Profil: Bujang Salim (1891-1959)

Bagikan artikel ini

Figur unik yang populer dengan nama Bujang Salim, adalah tokoh sejaman dengan Tan Malaka, yang lahir dari keluarga bangsawan di Nisam dengan ibukotanya Krueng Geukueh (bekas salah satu bandar laut Samudra Pasai) pada tahun 1891 [beda beberapa tahun dengan tokoh pahlawan nasional Tan Malaka (1897-1949)].

Karena berasal dari kalangan bangsawan, Bujang Salim bergelare Teuku, namun tidak senang memakai gelar, karena visinya yang beraliran “Islam Merah” (Islam Kiri), yang revolusioner, namun tidak memakai cara kekerasan buat perubahan dan mengandalkan senjata pena atau sistem pendidikan dan kebudayaan universal sebagai solusi menuju kemajuan peradaban.

Bujang Salim memperoleh pencerahan awal, ketika diizinkan sekolah di sistem pendidikan Belanda, karena status kebangsawanannya. Pertama diizinkan masuk sekolah HIS (Hollandsch Inlandsch School), sejenis Sekolah Dasar (7 tahun) era kolonial, lalu lanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP, 3 tahun, dan kemudian, sama seperti Tan Malaka, masuk ke kweekschool (Sekolah Tinggi Keguruan) di Bukit TInggi (Minangkabau). Setelah sekitar 10 tahun berada di Minangkabau, beliau kembali menemui keluarga orangtuanya (Teuku Rhi Mahmud) di Keude Amplah (Nisam). Pemerintah Belanda lalu mengangkatnya menjadi Zelfbestuurder (Bupati) Negeri Nisam yang beribukota Krueng Geukueh pada tahun 1912 s/d 1920 sambil membina keluarga barunya di sana bersama permaisurinya yang jelita Cut Bayu.

Akibat pencerahan selama sekolah di Minangkabau dalam lingkaran jaringan Tan Malaka di Minangkabau, beliau mulai kritis melihat perkembangan masa depan tanah airnya dan memilih jalan bertendisi kiri, namun tetap dalam bingkai keislaman sebagai kekuatan alternatif melawan sistem kolonial. Startegi awal dilakukan oleh Bujang Salim dengan membentuk organisasi politik visioner: PMB (Persatoean Moeslim Bersatoe) yang bersikap menolak kerjasama dengan sistem kolonial namun dalam cara tanpa kekerasan. Sikap non-kooperatif ini, membuat Bujang Salam dipecat sebagai Zelfbestuurder. Sikapnya yang tetap kritis dan revolusioner, membuat beliau dipenjara, pertama di Keudah (Kutaradja), lalu di Meulaboh. Sikap dan reaksinya yang mendapat support dari aneka kalangan kerakyatan di Aceh Sumatra, membuat akhirnya beliau diaasingkan ke Meurauke (Papua) pada tahun 1922.

Selama di pembuangan di papua, Bujang Salim berinteraksi dengan aneka aktivis, kebanyakan dari kalangan etnik Jawa, Minang, Bugis dan lainnya, yang mengangkat beliau sebagai pembina ideologis berbasis Islam Kiri yang non-kompromistis dengan sistem kolonial. Bahkan banyak cacatan dari kaum komunitas Muslim Merah dari Jawa Timur dan Tengah yang tertarik dengan visi beliau untuk pembebasan Nusantara Raya dari sistem kolonial yang tidak adil. Pentolan komunitas Jawa yang berafiliasi dengan barisan Tjokoraminoto atau barisan Musso di Uni Soviet, terliahat memiliki sinkronisasi ideologi. Selama di sini, beliau dikawinkan dengan anak Pak Karmin, keluarga aktivis pejuang radikal asal Banten bernama Djawijah binti Karmin. Aktivitas gerakan ideologis yang telah membaur dengan komunitas Sunda, Jawa dan lainnya yang makin menggema, membuat pihak Belanda mengucilkan beliau pada tahun 1935 ke wilayah paling terpencil di tengah belantara Papua di Boven Digul, dekat sungai terisolir, sungai Digul.

Sesuai referensi populer:
Ketika Perang Asia Timur Raya pimpinan Jepang tahun 1942, Pihak Belanda dan Sekutu mengungsikan semua tawanan kelas kakap di Papua ke Australia. Tahun 1943, Para tawanan Belanda ini di tempatkan di Mackay. Dalam masa Indonesia dalam jajahan Jepang, para tawanan politik ini berada di Australia sampai tahun 1945 saat Sukarno memprolakmirkan kemerdekaan Indonesia.

Dengan demikian para tawanan perang ini yang disebut orang buangan, dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada akhir 1945, lalu mereka diberangkatkan dari Australia menuju Jakarta pada awal 1946. Mereka dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia.

Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya. Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera.

Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Tgk Daud Beureueh, Teuku Bujang diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukueh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam.

Aceh sendiri pada saat itu tengah mengalami masa-masa sulit pasca bergabung dengan NKRI, dimana Daeah Istimewa Aceh digabungkan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan berbagia konflik pecah di Aceh ketika itu. Dan sekembalinya ke kampung halaman Teuku Bujang bergabung dengan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) sambil meletakkan pondasi pembagunan pusat pendidikan dan membangun Ibukota Kecamatan Nisam, yang bernama Krueng Geukueh ketika itu, dan beliau juga mengirim guru-guru di Krueng Geukueh untuk belajar ke Padang dan seterusnya mendidik anak-anak Krueng geukueh dan sekitarnnya disekolah MIN, MTsN dan PGA yang beliau bangun di tanah yang beliau hibahkan di dekat sebelah Utara Masjid Besar Bujang Salim. Pendidkan dan sistem Kebudayaan Universal adalah senjata menuju kebangkitan ala Bujang Salim. Beliau akhirnya meninggal pada Tanggal 14 Januari 1959 dan dimakamkan didekat Masjid Besar Bujang Salim yang dibangun atas prakarsanya.

Dirangkum oleh Al Maidar, dari berbagai sumber digital

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com