PKI SIBAR, Menyingkap Cara Pandang Intelijen Belanda Untuk Mendesain Indonesia Pasca Kemerdekaan

Bagikan artikel ini
PKI & Sibar -Harry A. Poeze- | Shopee Indonesia
Ada buku bagus yang sudah ada di rak koleksi buku saya sejak 10 tahun lalu, ditulis oleh Harry A. Poeze berjudul: PKI SIBAR, Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945.
Persekutuan aneh bermula saat PKI gagal melancarkan pemberontakan terhadap Belanda pada 1926-1927, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan anggotanya ke Tanah Merah, kamp tawanan yang keras dan terpecil di Nugini Selatan. Atau kelak lebih dikenal dengan Boven Digul.
Pada saat Jepang masuk Indonesia dan menggantikan Belanda sebagai penjajah, arus balik terjadi. Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Maka para tawanan anggota PKI, bersama-sama para para tawanan politik lainnya yang juga tokoh pergerakan nasional yang berhaluan nasionalis radikal, para pemimpin Islam dan pengikut Tan Malaka yang kemudian keluar dari Partai Komunis karena menentang garis politik Stalin, kemudian diungsikan ke Australia, atas desakan dari Van der Plas. Pertimbangannya, untuk mencegah jangan sampai para tahanan politik tersebut digunakan oleh Jepang sebagai agen-agen proki binaannya.
Mungkin gambar 1 orang dan janggut
Inilah awal persekutuan aneh orang-orang PKI dan Belanda. Maka orang-orang PKI yang ada dalam pembuangan di Australia, lantas membentuk Serikat Indonesia Baru (SIBAR) pada 1944. Tujuannya adalah menjadikan dirinya sebagai Partai Negara yang akan memimpin Indonesia setelah mengalahkan Jepang.
Hanya saja setelah Jepang kalah pada Agustus 1945 dalam Perang Dunia II, maka persekutuan aneh Belanda-PKI SIBAR pun sepertinya tidak relevan lagi. Apalagi sejak Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, PKI SIBAR sontak hilang dari ingatan dan arsip-arsip sejarah.
Kalau begitu, dimana aspek menarik dari buku karya sejarawan belanda Harry A. Poeze itu? Menurut sang penulis yang juga banyak menulis riwayat hidup Datuk Ibrahim Tan Malaka, dia merasa tergugah menulis buku ini karena dua hal. Pertama, ini persekutuan aneh yang jarang-jarang terjadi, mengingat Belanda selalu dalam satu persekutuan strategis dengan Inggris, Amerika dan Prancis sejak pasca Napoleon Bonaparte. Sontak malah menjalin persekutuan dengan Partai Komunis Indonesia yang notabene secara ideologis berada dalam orbit Uni Soviet yang sejak 1917 berhasil meruntuhkan kekaisaran Dinasti Romanov, dan mengambil-alih kekuasaan.
Kedua, persekutuan Belanda-PKI SIBAR secara tidak langsung telah menyingkap permainan intelijen Belanda untuk menyusun skema Indonesia pasca Perang Dunia II. Sehingga dalam konteks ini, gagasan Van der Plas yang terkenal misterius dan pemain kunci dalam komunitas intelijen Belanda pada masa kolonial, persekutuannya dengan PKI SIBAR dimaksudkan untuk memplot PKI dalam operasi bendera palsu atau False Flag Operation.
Rencana Van der Plas memplot PKI SIBAR sebagai boneka Belanda meski tanpa harus disadari oleh kader-kader PKI itu sendiri, memang sangat mendukung. Mengingat beberapa kader kuncinya seperti Sardjono, Ketua de fakto PKI saat bergabung dengan pemerintah kolonial  dalam pengasingan di Australia, sama sekali tidak tahu-menahu perkembangan maupun konstelasi yang terjadi dalam Perang Dunia II kala itu.
Menarik mengutip laporan kawan Sardjono yang ada di Australia:
“Sardjoo dan para tahanan lain tidak tahu-menahu tentang Perang Dunia II. Mereka hanya tahu sedikit tentang serangan Jepang dan niatan mereka terhadap Hindia Belanda. Sardjono adalah satu-satunya pemimpin revolusioner di dunia yang tidak tahu bahwa Trotzky sudah meninggalkan Uni Soviet dan mati. Hitler telah menguasai Jerman, Italia menjajah Abyssinia, Spanyol mengalami perang saudara, Jepang menguasai sebagian Cina, dan Jerman menyerang Uni Soviet.”
Meskipun Poeze dalam bukunya menilai laporan kawannya Sardjono ini dilebih-lebihkan, namun ada setitik kebenaran dalam pernyataan tersebut. Besar dugaan saya, kawan Sardjono yang membuat laporan ini tergolong kader ideologis partai komunis Australia  dan lumayan berwawasan intelektual. Sehingga laporan tentang Sardjono ini menggambarkan betapa kudet-nya (kurang update) seorang kader ideologis partai  yang tergolong pemain kunci di PKI sejak pemberontakan pada 1926.
Kondisi macam ini sudah tentu sangat dikenali betul oleh Van der Plas. Van der Plas merupakan salah seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda yang punya sifat yang tidak biasa, misterius, namun sangat berpengetahuan luas mengenai orang-orang Indonesia baik ciri sosial maupun budayanya. Lebih dari itu, Van der Plas merupakan satu-satunya pejabat kolonial Belanda yang selain fasih bahasa Indonesia, juga mengenal  secara pribadi sebagian besar kaum elit Indonesia era itu.
Sehingga logis ketika Van der Plas dianggap sebagai otak di balik strategi “cerdas” Belanda terutama pada fase ketika Belanda membentuk pemerintahan pengasingan di Australia seturut masuknya Jepang ke  Indonesia pada 1942, hingga saat Jepang menyerah, maupun ketika Belanda mencoba kembali Indonesia dengan membonceng tentara sekutu sebagai pemenang perang dunia II pada 1945.
Banyak kalangan yang meyakini Van der Plas telah membentuk jaringan intelijen di Indonesia pasca kemerdekaan, sehingga sempat muncul istilah Kader-Kader Van der Plas dan Van Mook, untuk menggambarkan banyaknya orang-orang elit Indonesia yang sengaja disusupkan Belanda ke berbagai instansi-instansi pemerintaham, TNI, maupun partai-partai politik.
Kalau melihat skema Van der Plas ini, usaha memplot PKI SIBAR masuk dalam orbit operasi intelijen Belanda, jadi sangat masuk akal. Apalagi dengan kualitas orang nomor satu PKI di pengasingan seperti Sardjono sebagaimana laporan tertulis kawannya yang di Australia tadi.
Selain itu, tersirat lewat buku Poeze ini, tergambar betapa rapuhnya kader-kader PKI dalam kemampuan intelektual maupun penguasaan ideologinya. Sehingga tak heran begitu mudahnya masuk perangkap pengaruh Belanda. Dikiranya lewat kerjasama dengan belanda untuk melawan fasisme Jepang di Asia dan fasisme Jerman di Eropa, PKI bisa memperoleh momentum untuk bangkit dan berjaya kembali. Tanpa menyadari adanya motif tersembunyi Belanda untuk kembali menjajah Indonesia dengan momentum menyerahnya Jepang pada tentara sekutu pada Agustus 1945.
Coba simak betapa naifnya parra kader PKI SIBAR pimpinan Sardjono ini. Dalam rencana dasar, tujuan SIBAR adalah berusaha bersama-sama pemerintah Belanda untuk mencapai kebebasan Indonesia dari tangan musuh. Kedua, menyediakan dasar Indonesia Baru yang demokratis. Lebih celaka lagi, PKI SIBAR secara gamblang berjanji tidak akan melanggar hukum Belanda dan pemerintah Australia. Bukankah ketika Belanda berhasil menjajah kembali Indonesia, klausul tersebut bisa diterjemahkan Belanda untuk melumpuhkan kembali PKI?
Dari klausul pendirian SIBAR ini saja, tersingkap betapa naif dan tidak imajinatifnya kader-kader komunis yang jadi eksil di Australia tersebut. Andaikan waktu itu Indonesia kembali dikuasai Belanda, maka lewat klausul itu PKI secara de fakto berada dalam genggaman Belanda sepenuhnya. Atau lebih buruk lagi, orang-orang PKI SIBAR memang dengan sadar dan senang hati bersedia jadi agen-agen proksi Belanda.
Kenaifan komunis yang lain lagi adalah, Sardjono dalam salah satu artikelnya meyakini sepenuhnya Belanda siap melaksanakan demokrasi dan reformasi. Tentu saja pandangan Sardjono semacam itu ibarat mimpi di siang bolong. Mana mungkin negara penjajah untuk melestarikan jajahannya memberikan kebebasan dan demokrasi pada rakyat jajahannya?
Namun justru kualitas semacam itu merupakan sasaran empuk dari aparat-aparat Netherlands Forces Intellience Service/NEFIS Belanda, untuk menggarap jejaring intelijennya di Indonesia pasca kemerdekaan Indoesia. Sebab tren ke arah Indonesia merdeka, pastinya sudah disadari oleh orang jenius intelijen Belanda macam Van der Plas. Sehingga yang ada di benak mereka adalah bagaimana menciptakan sistem penjajahan secara tidak langsung terhadap Indonesia yang sudah secara resmi menjadi negara bangsa yang merdeka.
Sebagaimana laporan yang disampaikan Layanan Keamanan Australia, pihak NEFIS menyadari bahwa Belanda sudah tidak mungkin lagi menjajah Indonesia secara langsung seperti dulu. Maka, harus berkompromi dengan bangsa Indonesia, dan menawarkan mereka peran yang lebih besar dalam skema Netherlands East Indies atau Hindia Belanda. Dengan kata lain, tersirat Belanda lewat orang-orang macam Van der Plas, bermaksud menyusun jejaring agen-agen proksi di semua sektor strategis baik pemerintahan maupun swasta. Baik di kalangan sipil maupun militer. Jelasnya, menyusun barisan orang-orang Indonesia yang cara pandang dan pola pikirnya tetap mendukung kepetingan kolonial Belanda.
Dalam konteks PKI SIBAR inilah, skenario Van der Plas menemukan salah satu mata-rantainya justru dari kalangan komunis. Seperti kesimpulan Van der Plas sendiri tentang kepribadian Sardjono, tokoh sentral PKI dalam pengasingan di Austrtralia: Sardjono pada dasarnya tipikal orang fanatik sekaligus pemimpi.
Biasanya, seperti juga dengan tipikal yang sama di kalangan aktivis pergerakan Islam, fanatik sekaligus pemimpi/pengkhayal, sasaran empuk masuk perangkap Operasi Bendera Palsu/False Flag Operation.
Kalau mencermati meletusnya pemberontakan Madiun September 1948 yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin yang berakhir dengan tumpasnya gerakan tersebut, Sardjono dan beberapa eksponen SIBAR yang kemudian menjadi pengurus inti PKI di Indonesia pada 1946, bukan saja ikut terlibat aksi Madiun, bahkan kemudian dihukum mati sebagai pemberontak pada Desember 1948.
Apakah pemberontakan Madiun September 1948 juga melibatkan operasi intelijen Belanda? Menarik untuk dikaji lebih dalam. Namun salah satu jejak keterlibatan Belanda bisa saja ada, mengingat fakta bahwa Hardjono, salah satu pentolan PKI yang satu haluan dengan Sardjono dan sama-sama ikut dihukum mati akibat aksi Madiun, ternyata pernah direkrut NEFIS sebagai karyawan di Holandia.Bukan itu saja. Amir Syarifuddin sendiri yang sebelum meletus pemberontakan Madiun September 1948 pernah jadi perdana menteri kedua Republik Indonesia, pernah ditangkap pemerintah kolonial Jepang karena terbukti mendapat dana dari Van der Plas untuk menyusun gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Untunglah berkat bantuan Sukarno dan Hatta, Amir selamat dari hukuman mati.
Menghilangnya SIBAR dari peredaran, seturut kembalinya Sardjono, Hardjono Cs ke Indonesia pada 1946 dan mendirikan kembali PKI pada tahun yang sama, sepertinya skenario operasi intelijen Van der Plas sudah gagal total. Benarkah demikian? Nampaknya tidak juga.
Sebab setidaknya, Sardjono dan Hardjono, pemain kunci PKI sejak 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, hingga hancurnya pemberontakan Madiun 1948, telah berhasil membersihkan unsur-unsur yang berpandangan nasionalis di dalam tubuh PKI Sibar. Sehingga sejak itu Sardjono Cs menjadi kekuatan fron komunis berhaluan internasional yang menguasai PKI. Apalagi sejak Muso datang kembali ke Indonesia. Sepertinya, penggiringan haluan politik PKI berorientasi internasional dan menafikan pentingnya elemen nasionalisme, merupakan pintu masuk bagi intelijen Belanda untuk memainkan orang-orang PKI sesuai halusinasinya sendiri. Seperti terbukti keberhasilan provokasi Muso dan Amir untuk meletuskan pemberontakan Madiun September 1948.
Jangan-jangan SIBAR dari awal memang cuma diplot sebagai organ cangkang sebagai samaran untuk menyusun jejaring Van der Plas yang bersih dari unsur-unsur yang berjiwa nasionalis baik di lapisan sipil maupun militer. Sementara Sardjono Cs yang merupakan kombinasi antara  orang-orang fanatik dan pengkhayal,  didorong mendirikan PKI SIBAR yang mana mereka dalam fantasi politiknya mengira sedang membangun imperium politiknya sendiri. Padahal sejatinya jadi alat tersembunyi Van der Plas dan NEFIS untuk menyusun barisannya sendiri untuk merongrong kedaulatan nasional Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dengan begitu, PKI SIBAR hanya sekadar desepsi atau pengelabuan. Jejaring binaan Van der Plas yang sesungguhnya justru bukan yang ada di PKI Sibar, apalagi para pemain kuncinya seperti Sardjono dan Hardjono yang terseret ikut pemberontakan Madiun, sudah tumpas seiring gagalnya aksi Madiun 1948.
Lantas, siapakah matarantai sesungguhnya dari jejaring Van der Plas yang berhasil ditanam ke dalam agensi-agensi pemerintahan maupun swasta i negeri kita? Siapa pula jejaring Van der Plas yang berhasil ditanam di posisi-posisi kunci di TNI?
Untuk sekadar gambaran, menarik mengutip tulisan Jenderal Haryo Kecik dalam bukunya bertajuk Dari Bung Karno Hingga Jokowi, Pemikiran Militer Hario Kecik (Catatan November 2011-September 2012. Yogyakarta: Penerbit Abhiseka Dipantara, 2013. Antara lain beliau menulis:
“Persekongkolah Belanda dan Inggris waktu itu, melibatkan agen-agen lokal kita yang kebetulan berada di jajaran posisi strategis birokrasi pemerintahan. Jaringan korporasi Belanda-Inggris tersebut disinyalir masih  membina KETURUNAN VAN MOOK dari angkatan 1947 yang pada saat ini pasti ada dalam jumlah yang cukup besar. Mereka ini malahan berada di lapisan atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam kelompok pengedar narkoba.”
Kalau mengikuti alur pandangan Hario Kecik yang sangat menguasai ilmu intelijen, ada matarantai yang erat antara kader-kader Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Setiajit di Belanda, yang berhasil menguasa organ tersebut setelah era kepemimpinan Bung Hatta, Amir Syarifuddin yang pernah menjadi perdana menteri dan perancang hasil perundingan Renvile yang sangat merugikan posisi Indonesia, maupun para eksponen pemantik pemberontakan Madiun 1948 yang dipimpin Amir-Muso.
Selain itu, tajamnya persaingan antara perwira militer lulusan PETA didikan Jepang maupun para perwira lulusan KNIL didikan Belanda, bukan tidak mungkin juga rentan terhadap infiltrasi skema kepentingan Belanda untuk melestarikan penguasaannnya selama 350 tahun di Indonesia.
Learning poin penting dari buku karya Poeze ini, terlalu dangkal dan naif kalau segala rupa keruwetan dan carut-marut di republik kita tercinta ini, selalu dikambinghitamkan pada PKI. Meski kondisi internal PKI sejak 1926, 1948 hingga 1965, memang rentan untuk disusupi skema kontra intelijen negara-negara asing, utamanya Belanda.
Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute (GFI) dan wartawan senior
.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com