Presiden Jokowi, Kembalilah Kepada Cita-cita Poros Maritim

Bagikan artikel ini
Perjalanan bernegara kita akhir-akhir ini memang berliku dan penuh polemik, itu hal yang niscaya, tetapi sebagai bangsa yang bernalar kita tidak boleh gagal fokus. Di tengah pergulatan politik, khususnya politik media, paparan permasalahan yang bertubi-tubi kita hadapi jangan sampai melengahkan dan bahkan melemahkan nalar kita dihadapan penguasa. Kita harus lebih pandai lagi mengurai permasalahan-permasalahan tersebut, melelakkan setiap permasalahan pada tempatnya, jika permasalahan karena salah jalan, maka tarik kembali ke track-nya, jika permasalahan karena disorientasi tujuan, kita kembalikan pada visi sejatinya. Jika permasalahan itu karena penghianatan akan prioritas-periotitas pembangunan maka kita harus ambil bagian dalam perlawanan, melawan penghianatan itu. Inilah esensi bernegara sekaligus bernalar.
Mega proyek pembangunan kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung adalah episode lanjutan dari beberapa kebijakan pemerintah yang selalu menantang nalar kita sebelumnya. Saya akan mengomentari persoalan ini dari tiga perspektif. Pertama, Perspektif Konstitusi, khususnya dalam memandang hubungan Negara dengan BUMN. Kedua, perspektif kebijakan publik (public policy), bagaimana cara pemerintah mengambil kebijakan ini. Ketiga, Perspektif kepemimpinan Jokowi yang memiliki visi pembangunan Poros Maritim sebagai prioritas nasional.
Dalam perspektif konstitusi, mega proyek ini telah mengoyak-oyak aturan perundangan-undangan secara membabi-buta. Konstituasi ditafsirkan secara sempit dan pragmatis. Bagaimana Menteri Negara BUMN menyebut ini murni bisnis, sedangkan dalam prakteknya melibatkan BUMN?
Bukankan kekayaan negara yang ada di BUMN ini bagian dari keuangan negara yang dijamin Undang-undang. Jika nalar kita hidup dan memori sejarah kita kuat, seharusnya persoalan ini bukanlah berada di wilayah abu-abu. UUD 1945 Pasal 33, UU BUMN, UU Keuangan Negara dan terakhir putusan Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.
Terlebih dalam APBN 2015 terdapat penyertaan modal negara dalam BUMN yang nilainya lebih dari 60 triliun. Jumlah ini secara kasat mata adalah berasal dari APBN, dari pajak rakyat dan mengandung amanah rakyat. Sehingga Pemerintah sebagai pengelola dana ini tidak boleh main-main. Terlebih lagi, saat ini aset seluruh BUMN yang dikendalikan oleh pemerintah nilainya lebih dari 4000 triliun. Manfaat dari aset negara ini harus terdistribusi secara merata dalam bentuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan golongan atau kesejahteraan asing.
Sekali lagi, Menurut hemat saya, Mega Proyek Kereta Cepat yang melibatkan BUMN dan secara monopolis dikendalikan oleh Kemeneg BUMN ini bukanlah an sich business to business, secara konstitusional ini adalah wilayah negara, oleh karena itu rakyat berhak mengerti, mengkritisi bahkan melawan jika itu merugikan kepentingan bangsa.
Selanjutnya, mari kita lihat polemik ini dari perspektif pengambilan keputusan kebijakan publik. Semua masih ingat bahwa dalam proses persetujuannya saja kita sudah dicela oleh khalayak bisnis international. Suatu hari pemerintah menyatakan proyek kereta cepat tidak jadi. Di saat pengumuman mengudang tanda tanya investor, tiba-tiba proyek tetap jalan dan dengan sejuta tanda tanya yang tak terjawab pula,ternyata Cina menang tender; alasannya, dengan Cina, tidak melibatkan APBN, tidak ada jaminan pemerintah, cukup dengan hutang negara, $5.5 milliar.
Terlebih, seiring berjalan dengan waktu, ternyata Cina meminta jaminan dari pemerintah, pun tidak ada jaminan dari Cina bahwa proyek ini melibatkan stakeholder dalam negeri yang lebih besar. Sebuah desain kebijakan yang amat terkesan tidak profesional. Di sela-sela itu Presiden Jokowi malah ngagetkan banyak orang, setelah proses yang kacau-balau, tiba-tiba masuk berita peletakan batu pertama.
Anehnya, dengan proyek yang begitu besar, Menteri Perhubungannya tidak hadir, apa dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu? Sebagai menteri perhubungan yang seharusnya mengerti kebijakan perhubungan, apa dia mengerti sesuatu yang menjadi tanda tanya khalayak selama ini?
Hitungan hari berlanjut, terdengar kabar surat ijin belum keluar, lebih dari 600 ha tanah belum terbebaskan. Kemana penduduk, masyarakat pinggiran dan petani-petani mau dipindahkan? Belum diselesaikan, belum ada gambaran jelas. Master Plan proyek ini seperti sabda dari entah siapa, tanpa negara tahu teksnya dimana. Berita mengejutkan lagi, proyek diprediksi mangkrak, pihak China minta jaminan, Pemerintah saling tidak tahu, proyek tiba-tiba distop.
Ini pertanda decision-making yang sangat tidak profesional. Kalau ini terjadi di Jepang atau Korea, menteri yang bersangkutan, tunduk berkali-kali, minta maaf, mengundurkan diri malah komit harakiri atau loncat bukit. Tidak di negeri kita, semua berlalu begitu saja, bahkan nyaris tanpa kritik yang masif dari kita sebagai bangsa. Ini perlu ditelaah, dan menteri-menteri yang bersangkutan ditegur atau dipecat.
Karena ini melanggar asas profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas sebagai pejabat publik. Ini tugasnya krusial Presiden saat ini untuk menegur mereka. Mari kita lihat realitas bernegara kita. Pegawai kecil, tukang-tukang kecil, kita pecat tiap hari kalau salah kerjanya, tapi pemerintah, pemilik negara, mau bilang apa? Presiden tidak boleh diam saja, sehingga publik hanya bisa menduga-duga bahwa ini ada semacam conspiracy of silent dalam tubuh eksekutif.
Aspek terakhir yang saya komentari terkait mega proyek ini adalah dari Perspektif kepemimpinan Jokowi yang memiliki visi pembangunan Poros Maritim sebagai prioritas nasional. Kalau Presiden Jokowi konsisten dengan visi yang sangat bermartabat ini proyek kereta cepat Jakarta-Bandung jelas sebuah missed the point completely. Konsep maritim indonesia adalah konsep Jokowi yang paling saya kagumi semenjak kampanye dulu.
Kenapa? Pertama, karena memang sudah lama bangsa kita dalam pembangunannya, “lupa daratan” (lupa sejarahnya dan lupa lautan). Jadi sayapun yakin bahwa hanya dengan membangun laut dan kelautan kita, bangsa ini akan jadi bangsa besar.
Kedua, kalau kita berbicara maritim indonesia, maka fokus misi kerjanya harus ke indonesia timur, termasuk NTB, NTT sampai ke Papua. Karena ini daerah terbelakang, melaksanakan pembangunan maritim indonesia berarti melaksanakan pembangunan indonesia timur dan daerah terbelakang. Dari segi ekonomi, kultur dan kesatuan bangsa, maritim Indonesia adalah satu konsep yang menjadi kebanggaan, bukan saja kita-kita yang masih hidup tapi pahlawan-pahlawan kita yang sudah gugur, dari Gajah Mada sampai Sukarno dan bahkan Suharto. Jadi kalau pemerintah mau membangun tol laut, pelabuhan-pelabuhan, industri-industri perikanan dan rumput laut (suatu industri yang popular dan maju di lombok), saya bukan saja mendukung tapi terpukau dengan bayangan akan hasil-hasilnya.
Tiba-tiba, pemerintah mau bangun high speed train. Pada saat yang sama, dalam tahun ini hampir tiap bulan, kadang-kadang tiap minggu, kereta api kita (sisa warisan 350 tahun belanda) terguling, jatuh, saling tabrak, atau menabrak bus dan sarana transportasi lain. Bukankan ini adalah masalah perhubungan darat yang lebih penting untuk diurai dan diselesaikan?
Seharusnya kita tak perlu sedih dan kecewa sedih atau kecewa atas mega proyek yang kapitalistis ini. Ratusan Negara di dunia tidak ada high speed train yang melintasi kota-kotanya.
Termasuk Amerika Serikat (cuma ada sekitar 200 km dan itu pun hanya kereta lebih cepat sedikit dari konsep kereta cepat yang sebenarnya, yang jalan dengan kecepatan lebih dari 300 km per jam seperti kereta cepat jkt-bandung). Cina mempunyai 19,000 km rail kereta cepat, terpanjang dari seluruh dunia. Tapi apakah ini berarti Cina lebih maju dari Amerika? Tidak, orang Amerika tidak suka transportasi umum, mereka suka naik mobil, american culture is a car culture.
Bagaimana Indonesia? Kita ini bangsa “alon-alon asal klakon”, “biar lambat asal selamat, takkan lagi gunung dikejar” dan gunung yang dikejar itu di Bandung! Jadi secara konseptual, kultur, dan tehnis sekalipun, kereta cepat ke Bandung itu salah alamat (missed the point completely) atau tidak relevan dengan konsep bernegara kita secara integral, kekinian dan ke-Indonesiaan. Wajar jika kita tanya, Kok ke gunung? (bukan ke laut). Kok mendaki, bukan lurus merata? (sarat tehnis kereta cepat). Kok kesusu? sampai dalam 30 menit, tapi begitu sampai di bandung, tidak bisa bisa kemana-mana, karena bandung hampir sama macetnya dengan ibukota.
Jarak jkt-bandung cuma 142 km, kecepatan kereta cepat 350 km per jam, lalu ada 4 sstasiun pemberhentian. Jadi, kereta itu akan jalan 35km, stop, jalan lagi, 35km stop lagi, dengan jarak itu, kereta cepat itu sama dengan kereta lambat (dia tidak bisa mencapai kecepatan maximalnya dalam jarak 35km atau dalam 6 menit, sebab acceleration and deceleration to stop and start again requires longer than 6 minutes). Jadi buat apa kereta cepat? Dan apakah itu definisi kereta cepat?
Jangan sampai kita jadi menduga-duga bahwa high-speed train is “Jokowi’s new toy”. Ground breaking, biaya mahal (secara ekonomis dan sosial), merusak lahan dan bahaya tanah longsor, dan lain-lain seolah-olah tidak masalah, asal Jokwi sudah tertulis dalam lembaran sejarah sebagai presiden pertama yang meletakkan batu pertama high speed train dalam sejarah pembangunan bangsa. Apa itu yang kita mau lakukan?
Saya prihatin dengan semua ini dan saya menghimbau pemerintah mengkaji ulang kembali, sekaligus mengembalikan visi poros maritim pada tempat sejatinya dalam pemerintahan. Bangunlah infrastruktur untuk daerah-daerah yang belum memiliki jalan setapakpun, bangunlah jembatan-jembatan penyebrangan sungai-sungai supaya anak-anak kita jangan lagi naik perahu atau menggantung ditali jembatan hanya untuk pergi ke sekolah. Kalau mau membangun transportasi kereta api, fokuslah ke proyek kereta api di Kalimantan, Sulawesi, dan di Papua, ide pemerintah yang saya salut dan dukung 100%. Buatlah jalan tol di Lombok, supaya perjalanan rakyat dan gerak hasil bumi dari Sumbawa ke Lombok dan seterusnya bisa lancar dan memberikan kontribusi yang pesat terhadap ekonomi negara.
Demikianlah inti gagasan saya untuk sebagai tanggugjawab konstitusional dan kelembagaan dalam mengawasi jalanannya pemerintahan khususnya dan negara pada umumnya.
Sekian dan Terima kasih.
(Disampaikan ketika menjadi Keynote Speech pada Acara Diskusi Publik “Stop Rencana Pembangunan KA Cepat Jakarta Bandung” Operation Room, Gedung DPR RI, Selasa, 02 Februari 2016.)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com