Pilpres dan Konflik Internal AS

Bagikan artikel ini
Memilih Presiden dan Wakil Presiden AS dilakukan melalui pemilihan umum yang dipenuhi dengan pidato politik dan kampanye selama satu tahun penuh. Sejauh ini, pilpres AS sendiri telah berlangsung untuk yang ke-45 kalinya. Di mana sejak tahun 1856, hanya ada dua partai besar yang bertarung memperebutkan kursi tertinggi di negara adi daya ini, yaitu Republik (yang didirikan pada tahun 1824) dan Demokrat (yang didirikan pada tahun 1854).
Pemilu di AS terbilang rumit. Di Negeri Paman Sam ini, pemilihannya tidak benar-benar langsung dari rakyat kepada capres-cawapresnya, melainkan melalui lembaga pemilih yang disebut Electoral College. Sistem ini akan memegang peranan penting untuk menentukan presiden dan wapres yang baru.
Sistem pemilu AS terdiri dari dua jenis, yakni pemilihan pendahuluan berserta kaukus dan pemilu presiden.
Sejak tahun 1845, pemilu presiden diadakan setiap hari Selasa setelah Senin pertama bulan November. Tahun ini, tanggal pilpres jatuh pada Selasa 8 November 2016. Proses pilpres AS tahun ini dari sisi kekuatan politik dan sosial yang bersaing belum pernah terjadi sebelumnya dan hal ini membuat Amerika terpecah. Konflik politik pertama di Amerika adalah perseteruan pemikiran dan ideologi. Saat ini, ada dua arus pemikiran-politik konservatif dan liberal yang saling berkonfrontasi dan berseberangan satu dengan lainnya.
Kubu konservatif menekankan pemerintahan kecil, penguatan peran pemerintahan negara bagian, pengurangan pajak dan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, moral dan keluarga serta kebebasan membawa senjata. Sementara kelompok liberal memprioritaskan penguatan konsep negara sejahtera, peningkatan pengawasan pemerintah terhadap aktivitas ekonomi, pengambilan pendapatan pajak dari orang-orang kaya dan penekanan terhadap hak-hak etnis minoritas, agama dan gender.
Kubu konservatif dan liberal saling bertarung habis-habisan untuk menentukan kursi kosong Mahkamah Agung Federal AS. Nasib dari pertarungan ini tergantung pada presiden AS berikutnya. Jika Partai Republik memenangkan pemilu tahun ini, maka partai ini akan memiliki peluang untuk melanjutkan dominasi selama beberapa dekade terhadap lembaga peradilan dan hukum penting ini. Namun jika kalah, maka berarti kelompok liberal akan menaklukkan salah satu benteng utama konservatif itu. Perseteruan sengit dan tanpa henti dalam kampanye Demokrat dan Republik dalam pemilu tahun ini berakar pada dua ideologi yang berseberangan ini.
Selain pertarungan ideologi, pilpres AS tahun ini juga diwarnai dengan sengketa partai. Partai Demokrat berusaha mengakhiri tradisi politik selama 70 tahun di Amerika. Partai ini untuk pertama kalinya ingin tetap mengendalikan Gedung Putih untuk ketiga kalinya berturut-turut. Sementara Partai Republik –dengan tetap mempertahankan dominasinya di Kongres– berusaha untuk merebut Gedung Putih dari tangan rivalnya. Melalui cara ini, Republik bisa meningkatkan peluang untuk memajukan program-programnya.
Selama enam tahun terakhir, perselisihan pandangan antara Demokrat yang menguasai Gedung Putih dan Republik yang mendominasi Kongres telah mengganggu aktivitas lembaga eksekutif dan legislatif di Amerika, di mana titik puncaknya adalah terjadi “shutdown” pemerintah AS yang berlangsung selama 16 hari. Dikatakan bahwa dua kutub ruang politik dan partai seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade terakhir.
Dalam ranah ekonomi, juga terlihat adanya dua poros pandangan yang berseberangan di AS. Dalam pilpres di Amerika tahun ini –selain perselisihan yang biasa terjadi antara pendukung welfare state (negara kesejahteraan) dan negara hukum klasik (negara penjaga malam)– juga terjadi perselisihan di berbagai isu lainnya. Pemilu tahun ini harus memastikan apakah AS akan melanjutkan proses globalisasi atau akan terfokus pada ekonomi nasional.
Masalah tersebut merupakan salah satu perseteruan utama antara Hillary Clinton, capres dari Demokrat dan Donald Trump, capres dari Republik. Clinton menginginkan integrasi ekonomi Amerika dalam ekonomi global, di mana tanda-tandanya adalah pengesahan pakta-pakta perdagangan bebas dan pengakuan terhadap gerakan bebas investasi di tingkat dunia.
Sementara itu Trump menentang perjanjian-perjanjian bebas yang memungkinkan untuk memindahkan pabrik dan lapangan kerja ke luar perbatasan Amerika. Slogan Trump “Make America Great Again” menunjukkan bahwa kelompoknya ingin membatasi perbatasan dan memperkuat ekonomi nasional, di mana pendekatan ini bertentangan dengan pandangan yang pro dengan globalisasi.
Konflik antara pendukung globalisasi dan nasionalis Amerika tidak hanya terbatas pada pembahasan ekonomi, namun juga meluas pada kebijakan luar negeri dan keamanan. Para intervensionis pendukung Hillary Clinton menekankan kehadiran lebih aktif di arena kebijakan luar negari dan pengambilan kebijakan tangan besi untuk menyikapi sebagian isu keamanan. Sebagai contohnya, kelompok ini meyakini bahwa AS masih memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan hegemoninya dan harus melanjutkan pengiriman pasukan ke berbagai penjuru dunia.
Sementara itu, para pendukung kebijakan “kembali ke dalam perbatasan” menekankan tentang melemahnya internal AS dan memperingatkan bahwa jika pemerintah Washington terlalu sibuk mengurusi persoalan luar negeri dan internasional melebihi takaran, maka AS akan mengalami kehancuran dari dalam. Berbekal pandangan tersebut, Trump mampu menarik pendukung kuat di antara warga Amerika yang terkena dampak krisis finansial dan ekonomi.
Dalam kampanyenya, Donald Trump berjanji akan mengurangi petualangan internasional Amerika jika ia memenangkan pilpres mendatang. Ia juga berjanji akan menyerahkan tugas jaminan keamanan ke pundak para sekutu AS di Eropa, Asia dan Timur Tengah kecuali jika mereka membayar jaminan keamanannya kepada pemerintah Washington.
Terlepas dari perpecahan politik di masyarakat Amerika, negara ini juga mengalami perpecahan dari sisi sosial. Contohnya, kesenjangan yang mendalam antara rakyat dan para elit di negara ini disebabkan struktur politik AS yang didasarkan pada kekuasaan para elit. Meskipun penentuan hak nasib dilakukan oleh rakyat dan melalui penyelenggaran pemilu, namun penyelenggara utama dan penggerak urusan negara adalah para elit yaitu para pemilik kekayaan dan para politisi kawakan.
Meletusnya krisis ekonomi tahun 2008 dan ketidakmampuan para elit untuk mengatasinya telah memunculkan semacam kebangkitan atau pemberontakan terhadap elitisme di Amerika. Puncak dari kebangkitan ini adalah munculnya Gerakan Occupy Wall Street yang dimulai pada tanggal 17 September 2011 di distrik keangan Wall Street New York City.
Para aktivis memprotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, pengangguran tinggi, kerakusan, korupsi, dan pengaruh perusahaan terutama dari sektor jasa keuangan terhadap pemerintah. Slogan We are the 99 % yang disuarakan para demonstran merujuk pada ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan di AS antara orang-orang kaya (1%) dan seluruh penduduk AS.
Donald Trump menggunakan peluang yang ada tersebut untuk meraih kemenangan dalam pemilu mendatang. Ia menampilkan diri sebagai pembela rakyat yang marah terhadap para elit. Sementara Hillay Clinton dikenal sebagai pembela para elit keuangan dan politik.
Yang pasti pemilu presiden AS pada tahun 2016 menunjukkan dengan jelas adanya perpecahan internal di negara ini, di mana perselisihan ini tidak akan mudah untuk diselesaikan. Trump menyebut pemilu mendatang sebagai peluang terakhir untuk menyelamatkan Amerika. Sementara Clinton menilai pilpres tahun ini sebagai perlindungan kepada demokrasi Amerika. Terlepas pandangan mana yang lebih mendekati kepada fakta, namun bisa dikatakan bahwa AS sedang bergerak di jalur yang sulit dan terjal.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com