ini masih ada kerajaan-kerajaan yang secara teritori dan hukum masih diakui secara hukum internasional, meskipun secara politik dan militer di bawah kekuasaan Belanda.
Jika negara Indonesia hendak didirikan maka kerajaan-kerajaan dan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara perlu disatukan terlebih dahulu dalam satu bangsa, sehingga bisa menjadi fondasi bagi terbentuknya wilayah (tanah air), dan terutama sekali adalah terbentuknya rakyat yang disebut dengan rakyat Indonesia untuk menjadi syarat pendirian sebuah negara. Dan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini dengan suka rela bersedia meleburkan diri menjadi satu Bangsa Indonesia, menjadi satu tanah air Indonesia, dengan bahasa persatuan Bahasa Indonesia yang inisiasi kebangsaan ini dilakukan oleh Jong-jong (Jong Sumatera, Jong Java, Jong Borneo, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamiten Bond, dan lain-lain). Kemunculan dari anak-anak muda ini adalah sebuah strategi yang patut diapresiasi, sebab jika sumpah satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa dilakukan oleh kerajaan-kerajaan, maka belum berkembang sudah pasti akan mati duluan, sebab Pemerintah Hindia Belanda pasti akan melawan itu.
Jadi Indonesia dalam sumpah pemuda inilah yang perlu dimerdekakan oleh Bangsa Indonesia terlebih dahulu, sebab yang namanya rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, belum ada.
Beberapa pakar hukum dan sejarahwan mengatakan bahwa teks proklamasi dibuat dalam suasana terburu-buru, sehingga bunyi redaksionalnya sebagaimana Teks Proklamasi di atas. Apakah benar demikian? Menurut kami tidak. Menurut kami ini adalah kejelian dari perumus teks proklamasi, yakni Soekarno dan Hatta. Beliau sadar betul bahwa kemerdekaan yang akan diperoleh oleh Indonesia bukan lagi hadiah dari Jepang karena Jepang sudah menyerah kalah kepada Sekutu, melainkan kemerdekaan atas perjuangan dan kemauan diri sendiri dari Bangsa Indonesia. Jika kemerdekaan Indonesia sesuai dengan skenario hadiah dari Jepang, maka tidak perlu ada Proklamasi. Tetapi beliau berdua menyadari bahwa jika kemerdekaan yang akan dinyatakan adalah atas kemauan sendiri, yang namanya rakyat Indonesia sebagai syarat untuk berdirinya sebuah Negara Indonesia belumlah ada. Maka yang ada adalah rakyat dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara menjelang kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, diperlukan lah ide kebangsaan, kebangsaan Indonesia yang merupakan gabungan dan kesatuan dari seluruh masyarakat yang ada di nusantara ini, dari Sabang hingga Merauke, baik dalam entitas Masyarakat Adat, maupun Kerajaan-kerajaan yang eksis secara teritori dan hukum. Ide kebangsaan Indonesia yang dimulai dari Sumpah Pemuda, menjadi titik awal dari keberadaan Bangsa Indonesia. Sehingga rumusan dalam alinea I Teks Proklamasi adalah “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan KEMERDEKAAN INDONESIA”. Itulah yang melatari konsep bahwa Indonesia adalah Negara Kebangsaan.
Pemahaman ini penting jangan sampai bisa dengan menyebut Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia adalah negara kebangsaan, dengan memahami kronologis dari kemerdekaan Indonesia sebagaimana diuraikan di atas.
Sekarang mari kita lihat isi dari Pembukaan UUD 1945, seperti berikut ini.
PEMBUKAAN
( P r e a m b u l e )
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan danperi-keadilan. 
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasadan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya. 
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia danseluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesiaitu dalam suatu Undang-Undang Dasar NegaraIndonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan  sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Antara kebetulan ataukah sebuah skenario yang sudah dirancang sebelumnya sangat sulit untuk dipastikan, yang jelas Tangan-tangan Tuhan yang tidak tampak (Invesible hands) turut bermain, sehingga kesadaran ini benar-benar disadari oleh perumus Pembukaan (Preambule) UUD dengan mengabadikannya pada alinea III Pembukaan. Ternyata antara isi dari preambule sebagaimana dapat kita lihat di atas, terdapat hubungan yang sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh.
Peristiwa Proklamasi adalah sebuah peristiwa kemudian. Sementara naskah Pembukaan dasarnya adalah Piagam Djakarta yang sudah ada beberapa bulan sebelum peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 terjadi. Artinya naskah kedua dokumen ini ditulis secara terpisah, namun memiliki rumusan yang bertaut dan benar kata Bung Karno tidak dapat dipisahkan sebagai loro-loroning atunggal.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa antara Proklamasi dan Preambule adalah loro-loroning atunggal. Adalah proclamation of independence dan sekaligus declaration of independence.
Alinea I Teks Proklamasi jika kita kaji naskah Pembukaan seolah membentuk alinea I dan alinea II. Pertama, kemerdekaan Indonesia melahirkan sebuah sikap dan komitmen untuk pro-kemerdekaan dan anti-penjajahan, karena Bangsa Indonesia meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa penjajahan di atas dunia (dengan segala bentuknya) harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Komitmen ini seharusnya menjadikan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ahli karena pengalaman hidupnya, terhadap berbagai model penjajahan (imperialisme), mulai dari penjajahan fisik hingga penjajahan dengan menggunakan modal (kapitalisme) hingga penjajahan dengan berbagai hal seperti penggunaan politik, ekonomi, budaya, pendidikan (beasiswa sekolah di luar negeri), hingga penjajahan informasi (cyber war), dan apa yang sekarang ini disebut dengan proxy war.
Alinea I Teks Proklamasi juga telah mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia. Perhatikan kalimat pada alinea II Pembukaan, “Dan perjuangan pergerakan KEMERDEKAAN INDONESIA telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Perhatikan frasa kalimat yang dicetak tebal, itu sama dengan frasa kalimat di alinea I Teks Proklamasi.
Jadi Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan oleh Bangsa Indonesia telah mengantarkan RAKYAT INDONESIA ke depan pintu gerbang. Apa maknanya ini? Maknanya adalah Negara Indonesia sendiri belumlah ada, maka masih disebutkan dengan “ke depan pintu gerbang”, belum masuk ke sebuah negara yang merdeka. Dari term of condition yang ada pada alinea II Pembukaan tersebut maka lahirlah alinea III yang berisi tentang pengakuan terhadap adanya berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan adanya sebuah cita-cita atau keingingan luhur, supaya dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka RAKYAT INDONESIA MENYATAKAN KEMERDEKAANNYA. Kemerdekaanya yang dimaksud adalah KEMERDEKAAN DARI RAKYAT INDONESIA.
Dengan merdekanya Rakyat Indonesia yang dideklarasikan pada alinea III ini maka lengkaplah sudah syarat untuk mendirikan sebuah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, karena ketiga syarat untuk mendirikan Negara Indonesia sudah lengkap, yakni sudah ada wilayah (tanah air), rakyat dan tinggal menyusun pemerintahan yang penyusunannya sebagaimana dituangkan di dalam alinea IV. Maka apa yang dimaksud dalam alinea II Teks Proklamasi yang berisi tentang proses pemindahan kekuasaan dan lain-lain, dituangkan juga dalam alinea IV, dan kemudian diperkuat lagi dalam 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Ayat Aturan Tambahan.
Maka dengan memahami Teks Proklamasi dan Naskah Pembukaan UUD 1945, kita menjadi mengerti bagaimana susunan (subyek) dari Keindonesiaan, yang harus benar-benar dipahami oleh setiap orang Bangsa Indonesia. Susunan Keindonesia adalah sebagai berikut:
1. Bangsa Indonesia
2. Rakyat Indonesia
3. Negara Indonesia
4. Pemerintahan Negara Republik Indonesia
5. Warga Negara Indonesia.
Lebih lanjut dengan pemahaman seperti ini, maka kita pemahaman ini menjadi landasan untuk memahami mengapa Batang Tubuh UUD 1945 dirancang sebagaimana kita ketahui sekarang, tetapi oleh orang-orang yang tidak mengerti telah dirubah/diamandemen, sehingga aliran pemikiran yang ada di dalam preambule UUD 1945 diganti oleh ultra liberal. Mari kita berpikir untuk keindonesia kita pada saat ini.
Mari kita berpikir koyaknya keindonesiaan kita saat ini telah membuat ibu pertiwi merintih dan hanya bisa berdoa, semoga Bangsa Indonesia selamat. Terima kasih.
~ Rumah Panca Sila ~
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com