Sunarsip, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Catatan Redaksi: Tulisan ini kami ambil dari situs http://www.selamatkan-indonesia.net yang merupakan bagian dari artikel panjang kawan kami Agus Muldya. Mengingat pentingnya tema yang berkaitan dengan privatisasi BUMN ini, kami secara khusus mengangkat tulisan ini sebagai artikel yang berdiri sendiri terlepas dari artikel induknya. Semoga bermanfaat.
Di tahun 2007 ini, aktivitas privatisasi BUMN diperkirakan akan semarak lagi. Berbagai pemberitaan menyebutkan di tahun ini, pemerintah akan mendivestasikan kepemilikannya di 14 perusahaan. Diberitakan bahwa pelepasan saham 14 perusahaan itu akan banyak dilakukan melalui IPO, right issue, maupun secondary offerring di pasar modal. Terkait dengan privatisasi BUMN ini, presiden RI menyatakan masalah sosial dan kompleksnya persoalan menyebabkan lambatnya proses privatisasi BUMN.
Privatisasi BUMN di Indonesia memang memiliki kompleksitas tersendiri. Meski presiden tidak menyebut secara spesifik masalah sosial tersebut, fakta memperlihatkan setiap ada privatisasi BUMN selalu diikuti polemik. Oleh karenanya, memang diperlukan strategi khusus agar privatisasi dapat dijalankan dengan sedikit menimbulkan problem sosial. Sebab, bagaimanapun privatisasi diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG) dan kinerja BUMN.
Restrukturisasi dulu
Cina adalah salah satu negara yang cukup berhasil dalam mengantarkan BUMN-nya tidak hanya sebagai perusahaan yang sehat dan berkinerja baik, tetapi juga menjadi perusahaan kelas dunia. Padahal, problem yang dihadapi BUMN Cina juga sama dengan di Indonesia. Tetapi, prestasi BUMN kita jauh tertinggal dibanding BUMN Cina. Satu hal yang patut dicatat, kebijakan privatisasi BUMN di Cina tidak menimbulkan gejolak sosial sebesar di Indonesia.
Cina menganut doktrin grasp the large and let go of the small (zhua da fang xiao) dalam pengembangan BUMN. Artinya, pemerintah Cina akan mempertahankan BUMN besar dan melepas BUMN kecil. China memiliki banyak BUMN. Namun, hanya sebagian kecil BUMN yang merupakan perusahaan besar. Selebihnya, perusahaan kecil yang berupa township-village enterprises (TVEs) yang beroperasi di daerah.
Tanpa melihat ukuran perusahaan, ternyata jumlah BUMN Cina yang dijual tidak terlalu banyak yaitu hanya sekitar 7 persen dari total BUMN pada tahun 2000. Artinya, pemerintah Cina terlihat hati-hati dalam kebijakan privatisasi BUMN. Riset yang dilakukan Jean C Oi (2006) menunjukkan keputusan privatisasi di beberapa kota dilakukan setelah berbagai bentuk restrukturisasi ditempuh.
Pemerintah Cina juga berhasil membuat privatisasi BUMN tidak identik dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Privatisasi BUMN di Cina dilakukan dengan minimal PHK. Ini tidak berarti bahwa kebijakan privatisasi BUMN di Cina tidak menimbulkan PHK. Namun, dibandingkan tren privatisasi BUMN di negara lain, khususnya Rusia dan Eropa Timur, tingkat PHK dan pengangguran yang ditimbulkan di Cina jauh lebih rendah.
Strategi privatisasi BUMN di Cina yang ditempuh untuk mengurangi PHK adalah melalui penjatahan saham (shareholding) kepada pekerja dan manajemen yang dalam bahasa finansial sering disebut employee stock option plans (ESOP) dan management stock option plans (MSOP). Melalui strategi ini, pekerja BUMN memiliki peluang untuk mencegah kebangkrutan perusahaan. Karena pekerja menjadi pemilik, hal itu bisa meningkatkan motivasi mereka untuk menghidupkan perusahaan dan meningkatkan laba. Laba tersebut digunakan untuk membayar kembali utang perusahaan, sehingga tidak perlu ada PHK untuk mengurangi beban operasional perusahaan.
Kini program shareholding menjadi skema yang lazim dalam berbagai aktivitas fund raising oleh BUMN-BUMN di Cina dalam mendapatkan dana ekstra. Dana yang diperoleh dari pembelian saham oleh pekerja tersebut langsung digunakan perusahaan untuk membiayai kegiatan perusahaan, bukan menjadi bagian yang disetorkan ke APBN.
Program shareholding ini sangat membantu bagi BUMN yang pesakitan yang sulit mendapatkan dana dari perbankan karena pemerintah Cina memang sedang melakukan reformasi perbankan untuk memecahkan problem kredit bermasalah. Bagi pemerintah dan BUMN, program ini menjadi solusi berbiaya murah untuk menjaga agar perusahaan tetap berjalan dan pekerja tetap bekerja tanpa adanya dukungan tambahan dari pemerintah.
Beberapa BUMN, khususnya BUMN yang sakit, memang kesulitan menerapkan program shareholding. Sebagai insentif untuk menarik pekerja ikut program shareholding ini, beberapa BUMN memberlakukan skema khusus. Skema khusus itu adalah pekerja yang ikut program ini, akan mendapatkan tambahan saham ’semu’ dari pemerintah secara proporsional. Tambahan saham ’semu’ tersebut bukan milik pekerja, tetapi tetap milik pemerintah (karena pekerja tidak membeli saham tersebut). Dari skema ini, pekerja dapat menikmati dividen ekstra dari alokasi saham ’semu’ tersebut. Jika pekerja keluar dari perusahaan, mereka hanya akan menerima dividen atas saham yang aktual dibelinya, tidak termasuk saham yang secara potensial dapat memberikan dividen bagi mereka.
Spin off
Terhadap BUMN yang bermasalah, strategi privatisasi lain yang dilakukan adalah dengan spin off. Sesungguhnya, meski BUMN bermasalah, tidak seluruhnya kondisi aset perusahaan buruk. Banyak dari BUMN yang bermasalah justru memiliki aset bagus dan bisa menghasilkan pendapatan besar. Namun, karena aset tersebut dikelola oleh BUMN yang kondisi kesehatannya buruk, maka secara korporat kinerjanya terlihat tidak baik.
Langkah yang ditempuh adalah melepas (spin off) aset produktif menjadi entitas tersendiri yang terlepas dari induknya. Utang, mesin kadaluarsa, pekerja dengan skill rendah dan aspek non produktif lainnya dibiarkan tetap berada di perusahaan induk (asal). Perusahaan hasil spin off ini betul-betul perusahaan baru yang sehat yang tidak tercemar berbagai masalah di induknya.
Entitas baru ini mencatatkan sahamnya di bursa untuk mendapatkan tambahan modal. Karena perusahaan baru, perusahaan ini pun akan mudah mendapatkan kredit perbankan. Kombinasi kepemilikan antara BUMN dan swasta ini, akhirnya akan membawa perusahaan hasil spin off memiliki kinerja baik. Dividen yang dihasilkan akan menjadi pendapatan induknya yang dapat digunakan untuk membiayai program efisiensi dan penyehatan perusahaan.