Save Kendeng, Bank, dan Kejahatan Pendanaan

Bagikan artikel ini
Andre Barahamin
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, tentang Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah terkait izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) yang kini berganti nama menjadi PT Semen Indonesia. Izin lingkungan bernomor 668/1/17 tahun 2012 itu ditandatangani Gubernur Bibit Waluyo 7 Juni 2012.
Dalam website resminya, perkara tersebut diregistrasi MA dengan Nomor 99 PK/TUN 2016, yang mencantumkan nama Joko Prianto dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai penggugat. Poin putusan tertulisnya menerangkan bahwa MA kemudian mengabulkan PK, memutuskan putusan judex facti, dan membatalkan obyek sengketa (izin lingkungan dan pertambangan PT Semen Indonesia) yang berlokasi di Rembang.
Keputusan tersebut berarti ikut menyasar pembangunan pabrik semen di lokasi sengketa.
Kini, pembangunan pabrik ini sudah lebih dari 90 persen. Artinya, pabrik ini dalam waktu dekat sudah bisa beroperasi. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto kepada media mengatakan, hingg saat ini hampir semua perizinan telah terpenuhi. Pabrik PT Semen Indonesia kini tinggal menunggu izin lingkungan yang bermasalah. Izin inilah yang kemudian diputuskan oleh masyarakat Rembang dalam gugatannya kepada Mahkamah Agung (MA).
Namun, pemerintah pusat berkeras untuk tetap melanjutkan proyek pembangunan ini. Gagalnya pembangunan pabrik semen dikhawatirkan akan membawa dampak bahaya jangka panjang. Khususnya bagi investor asing yang berniat menginvestasikan dananya di Indonesia.
Pemerintah berkelit bahwa kegagalan pembangunan pabrik di Rembang akan membuat investor enggan berinvestasi setelah melihat bagaimana kelindan persoalan pembangunan pabrik tersebut. Artinya, pemerintah secara tersirat menegaskan bahwa kemenangan gugatan warga di Rembang bertendensi buruk terhadap masa depan investasi.
Tulisan ini tidak akan menyoal mengapa pemerintah berkeras untuk melawan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Yang menarik bagi saya justru adalah melihat bagaimana institusi perbankan di Indonesia terlibat dalam aksi pengrusakan lingkungan dalam bentuk dukungan pembiayaan.
Apakah Anda masih ingat Bank Mandiri yang mengucurkan dana Rp 3,96 triliun kepada PT Semen Indonesia? Sebagian besar dari total kredit tersebut (Rp 3,46 triliun) direncanakan untuk memfasilitasi rencana pembangunan pabrik semen di Rembang. Pabrik ini ditargetkan mampu memproduksi semen hingga 3 juta ton per tahun. Direktur Utama PT Semen Indonesia Sunardi Prionimurti mengatakan pabrik tersebut ditargetkan selesai dibangun akhir tahun ini.
Dan, memang, ketika gugatan warga tengah berlangsung, pembangunan pabrik juga tetap berlangsung tanpa menunggu keputusan hukum.
Tindakan PT Semen Indonesia memang bukan hal baru. Penelitian dari TuK Indonesia yang kemudian tayang dalam bentuk data digital di Forests Finance, kita bisa tahu bahwa perusahaan-perusahaan perusak alam di Indonesia ternyata diongkosi dari tabungan Anda dan saya.
Meningkatnya angka kekerasan dan perampasan lahan terhadap komunitas-komunitas Orang Asli didanai oleh uang yang kita titipkan di bank-bank ini. Rusak dan menurunnya daya dukung lingkungan hingga menyebabkan punahnya hewan-hewan, banjir, kemarau berkepanjangan, menyusutnya cadangan air tanah, meluapnya air laut karena es yang mencair dan reklamasi, gagal panen dan bencana kelaparan, adalah akibat dari kejahatan pendanaan.
Pelakunya adalah institusi perbankan.
Hal seperti ini sering terjadi karena harus jujur diakui, konsumen dunia perbankan di Indonesia tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Sebagai pengguna jasa perbankan, ia bahkan tidak masuk hitungan yang dapat dianggap serius sehingga dapat mempengaruhi kebijakan sebuah perusahaan perbankan.
Sebabnya mudah ditelusuri. Selain tidak terdidik akan hak-hak yang melekat pada diri seseorang ketika menjadi nasabah, pengguna jasa perbankan di Indonesia umumnya bersikap apatis dan naif. Hal ini membuat perlindungan konsumen dan kewajiban perusahaan jasa perbankan di Indonesia tidak mendapat porsi serius dalam struktur hukum. Ketika terjadi pailit Bank Century, misalnya, kita dapat melihat betapa nasabah kecil merupakan kelompok paling rentan.
Selain itu, pengguna jasa perbankan di Indonesia memang enggan mengedukasi diri. Soal bagaimana bank beroperasi dan menggunakan mandat finansial dari nasabah sama sekali tidak berada di dalam daftar prioritas. Hal ini tidak lepas dari keyakinan terhadap “pendivisian pengetahuan” yang memandang bahwa para teknokrat, para ahli atau para pakar keuangan adalah lapisan paling layak mengakses hal-hal tersebut.
Yang harus dilakukan sebagai konsumen adalah mempercayakan segala sesuatu kepada orang lain yang dianggap lebih memiliki kuasa pengetahuan. Berkuasanya budaya representatif macam ini membuat partisipasi seseorang menjadi semakin minim.
Kita dapat dengan mudah menemukan fakta bagaimana banyak orang tertipu dan kehilangan uang yang mereka percayakan kepada konsultan-konsultan keuangan atau pialang saham.
Banyak nasabah bank di Indonesia termasuk tipikal “mau untung sendiri”. Mereka tidak akan rewel sepanjang jumlah tabungan mereka tidak berkurang sepeser pun tanpa sepengetahuan mereka. Dengan naif dan sombong, tipe pengguna jasa perbankan macam ini dengan mudah percaya kepada “ketulusan bank” dan “campur tangan negara”.
Orang-orang yang merasa bahwa uang yang ia simpan di bank adalah urusan pribadinya dan sama sekali bebas dari kelindan gurita ekonomi yang hirarkis, eksploitatif, dan destruktif yang pada akhirnya akan membawa dampak buruk terhadap dirinya di kemudian hari. Protes hanya akan dilayangkan sejauh bila bank di mana mereka menyimpan uang melakukan pemotongan yang berakibat pada berkurangnya nominal yang ditabung.
Perilaku-perilaku di atas menurut pandangan saya adalah salah satu sebab mengapa ide mengenai Credit Union atau koperasi sulit berkembang di Indonesia.
Masalah-masalah tersebut belum seberapa. Kita belum menyoal mengenai asal muasal uang, sejarah bank dan sifat sejati institusi-institusi keuangan yang sejak awal diabdikan pada tujuan akumulatif, elitis, dan tentu saja anti-demokrasi. Belum membicarakan soal bagaimana makna dan praktik koperasi dimutilasi dan didegradasi hingga ke level paling nista: sekadar yayasan simpan pinjam. Juga belum menyentuh soal bagaimana praktek Credit Union tidak dilihat sebagai praktek “ekonomi alternatif” yang memungkinkan untuk dipraktikkan dan menjamin partisipasi yang luas.
Perbincangan soal ini bisa diteruskan lain waktu. Ketika Anda dan saya mulai bertanya, mengapa Bank Mandiri mau membiayai perusahaan pelanggar hukum dan perusak lingkungan? Dan apa yang bisa kita lakukan sebagai nasabah. Sebagai pemberi mandat kepada bank, apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan lingkungan dan ruang tinggal kita yang semakin kritis.
Setelah diskusi soal ini terjawab, kita mungkin bisa berembuk soal strategi selanjutnya.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com