Pohon Renta Bernama Golkar

Bagikan artikel ini

Adji Subela, Wartawan Senior

Dinamika politik di Partai Golkar sungguh menarik. Ada yang menyindir: jangan sampai gara-gara hal itu, lantas nantinya muncul partai baru. Setidaknya ada tiga partai baru yang dulunya berbasis anggota Golkar, salah satunya eks-anggota plus dari kader sana-sini sehingga terkesan campur-baur, sebuah hidangan gado-gado.

Partai Golkar sudah tua. Pohon beringin ini gampang tumbang karena akar dan batangnya tak lagi mampu menahan prahara; sedangkan cabang, daun, dan rantingnya kian membesar. Jadi, bebannya berat. Pohon sudah renta, tak mampu mengangkat dirinya menjadi organisasi politik “berwibawa” seperti di masa lalu (walaupun seluruh makhluk hidup tahu waktu itu sangat ditunjang kekuasaan kuat). Sekarang, ia cukup nomer dua, cukup wapres, dan cukup “menteri utama”. Itulah yang disesalkan sebagian kadernya.

Kalau tak mampu membikin tunas sendiri di pohon itu, maka akan ada yang membantu menyebar biji buat bersemi di tanah harapan baru. Seperti gejala umum partai kita sekarang ini, arah partai tergantung pada siapa yang membuat serta yang memimpinnya. Anggota partai yang mestinya menjadi pemegang kedaulatan utama hanya taklid pada si tuan atau nyonya besar, terkesan blo’on layaknya pegawai perusahaan terhadap sang majikan.

Dari dinamika politik di internal Patai Golkar itu muncul kelucuan-kelucuan yang menarik. Bayangkan, kita sekarang sulit mendapatkan informasi secara komplet, komprehensif, seimbang, dari sebuah stasiun TV. Kalau yang menyangkut “campur tangan” ataupun “intervensi” pemerintah atas Golkar, kita harus menengok satu stasiun TV. Sedangkan kalau ingin melihat “pergulatan” di partai “beringin sungsang” tersebut—termasuk ramai-ramai adu otot sedikit di kantor DPP Partai Golkar di Slipi—jangan harap kita temukan di stasiun TV itu. Kita harus rajin memencet tombol ‘alkenja’ (alat kendali dari jauh = remote control) dan mendapatkannya di stasiun TV lain yang nyaris tidak memberitakan “intervensi” pemerintah.

Organisasi politik gaek ini memang lucu. Belum lama berselang, sang ketua umum ngotot minta kongresnya diadakan tahun 2015. Tahu-tahu mendadak dia minta diadakan tanggal 30 November ini. Tentu saja hal ini membuat sebagian kadernya berang. Sang ketua memang juga bos grup perusahaan besar dan bos sebuah stasiun TV nasional. Jadi, kekuatannya besar sekali. Ada juga bos partai lain yang juga memiliki grup perusahaan dan stasiun [stasiun-stasiun] TV sekaligus. Jadilah mereka penguasa yang bisa saja bersimaharajalela.

Loh, katanya ini negeri demokrasi dan dijamin semua partai berjanji memperjuangkan demokrasi? Tetapi, lain kata lain perbuatan, lain ladang lain ilalang, lain perkara dan tujuannya lain pula pola politiknya. Kasihan rakyat. Hak untuk mendapatkan informasi yang objektif, jujur, dan adil-seimbang sudah disunat, kini malah dikebiri habis-habisan sehingga rakyat tak ubahnya orang kasim. Kasim politik.

Oleh karena itu, jangan lagi terkenang-kenang pada romantisme jurnalisme masa lalu. Jurnalisme konvensional itu sudah mati, ti, ti, ti.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com