Rahasia Kebangkitan Vitalitas Peradaban Cina Melalui Kebijakan Empat Modernisasi Deng Xiaoping

Bagikan artikel ini

Rana Mittler dalam bukunya Modern China, bertanya apakah Masyarakat Cina lebih kaya dibandingkan di bawah Kekuasaan Mao Zhedong? Menjawab pertanyaan menggelitik tersebut cukup dengan data. Sejak 1990 hingga 2001, tutur Rana Mittler, 46,6 persen dari pendapatan Cina berada di tangan 20 persen mereka yang yang paling kaya dari seluruh total penduduk Cina. Dan hanya 4,7 persen berada di tangan warga yang paling miskin.

Banyak wilayah pinggiran menjadi lebih kaya sejak 1980an dan pertenngahan 2000-an. Selama kurun waktu itu pendapatan perkotaan meningkat 14,1 persen sementara pendapatan pedesaan naik menjadi 11 persen. Namun menurut pengamatan jeli Rana Mittler, kelompok dengan pertumbuhan tercepat dalam masyarakat adalah kelas menengah perkotaan. Pada 2007, Biro Statistik Nasional menyatakan sekitar 80 juta warga Cina (6,5 persen dari populasi) merupakan kelas menengah. Mereka ini tercatat memiliki pendapatan rumah tangga antara 60 ribu hingga 500 ribu yuan.

Pertanyaan pentingnya adalah apakah perkembangan ekonomi Cina yang menggembirakan tersebut sejatinya merupakan buah dari tumbuhnya hasrat kemajuan masyarakat Cina atau justru benih tumbuhnya hasrat kemajuan dan modernitas Cina? Menjawab ini, kita harus kilas balik saat Mao Zhedong meninggal pada 1976. Dan Deng Xiaoping menggantikan Mao pada 1978 dan meraih pengaruh dan menguasai pucuk pimpinan Partai Komunis Cina.

Berbeda dengan Mao, Deng menerapkan slogan “Mencari Kebenaran dari Fakta-Fakta. Meski secara tidak secara frontal menyatakan akan menganut garis politik dan kebijakan yang bertentangan dengan Mao, namun slogan tersebut mengisyaratkan bahwa di era Mao kebenaran tidak sesuai dengan fakta-fakta nyata di lapangan. Berarti secara tersirat Deng mengecam kebijakan Lompatan Jauh ke Depan Mao yang bersifat anti-intelektualisme dan anti yang serba asing secara membabi-buta pada gilirannya telah menghancurkan perekonomian Cina. Bahkan juga telah menyumbat potensi-potensi budaya Cina untuk tumbuh-berkembang.

 

Workers make Chinese flags at a factory ahead of the 70th founding anniversary of People's Republic of China, in Jiaxing, Zhejiang province, China September 25, 2019. REUTERS/Stringer ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY. CHINA OUT.

 

Setelah mencanangkan visi Memodernisasikan Masyarakat Sosialis Berwatak Cina, maka Deng menerapkan kebijakan yang disebut Empat Modernisasi: Pertanian, Industri, Sains dan teknologi, serta Pertahanan Nasional.

Menariknya tak ada frase kata ekonomi dalam Kebijakan Empat Modernisasi Deng tersebut. Bisa disimpulkan bahwa kebijakn empat modernisasi yang mengintegrasikan pertanian, industri, sains-teknologi dan pertahanan nasional, sejatinya merupakan landasan untuk menyusun Strategi Kebudayaan men-cinakan kembali komunis.

Dalam skema empat modernisasi tersebut, ditegaskan bahwa para petani dibolehkan menjual proporsi yang lebih besar dari hasil pertaniannya di pasar bebas,dan secara tegas juga dinyatakan bahwa kegiatan bercocok-tanam untuk dijual secara komersial dan skema tanah swasta kecil merupakan bagian penting dari perekonomian nasional, sehingga campur-tangan negara sama sekali tidak diperlukan sama-sekali.

Menariknya lagi, di wilayah-wilayah Cina baik di perkotaan maupun pedesaan didorong untuk mendirikan perusahaan-perusahaan berskala lokal kecil atau industri skala rumah tangga, sehingga pada 1985 tercatat ada 12 juta wirausahadi Cina.

Fakta-fakta tersebut gagal dibaca secara cermat oleh para pakar ekonomi Barat sebagai benih-benih kebangkitan Cina sebagai negara modern namun tetap khas Cina. Bahwa fenomena yang tergambar di sektor pertanian tersebut, sejatinya bukan karena adanya pergeseran dari sosialisme dan sentralisasi negara menuju negara semi kapitalis, melainkan isyarat bahwa Cina sejak era Deng lewat Kebijakan Empat Modernisasi, mendoron sumberdaya manusia Cina di perkotaan maupun pedesaan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi sebagai bahan bakar memajukan perekonomian Cina. Sehingga kebangkitan Cina saat ini sebagai negara adikuasa di bidang ekonomi, sejatinya merupakan buah kreativitas dan inovasi. Maraknya wirausaha yang hampir 12 juta pada 1985, sejatinya mengindikasikan tumbuhnya “hasrat kemajuan” masyarakat Cina di sektor pertanian, industri, sains-teknologi, dan pertahanan nasional. Ya, hasrat kemajuan ala Cina itu disulut oleh tumbuhnya kreativitas dan inovasi. Dan wirausaha atau entrepreneurship tersebut merupakan sarana tumbuhnya kreativitas dan inovasi.

 

Pelabuhan peti kemas di provinsi Shandong

 

Dan Deng Xiaoping sejak awal mendorong hasrat kewirausahaan dengan mencanangkan empat wilayah di daerah pesirir Cina sebagai Zona Ekonomi Khusus. Bukan saja untuk menarik investor asing, namun Deng menyadari bahwa di balik gagasan mengenai investasi adalah ide membuka lahan-lahan bisnis baru maupun sektor-sektor bisnis baru yang selama ini belum terpikirkan oleh para pelaku ekonomi konvensional yang umumnya fokus pada perdagangan. Inilah yang dimaksud Deng Xiaoping sebagai Gaige Kaifang: Reformasi dan Keterbukaan. Mendorong percepatan ekonomi secara maksimum disertai adanya proses keterbukaan di Cina secara bertahap.

Maka tak heran jika pada 1985an mulai muncul perdebatan-perdebatan mengenai berbagai wacana lewat jurnal-jurnal ilmiah maupun beberapa lembaga pemikir (think-thank). Bukan saja di internal Partai Komunis Cina, bahkan juga di perguruan tinggi dan berbagai lembaga kemasyarakatan.

Namun tidak semua kalangan intelektual Cina memahami spirit dan visi Deng yang jauh ke depan namun bertahap. Sehingga banyak kalangan intelektual seperti Chen Yun mengkuatirkan merebaknya materialisme dan kekosongan ideologi yang ia persepsikan telah terjadi di era reformasi Cina. Padahal Deng Xiaoping sendiri tidak sepesimistis itu. Deng berkata: “Jika anda membuka jendela, sebagian lalat akan ikut masuk.” Artinya secara tersirat Deng memandang kekuatiran seperti disuarakan Chen Yun hanya ekses belaka.

Boleh jadi yang dimaksud lalat-lalat masuk itu adalah pengaruh tradisi intelektual Barat yang memanfaatkan Reformasi dan Keterbukaan di era Deng untuk tujuan-tujuan dan agenda-agenda politik negara-negara Barat itu sendiri seperti demokrasi dan sistem politik perwakilan. Yang kemudian berujung pada tragedi di Lapangan Tian’anmen pada 1989.

Bermula saat April 1989 Hu Yaobang meninggal dunia. Hu merupakan salah satu tokoh sentral Partai Komunis Cina yang dipandang berhaluan liberal. Kematian Hu digunakan sebagai momentum para mahasiswa dan beberapa intelektual untuk melancarkan aksi unjuk rasa dengan tema: Menentang berlanjutnya peran Partai Komunis Cina dalam kehidupan politik. Dengan menegaskan pentingnya keselarasan antara Demokrasi dan Sains. Terkesan sangat beraroma Barat sekali slogan tersebut. Bagi Deng dan para penganut garis kebijakan Reformasi dan Keterbukaan, aksi para mahasiswa tersebut sudah kebablasan. Maka pada Juni 1989, Partai Komunis Cina bertindak tegas, mengirimkan tank-tank dan kendaraan lapis baja pengangkut personel membabat habis aksi demonstrasi mahasiswa tersebut.

 

Unjuk rasa Tiananmen 1989 atau Demonstrasi Tiananmen yang meletus di China pada 15 April 1989.

 

Sejarah membuktikan bahwa prediksi Deng tepat. Bahwa aksi unjuk rasa Mei 1989 di lapangan Tian’ anmen hanyalah upaya untuk “menginterupsi” proses reformasi dan keterbukaan menurut skema Kebijakan Empat Modernisasi. Buktinya, setelah pasca tragedi Tian’anmen berlalu, apa yang dikuatirkan kalangan intelektual pro Barat baik di luar negeri maupun di dalam negeri Cina tidak terjadi. Tidak terjerumus dalam Perang Saudara, Reformasi Ekonomi tidak mengalami setback atau kemuduran, dan Cina tetap membuka diri terhadap dunia luar.

Bahkan ekses dari masuknya lalat seperti yang dinyatakan Deng yaitu masuknya pengaruh liberalisme dan individualisme yang menjadi landasan intelektual meletusnya aksi demonstrasi pada Mei 1989, maka tren ke arah liberalisme kemudian dianggap sebagai “angin setan dan liberalisme borjuis.”

Nampaknya Reformasi dan Keterbukaan Cina pasca 1989 tetap dijalankan secara konsisten oleh para penerus kepemimpinan Deng. Pada masa kepemimpinan Jiang Zemin sejak 1989, 1992 dan 1997, ditandai oleh meningkatnya antusiasme yang begitu kuat untuk menyelaraskan antara percepatan pertumbuhan ekonomi agar sejalan dengan reformasi politik yang hati hati. Misalnya di era Jiang, mulai dibolehkan adanya pertumbuhan pemilikan lokal di tingkat desa, meskipun sama sekali tidak diterapkan pada tingkat nasional.

Pada kepemimpinan Hu Jintao sejak 2002, bukan saja mengupayakan mengatasi kesenjangan sosial dan kemiskinan di kawasan pinggiran, di internal Partai Komunis Cina itu sendiri mendorong tersedianya lebih banyak mekanisme bagi diskusi-diskusi yang jujur dalam tubuh partai. Dan menerapkan kebijakan penunjukan sebagian besar tokoh di luar partai untuk menempati pos menteri jabatan-jabatan strategis lainnya. Dengan begitu, sistem kaderisasi dan pola rekrutmen kader-kader Partai Komunis Cina mulai menerapkan Sistem Meritokrasi yang tidak bersifat nepotisme berdasarkan keluarga atau perkawanan.

Lepas dari pergeseran mindset atau pola pikir di kalangan elit politik PKC tersebut, ada baiknya saya kutip analisis Kishore Mahbubani dalam bukunya yang bertajuk The New Asian Hemisphere, The Irresistable Shift of Global Power To The East. Di buku itu Kishore Mahbubani menulis:

 

“Mereka tidak melihat bahwa demokratisasi jiwa manusia yang masif sedang menggelegak di Cina. Ratusan orang Cina yang berpikir bahwa mereka ditakdirkan untuk selamanya miskin, sekarang menjadi yakin bahwa mereka dapat mengubah hidup dengan usaha sendiri.”

Bagi Mahbubani, yang sayangnya saya kurang sepaham ketika ia menilai pergeseran mindset bangsa Cina itu merupakan konsekuensi logis dari penerapan prinsip-prinsip ekonomi pasar, namun saya sepakat pada pengamatan jelinya bahwa nilai nyata ekonomi pasar bebas tidak hanya terjadi di dalam naiknya produktivitas ekonomi, tapi juga telah mengangkat jiwa manusia dan membebaskan pikiran ratusan orang yang sekarang bahwa mereka akhirnya dapat melawan takdir mereka. Inilah mengapa Asia, yang tentunya yang ia maksud Cina dan India, saat ini sedang berderap maju.

Jangan-jangan justru inilah yang jadi tujuan strategis Kebijakan Empat Modernisasi yang diluncurkan Deng pada akhir 1970an, menciptakan prakondisi kebangkitan budaya Cina melampui sekadar pencapaian ekonomi. Harap ingat, tak ada satu kosa kata pun menyinggung ekonomi dalam Kebijakan Empat Modernisasi. Mengintegrasikan pertanian, industri, sains-teknologi dan pertahanan nasional dalam satu tarikan nafas, sejatinya merupakan Strategi Kebudayaan. Yang mana prestasi dan capaian ekonomi merupakan buah dari kreativitas dan inovasi yang notabene bersifat budaya sekaligus mencirikan peradaban bangsa yang sehat dan penuh vitalitas.

Ya benar, vitalitas peradaban Cina itulah kata kunci yang paling tepat. Maka itu penting di sini mengutip pandangan Wu Zengding sebagaimana dirujuk oleh Kishore Mahbubani untuk sebagai penutup paparan singkat saya ihwal kebangkitan kembali peradaban Cina. Wu Zengding menulis:

 

“Konstruksi Cina yang baru, prestasi-prestasi terbesar dalam reformasi dan tindakan membuka diri selama lebih dari 20 tahun terakhir adalah suatu perwujudan lebih lanjut vitalitas peradaban Cina. Inilah sukses setelah 20 tahun reformasi dan keterbukaan, pertama-tama mengonfirmasi sebuah revolusi besar dan konstruksi Cina. Tetapi yang paling penting dari semua itu mengafirmasi otentisitas peradaban dan tradisi rakyat Cina. Kekuatan ini, yang bukan sekadar lagu dan tarian dalam menyambut globalisasi dan praktik-praktik internasional yang telah membawa Cina memasukinya. Ini bukan bentuk Xenophobia sempit(anti asing yang berlebihan), tetapi inilah kepercayaan dan harapan besa yang diletakkan pada peradaban Cina kuno.”

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com