Rencana AS Tempatkan Pasukan Arab Saudi di Suriah Gagal Total

Bagikan artikel ini

Diolah oleh tim redaksi the Global Review melalui sebuah artikel  bertajuk

The idea of replacing the US contingent in Syria with Saudi troops is doomed to failure

Rupanya sebelum serangan rudal angkatan udara AS ke Suriah belum lama ini, pemerintahan Presiden Donald J Trump punya gagasan untuk menarik mundur pasukannya dari Suriah. Dan pada saat yang sama tentara Arab Saudi didorong untuk menggantikan tentara AS menempati pangkalan-pangkalan militernya di Suriah. Rencana tersebut nampaknya berjalan lancar seturut kunjungan Menteri Pertahanan Arab Saudi Mohammed bin Salman ke Amerika.

Rencana Washington untuk menempatkan tentara Arab Saudi di Suriah diumumkan oleh menteri luar negeri Saudi, Adel al-Jubeir, pada 17 April lalu, dalam jumpa pers bersama Sekretaris Jenderal Perserikan Bangsa-Bangsa António Guterres.

Bahkan sesaat setelah serangan rudal AS ke Suriah, sekretaris pers Gedung Putih Sarah Senders menegaskan sekali lagi bahwa Presiden Trump berkeinginan segera menarik mundur pasukannya dari Suriah. Maka rencana menempatkan tentara Arab Saudi menggantikan AS, mencerminkan kepentingan Washington. Bukan itu saja. Bahkan pemerintah AS rencananya juga akan meminta Qatar dan Uni Emirat Arab bersama-sama Arab Saudi menempati pangkalan militer di Suriah menggantikan tentara AS. Tentu dalam skema ini, juga akan disediakan bantuan dana untuk membangun kembali Suriah bagian utara yang hancur lebur. Agaknya, selain mengandalkan kekuatan militer, AS bersama Arab Saudi bermaksud membujuk dengan pemberian uang kepada elemen-elemen masyarakat lokal setempat di Suriah agar mendukung kelompok-kelompok anti Bashar al Assad.

Terkait rencana menempatkan tentara Saudi di Suriah, apakah pihak AS sudah meminta persetujuan pemerintah Suriah maupun sekutu-sekutunya seperti Iran, Rusia maupun Turki? Bisa dipastikan tidak. Sebab pemerintah Suriah pasti akan menolak dengan keras karena bisa dipandang sebagai aksi pendudukan wilayah-wilayah kedaulatan Suriah. Sehingga justu akan semakin meningkatkan perlawanan bersenjata tidak saja dari tentara Suriah yang pro Assad, bahkan bakal semakin mempertajam ketegangan  militer di Timur Tengah.

Selain itu, meskipun tentara Saudi dilengkapi persenjataan militer yang canggih seperti halnya tentara Amerika, namun tentara Saudi sepertinya tidak bakal mampu mengungguli tentara Suriah maupun Iran. Pengalaman di Yaman beberapa waktu sebelumnya, membuktikan bahwa kemampuan tentara Saudi tidak bisa diandalkan. Selain itu, nampaknya tak ada negara-negara tetangga Suriah, kecuali Israel, yang mendukung kehadiran tentara Saudi menggantikan tentara AS di Suriah.

Irak, yang dari awal menghindari terjadinya benturan Sunni-Syiah di daerah perbatasan, juga menentang rencana menghadirkan tentara Saudi di Suriah. Bahkan Turki, juga menolak dengan pertimbangan bahwa Turki bisa kehilangan pengaruhnya di wilayah utara Suriah yang saat ini berada dalam kendali pemerintahan di Ankara. Libya, yang setelah tumbangnya Moammar Khadafy, pemerintahannya cenderung pro blok AS dan Barat, juga menentang kehadiran tentara Saudi di Suriah. Juga atas dasar pertimbangan untuk mencegah meletusnya benturan Sunni versus Syiah di wilayah perbatasan.

Begitupula Yordania yang notabene pro AS, juga menentang prakarsa Washington menempatkan tentara Saudi menggantikan kehadiran tentara AS. Masalahnya bukan apa-apa. Raja Abdullah yang sejatinya orang yang pragmatis, barang tentu sangat khawatir dengan kemungkinan dampak buruk yang bakal terjadi jika tentara Saudi tersebut bercokol di Suriah.

Menariknya lagi, Mesir juga menentang gagasan Washington tersebut. Bahkan atas dasar yang lebih prinsipil. Seperti yang dinyatakan oleh Mohammad Rashad, pejabat senior dari Badan Intelijen Mesir, tentara Mesir bukan tentara bayaran yang bersedia diperintah atau didikte oleh pihak asing. Ini merupakan respon tidak langsung dari Rashad terhadap pernyataan Ketua Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton kepada Kepala Badan Intelijen Nasional Mesir Abbas Mustafa Kamil, ketika  Bolton mencoba mengajak Mesir terlibat dalam rencana Washington tersebut.

Bagi Washington, segala cara yang ditempuh untuk melakukan proses Arabisasi dalam rangka reorganisasi global, nampaknya akan gagal total dan bisa-bisa sama-sama tragisnya dengan kebijakan AS di Vietnam pada dekade 1970-an. Satu-satunya yang bisa diupayakan AS adalah mengajak semua pihak yang berkepentingan di Suriah, termasuk pemerintahan Assad di Damaskus, mencari solusi penyelesaian damai yang berlarut-larut sejak 2011 hingga sekarang.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com