Apabila kita sepakat bahwa hukum tertinggi di suatu negara adalah keselamatan negara dan bangsa; kalau percaya bahwa geopolitik merupakan ilmu negara (science of the state), maka asumsinya: “Jika ingin negara dan bangsa ini selamat (dari jeratan modus-modus baru kolonialisme), maka cermati kemana tren geopolitik global melangkah dan bermuara. Selanjutnya, rumuskan ancaman riil yang membahayakan bagi keselamatan negara, bukan cuma ancaman-ancaman imajiner. Tetapkan musuh bersama (common enemy). Lakukan antisipasi dan/atau kontra skema baik yang sifatnya strategis maupun taktis dan teknis atas kecenderungan dimaksud apabila modus dan metode kolonialisme telah pada kadar membahayakan keselamatan negara”. Inilah premis kontemplasi ini.
Tak boleh dipungkiri, memasuki abad ke 21 —ibarat gelombang— telah terjadi pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik. Tulisan ini tak membahas detail penyebab pergeseran geopolitik, entah akibat pertumbuhan ekonomi, atau tingkat konsumsi, pasar serta daya beli yang tinggi dan lain-lain. Bahwa arus inti pada gelombang pergeseran dimaksud bukan lagi menggunakan power militer sebagaimana era sebelumnya, namun justru nirmiliter dalam hal ini adalah power ekonomi dan politik. Inilah tren geopolitik terkini.
Memang, perkembangan power concept dalam geopolitik yang unsurnya meliputi power politik, militer, dan ekonomi — tampaknya power yang lebih ditonjolkan oleh para adidaya dalam kancah global sekarang cenderung mengkedepankan power ekonomi. Lagi-lagi, itulah tren spesifik dunia geopolitik dan dianggap sebagai arus inti dalam geopolitical shift. Akan tetapi, bukan berarti peran militer dan/atau aspek politik dipinggirkan pada power concept ini, terlihat beberapa negara masih menampilkan wajah militernya secara vulgar seperti Korea Utara contohnya, atau Cina yang terus membangun postur militernya, Jepang pun tak ketinggalan, dan seterusnya hal tersebut bukan cuma show of force dan/atau istilahnya shock and awe (geliat menakut-nakuti) belaka, sering kali power concept bergerak simultan.
Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak sebuah bangsa. Pertama dengan pedang (militer), kedua melalui utang (John Adams, 1735 – 1825). Agaknya, tesis Presiden Amerika ke 2 dua abad lalu, kini menuai kenyataan dan terjadi. Untuk menancapkan kuku kolonialisme, negara (target) koloni tak perlu lagi diserbu secara militer, namun cukup digelontori utang dalam jumlah banyak dengan berbagai skema investasi sehingga si rezim penguasa tidak mampu membayar. Gagal bayar, ujungnya take over aset-aset menjadi keniscayaan. Inilah peperangan nirmiliter, tanpa letusan peluru, negara koloni sudah takluk lalu diperbudak, didekte oleh pemberi utang. Itulah skema penjajahan gaya baru.
Pertanyaan kini, “Apakah penguasaan aset-aset negara oleh asing itu menguntungkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan atau justru membahayakan keselamatan negara?”
Sesuai prolog renungan ini, silahkan saudara-saudara merenunginya!