Selama beberapa tahun, Laut China Selatan tampaknya telah menjadi rebutan. Setelah China melakukan militerisasi beberapa pulau yang dibangun secara artifisial di wilayah tersebut untuk menegaskan klaimnya atas jalur perairan tersebut, sejumlah negara di dunia tampaknya telah melakukan upaya bersama untuk merespons sepak terjang China.
Baik itu pembentukan Quad atau Aukus, fokus negara-negara besar di kawasan ini adalah untuk mengawasi China yang semakin agresif.
Menyebutnya sebagai ‘kebebasan navigasi’, AS, Inggris, dan negara-negara lain telah mengirim kapal perang mereka ke kawasan itu sebagai bagian dari unjuk kekuatan. Namun semua itu masih belum memberikan dampak signifikan pada sikap China. Hal ini bisa dilihat dari pengiriman kapal perang mereka untuk menunjukkan hak berlayar melalui apa yang dianggap sebagai perairan internasional. Namun, sekali lagi, semua itu justru membuat Beijing lebih agresif.
Lihat saja bagaimana China telah melakukan militerisasi di kawasan itu, yang disinyalir juga mengerahkan rudal jelajah anti-kapal, senjata anti-pesawat, rudal permukaan-ke-udara dan peralatan pengacau elektronik di pulau-pulau buatan yang disengketakan di Laut China Selatan.
Selain itu, China juga telah membangun landasan terbang dan pelabuhan, yang mampu menampung pesawat militer dan kapal perang. Penempatan rudal telah secara efektif menempatkan semua Laut China Selatan dalam jangkauan militer.
China juga telah melakukan latihan militer di wilayah tersebut. Mereka telah melakukan segala upaya untuk melindungi pendudukannya atas pulau-pulau ini. Atas dasar inilah, tak mengherankan jika China juga telah mengirim kapalnya ke daerah itu dalam jumlah besar untuk meneror angkatan laut lain atau menenggelamkan kapal penangkap ikan dari negara lain untuk mencegah mereka menjelajah ke daerah yang diklaimnya tersebut.
Tindakan China di jalur pelayaran yang sibuk, yang diperebutkan oleh beberapa negara, telah membuat banyak negara merasa terancam kepentingan nasionalnya.
Selain harus berhadapan dengan AS dan sekutunya, China ternyata juga telah berselisih dengan negara-negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei mengenai Laut China Selatan yang kaya sumber daya dalam pertikaian teritorial yang telah berkobar selama beberapa dekade.
China dan Taiwan mengklaim sebagian besar laut, yang dilalui perdagangan maritim sekitar $5 triliun setiap tahun, sementara negara-negara lain juga memiliki klaim yang sama.
Namun, bukti menunjukkan bahwa China memiliki keunggulan di wilayah tersebut karenanegara-negara pengklaim lainnya, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei, tidak sekuat China, dan mereka juga memiliki hubungan ekonomi yang penting dengan Beijing, yang tidak mampu mereka tanggung. Sebaliknya justru berpotensi membahayakan kepentingan ekonomi mereka.
Diakui atau tidak, faktor-faktor yang demikian ini telah menguntungkan China dan menjadikan negara-negara lain, terutama yang berkepentingan denganLaut China Selatan, tidak bisa tidur.
Atas sikap China yang cenderung mendominasi kepentingan di kawasan tersebut, maka Inggris pun juga terpaksa mengubah kebijakan luar negerinya dan berkonsentrasi pada Indo-Pasifik. Dalam hal ini India pun juga telah melakukan hal yang sama.
Belum lagi dengan situasi dimana dengan mengecam AS, China mengerahkan jet tempur pada September lalu setelah kapal perang garis depan AS berlayar melewati karang dekat Kepulauan Spratly yang disengketakan di Laut China Selatan (SCS). China menyebut insiden itu sebagai “perusak perdamaian terbesar”. LCS adalah salah satu jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia.
Sementara dengan menyebutnya sebagai bagian dari Freedom of Navigation Operation (FONOP), kapal perusak angkatan laut AS USS Benfold berlayar melewati Mischief Reef, yang terletak di dekat Kepulauan Spratly belum lama ini. Mischief Reef berbentuk cincin dan terletak sekitar 250 km dari pantai Filipina.
Dalam sebuah pernyataan, Lt Mark Langford, wakil pejabat urusan publik, Armada ke-7 AS, mengatakan, “Pada 8 September, USS Benfold (DDG 65) menegaskan hak dan kebebasan navigasi di Kepulauan Spratly, sesuai dengan hukum internasional. FONOP ini menjunjung tinggi hak, kebebasan, dan penggunaan laut yang sah. USS Benfold menunjukkan bahwa Mischief Reef, elevasi surut dalam keadaan alaminya, tidak berhak atas laut teritorial berdasarkan hukum internasional.”
Mengeluarkan pernyataan keras terhadap pergerakan kapal perang AS di LCS, juru bicara komando teater selatan (STC) Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), Tian Junli, mengatakan operasi itu dilakukan tanpa persetujuan dari pemerintah China.
Dengan terus melakukan pengawasan lanjutan, angkatan udara PLA mengeluarkan peringatan bahwa “Pelanggaran serius AS terhadap kedaulatan dan keamanan China adalah bukti kuat lain dari hegemoni navigasi agresif dan militerisasi Laut China Selatan,” kata Junli.
Sekali lagi, situasi yang terjadi di Laut China Selatan saat ini dan memantik satu bentrokan kecil pun dapat menyebabkan perang skala penuh kapan saja karena tidak ada pihak yang bersengketa yang tampaknya ingin meredakan ketegangan dengan mudah. Hanya waktu yang akan memberi tahu tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)