Praktek Sistem Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia di Barat Sedang Mengalami Krisis Legitimasi (Catatan Menjelang Democracy Summit Maret 2023 di Korea Selatan)

Bagikan artikel ini

Pada 29-30 Maret 2023 mendatang akan digelar Democracy Summit di Korea Selatan, yang menurut rencana akan dihadiri juga oleh Presiden RI Joko Widodo. Forum pertemuan para kepala pemerintahan yang berlangsung di Korea Selatan tersebut akan diarahakn untuk memperkuat Bali Democracy Forum yang dibentuk pada 2008 lalu. Namun justru di sini masalahnya.

Meskipun Bali Democracy Forum didirikan untuk menciptakan Lanskap Demokrasi Yang Progresif di kawasan Asia-Pasifik, namun Democracy Summit  maupun Bali Demoracy Forum pada kenyataannya sarat dengan muatan agenda-agenda dan kepetingan AS dan negara-negara Barat yang diarahkan untuk membentuk insitutusi-institusi dan mekanisme  demokrasi ala Amerika Serikat atau Western-style Democracy seperti demokrasi-multipartai ala Eropa Barat seperti di Inggris, Belanda, negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark, dan sebagainya).

Padahal terbukti sejak sistem demokrasi multi-partai ala Eropa Barat tersebut diterapkan di Indonesia sejak November 1945, sekadar sebagai ilustrasi, telah menimbulkan Krisis Nasional yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa seperti munculnya gerakan-gerakan separatism seperti Gerakan Maluku Selatan, Gerakan Andi Azis di Sulawesi Selatan, Pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatra Barat dan Sulawesi Utara pada 1957/1958.

Strategi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat untuk mempengaruhi berbagai forum kawasan Asia-Pasifik seperti Democracy Summit dan Bali Democracy Forum agar skema Demokrasi ala Barat diadopsi di negara-negara Asia-Pasifik tanpa terkecuali Indonesia, tampaknya perlu dicermati dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian.

 

 

Ada dua masalah krusial dalam upaya AS maupun Uni Eropa untuk mempengaruhi negara-negara di Asia-Pasifik untuk mempraktikkan nilai-nilai Barat maupun sistem demokrasi multi-partai ala Eropa Barat.

Pertama,  Sistem Demokrasi ala Barat sejatinya digunakan untuk melestarikan dan melindungi superioritas Peradaban Barat yang memandang dirinya sebagai peradaban universal. Dan memandang nilai-nilai non-Barat sebagai musuh global AS dan Eropa Barat di era Paska- Perang Dingin.

Kedua, dengan diterapkannya sistem demokrasi liberal ala AS dan Eropa Barat yang sejatinya mencerminkan nilai-nilai Peradaban Barat, bukan saja tidak sesuai dengan nilai-nilai Peradaban Timur yang umumnya dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam seperti di Timur-Tengah, Persia dan Asia Tengah, maupun nilai-nilai Konfusius seperti di Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok. Melainkan juga telah menyebabkan timbulnya komplikasi-komplikasi yang pada perkembangannya merugikan negara-negara sedang berkembang/developing countries seperti merebaknya gerakan-gerakan separatisme yang kemudian mendapat dukungan negara-negara demokrasi Barat. Seperti Gerakan Papua Merdeka di Indonesia, Gerakan Separatis Tatar di Ukraina, Gerakan Separatis Suku Kurdi di Irak Utara, Gerakan Separatis Chechen di Rusia, dan Gerakan Separatis Uighur di Cina.

Meski gerakan-gerakan separatis tersebut belum menjadi suatu ancaman nasional yang cukup signifikan, namun indikasi kuat adanya dukungan negara-negara Parlemen Uni Eropa untuk mendorong internasionalisasi isu Papua, Tatar di Ukraina, Uighur di Cina dan  Rohingya di Myanmar, merupakan gangguan bagi Indonesia terkait separatisme di Papua, Rusia terkait separatis Tatar, Cina terkait Uighur, dan Myanmar terkait Rohingya.

Maka upaya AS maupun Uni Eropa dalam mempengaruhi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik untuk menerapkan skema Demokrasi Barat, sejatinya didasari niat terselubung untuk membendung pengaruh Cina dan Rusia yang semakin menguat di kalangan negara-negara Asia-Pasifik, termasuk negara-negara yang tergabung dalam perhimpunan negara-negara Asia-Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia. Selain dimaksudkan juga untuk memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya.

Dengan demikian swecara tersirat agenda Barat untuk mengangkat isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia bukan saja untuk mempertunjukkan superioritas nilai-nilai universal Barat, tapi sekaligus juga didasari niat terselubung  untuk menggunakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai instrumen politik memojokkan Cina dan Rusia, yang sejak bergesernya kerjasama internasional dari pendekatan Unipolar menjadi Multi-polar, telah menempatkan Cina dan Rusia sebagai simpul-simpul alternatif di luar kutub  Unipolar AS dan Uni Eropa.

Dengan demikian, isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia juga diarahkan untuk membangun black propaganda terhadap Cina dan Rusia. Seakan-akan kedua negara adikuasa pesaing AS dan Eropa Barat tersebut termasuk negara-negara pelanggar hak-hak asasi manusia. Seraya mengisolasi negara-negara yang menolak bersekutu dengan AS dan Barat sebagai negara-negara yang tidak berkomitmen pada demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Padahal kalau kita cermati munculnya kasus aksi Islamophobia Rasmus Paludan dari Swedia maupun Edwin Wagensveld dari Belanda pada Januari 2023 lalu, telah menunjukkan bahwa Demokrasi Liberal ala Barat pun saat ini pun sedang mengalami krisis.

Baca artikel saya sebelumnya:

Aksi Islamophobia Rasmus Paludan dan Edwin Wagensveld: Pertanda Demokrasi, Liberalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia Mengalami Krisis Legitimasi di Eropa Barat

Mengapa Demokrasi Liberal ala Barat saat ini sedang mengalami krisis? Kasus Aksi Islamophobia Paludan maupun Wagensveld telah menunjukkan bahwa jika tidak adanya protes dan tekanan opini publik yang meluas di negara-negara berpenduduk Muslim dari Asia, Afrika, dan Timur-Tengah, maka Swedia dan Belanda yang notabene tergabung dalam Uni Eropa, akan tetap membiarkan dan membenarkan terjadinya pelecehan dan penghinaan satu kelompok agama terhadap kelompok agama lain atas nama kebebasan berekspresi sesuai dengan sistem dan praktek demokrasi dan liberalisme politik yang berkembang di Barat.

Jika tidak ada itikad dari AS maupun sekutu-sekutu strategisnya dari Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, maka besar kemungkinan apa yang dikhawatirkan pakar politik Samuel Huntington dalam bukunya bertajuk The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order akan menjadi kenyataan.

Bahwa pretensi AS  maupun Eropa Barat pada umumnya untuk mendominasi Peradaban Barat sebagai peradaban universal yang unggul dan tak tertandingi, maka pada perkembangannya akan memantik konflik dari negara-negara dari peradaban non-Barat, utamanya dari negara-negara Islam maupun yang Konfusius.

Sepertinya prediksi Huntington yang ketika bukunya terbit pada awal 1990an dikecam berbagai kalangan akademis maupun elemen-elemen masyarakat, sekarang terbukti semakin nyata. Manuver AS dan NATO untuk membendung Cina di Asia Pasifik lewat skema Strategi Indo-Pasifik, belakangan semakin gencar tidak saja lewat pendekatan hard power berupa aksi militer dan kerjasama-kerjasama militer seperti QUAD maupun AUKUS, tapi juga melalui pendekatan soft power seperti aksi mempromosikan demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Misalnya saja baru-baru ini muncul skema Canada’s Indo-Pacific Strategy yang dalam agenda strategisnya diarahkan untuk memberi bantuan dana dan advokasi mendukung aksi-aksi hak-hak asasi manusia di negara-negara di Asia-Pasifik yang tergabung dalam skema Indo-Pasifik.

Baca: Canada’s Indo-Pacific Strategy

Skema Kanada untuk mendukung aksi hak-hak asasi manusia di negara-negara yang tergabung dalam Indo-Pasifik tersebut pada prakteknya nanti akan bertabrakan dengan  nilai-nilai Timur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat. Karena isu kesetaraan gender atau Emansipasi Perempuan, perlindungan hak-hak kaum minoritas keagamaan, apalagi trans-gender seperti LGBT, sangat ditentang keras di negara-negara yang menganut nilai-nilai dan budaya Timur. Tanpa kecuali Indonesia. Dalam isu perlindungan hak-hak minoritas keagamaan seperti Rohingya yang beragama Islam di Myanmar atau Muslim Uighur di Cina, pada perkembangannya bisa memantik gerakan separatisme di Myanmar maupun Cina Rohingya yang muslim atau Muslim Uighur di Cina karena minoritas keagamaan yang  bersinggungan secara paralel dengan isu etnik atau kesukuan, dapat memantik gerakan separatisme memisahkan diri dari negara induk.

 

Canada's Prime Minister Justin Trudeau arrives to attend APEC Leader's Dialogue with APEC Business Advisory Council during the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) summit, 18 November 2022, in Bangkok, Thailand (Photo: Reuters/Lillian Suwanrumpha).

Jika demikian adanya, maka sulit untuk dibantah bahwa demokrasi liberal yang berasal dari nilai-nilai peradaban Barat, pada perkembangannya ditujukan sebagai instrument pemecah-belah kesatuan bangsa ketika dipraktikkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara ASEAN pada umumnya.

Maka itu, sehubungan dengan rencana keikutsertaan Presiden Joko Widodo dalam Demokracy Summit di Korea Selatan pada 29-30 Maret 2023 mendatang, pemerintah Indinesia hendaknya secara tegas bahwa niat negara-negara Barat mempropagandakan nilai-nilai universal Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia, seraya menyudutkan Cina dan Rusia sebagai negara-negara pelanggar HAM yang kebetulan di luar skema AS dan Uni Eropa, sama sekali tidak konstruktif untuk membangun kerjasama internasional atas dasar saling menghormati, kesetaraan dan saling menguntungkan atas kesamaan kebutuhan.

Selain fakta membuktikan bahwa praktek sistem demokrasi liberal dan hak-hak asasi manusia di Barat sendiri sedang mengalami krisis legitimasi.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com