Realisasi Pembelian Sukhoi Su-35, Kerjasama Strategis RI-Rusia Semakin Solid

Bagikan artikel ini

Akhir Juni lalu Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto untuk kali kedua berkunjung ke Moskow, Rusia, untuk menghadiri perayaan kemenangan Rusia dalam Perang Dunia II dalam membebaskan diri dari serangan militer Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.

Barang tentu hal ini menandai semakin eratnya kerjasama strategis bidang pertahanan antara RI-Rusia, meskipun belum ada tanda-tanda ke arah kemajuan terkait realisasi pembelian 11 pesawat tempur jet Sukhoi Su-35  yang telah ditandatangani pada 2018 lalu.

Baca: As Prabowo visits Russia again, little headway on Sukhoi

Seperti dilansir oleh situs berita harian the Jakarta Post, ada dua faktor penghambat realisasi pembelian 11 pesawat tempur jet Sukhoi Su=35. Pertama, karena pemerintah Indonesia masih fokus pada penanganan dan penanggulangan wabah Covid-19.

Kedua, terkait adanya tekanan politik dari pemerintah Amerika Serikat dengan dirilisnya sebuah Undang-Undang bernama The Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA),yang ditujukan untuk  mengenakan sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang membeli peralatan militer dari negara-negara yang dipandang musuh oleh AS. Dalam konteks ini, termasuk Rusia yang dipandang Washington sebagai negara musuh nomor wahid. AS melalui CAATSA secara terang-benderang akan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada negara-negara yang menjalin kerjasama bisnis dengan Rusia.

Buat Indonesia, khususnya kementerian pertahananan di bawah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, hendakya menyadari bahwa Ketika pemerintah Indonesia, dihadapkan pada kenyataan adanya UU CAATSA sebagai intrumen sekaligus sanksi ekonomi dari AS untuk menekan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka pemerintah Indonesia, dan Kementerian Pertahanan Indonesia pada khususnya, harus menyikapi tekanan Washington tersebut dengan berpedoman mana yang paling kecil resikonya.

Baca: Pembelian Maupun Pengadaan Alutsista Harus Dalam Tuntunan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif

Jika Indonesia bersikeras bertahan dengan kesepakatan kontrak kerjasama dengan Rusia terkait pembelian 11 unit pesawat Sukhoi, memang bisa dipastikan kita akan dikenakan sanksi. Namun jika kita mematuhi tekanan dan ancaman AS agar membatalkan perjanjian kerjsama pembelian Sukhoi, maka harkat-martabat dan kredibilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan jatuh, bukan saja di luar negeri, melainkan juga di dalam negeri.

Senada dengan pandangan tersebut di atas, menarik menyimak pendapat Doktor Dewi Fortuna dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bahwa kunjungan Menhan Prabowo ke Moskow mengisyaratkan niat Indonesia agar tidak tergantung pada salah satu negara besar terkait pengadaan dan pembelian peralatan militernya. Mengingat pengalaman pahit pada 1999 lalu ketika pemerintah AS mengenakan embargo penjualan senjata kepada Indonesia.

Pendapat Doktor Dewi Fortuna Anwwar sangat tepat dan logis. Pengalaman pahit Indonesia saat terkena embargo senjata dari Amerika Serikat dan sekutunya pada 1999-2005 kiranya harus menjadi pelajaran penting.

Yaitu betapa berbahaya posisi Indonesia akibat embargo AS, mengingat kenyataan besarnya ketergantungan pemerintah Indonesia pada AS maupun negara-negara Blok Barat lainnya. Sehingga daya tahan Indonesia menurun drastis, oleh sebab tidak boleh membeli Alutsista(Alat Utama Sistem Persenjataan) maupun suku cadangnya dari AS maupun sekutunya.

Bahkan lebih celakanya lagi, berbagai Alutsista milik Indonesia yang sudah dibeli, juga tidak boleh digunakan. Satu lagi catatan, AS maupun Inggris, tidak menyediakan suku cadang untuk berbagai Alutsista milik Indonesia. Sehingga saat itu Indonesia praktis tidak memiliki kemandirian dalam hal membeli, menggunakan dan merawat produk-produk pertahanan buat AS.

Dalam konteks inilah, realisasi pembelian 11 unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 harus segera dilaksanakan, karena bisa menjadi simbol kemandirian pertahanan RI dari ketergantungan pada sebuah negara adikuasa.

Selain daripada itu, kerjasama pertahanan antara Indonesia-Rusia yang didasarkan atas dasar prakarsa bersama kedua negara atas dasar saling menguntungkan dan kesetaraan, dan tanpa paksaan dari pihak manapun juga, rasanya jauh lebih masuk akal untuk kita pertahankan kelangsungan dan kelanjutannya semaksimal mungkin. Yang mana senafas dengan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif. Inilah hakekat kepentingan nasional yang sesungguhnya.

Bahkan sosok Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto itu sendiri, yang sempat masuk dalam blacklist AS dan beberapa negara NATO menyusul lengsernya Presiden Suharto, kiranya merupakan icon dan sumber inspirasi yang luar biasa bagi kemandirian dan kebangkitan kembali Pertahanan Nasional kita dari keterpurukannya sejak 1999.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com