Ketika krisis Ukraina-Rusia jadi sorotan ragam media dunia internasional, geopolitik Euro-Asia yang kini jadi obyek ulasan dan kajian politik dan militer dalam konflik Nord Stream 2 antara Amerika, Rusia, dan Jerman atas kedaulatan dan lokasi geografis Ukraina sebagai daerah penyangga antara Rusia dan Eropa Barat. Namun seturut dengan itu ketika Rusia mencoba menjinakkan Ukraina sebagai negara proksi AS, muncul efek domino yang tak terduga yaitu terciptanya krisis ekonomi menyusul diberlakukannya embargo perdagangan dan sanski ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin pun kemudian menjadi musuh bersama Eropa Barat dan AS, yang mana kemudian disebarluaskan sebagai propaganda anti-Rusia oleh berbagai media massa arus utama di seluruh dunia. Baik dari Eropa Barat seperti BBC London maupun media arus utama AS seperti CNN, Washington Post dan The New York Times.
Namun ada tren regional di kawasan Asia yang sepertinya luput jadi sorotan, yaitu potensi meletusnya krisis baru di Selat Taiwan. Mengapa Selat Taiwan? Kerjasama Strategis Cina-Rusia melalui payung Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001, ternyata bukan saja semakin solid, bahkan berpotensi semakin merekatkan negara-negara di Eropa maupun Asia.
Upaya integrasi EURO-ASIA antara Cina dan Rusia utamanya di bidang kerjasama ekonomi dan perdagangan, merupakan respons cerdas terhadap hegemoni AS dan Uni Eropa yang bertumpu pada kerjasama berbasis Unipolar atau Pengkutuban Tunggal.
Alhasil, kebangkitan kerjasama multilateral antara Eropa dan Asia yang dimotori Cina dan Rusia, semakin mengkhawatirkkan AS dan blok Barat. Maka pertanyaan menariknya di sinilah adalah bagaimana posisi Ukraina kini dan kelak mengingat fakta bahwa saat ini Ukraina merupakan daerah penyangga atau buffer zone antara Eropa dan Asia?
Kedua, setelah krisis Ukraina usai, kemana pergeseran sentra konflik geopolitik berlabuh?
Dilihat dari roadmap Silk Road. mungkin yang paling rawan dan berbahaya ke depan pasca krisis Ukraina terletak di Selat Taiwan. Lantaran lokasi geografisnya yang diapit oleh beberapa kawasan startegis seperti Selat Malaka, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan juga Filiphina.
Jika Jalur rute ekspor melalui Taiwan berpotensi menjadi sumbu ledak meletusnya konflik politik dan militer, lantaran senafas antara manuver Putin ke Ukraina dengan sikap Beijing yang memandang Taiwan bagian integral dari wilayah kedaulatannya, sehingga memicu sengketa wilayah atau border dispute sejak lama.
Selain itu di kawasan Eropa, Uni Eropa yang dimotori Jerman dan Prancis mulai rapuh kerjasamanya dengtan poros Inggris-AS. Apalagi sistem keuangan Eropa yang di bawah kendali Wall Street dan Bang Dunia, kini harus menerima mimpi buruk lewat penetrasi matauang euro yang kolabolarif dengan yuan Cina.
Belum lagi dengan adanya pembatasan kereta api lintas Euro-Asia dan Sistem Mata Uang ekspor dan impor, sementara Jalur ekspor Asia lewat Selat Taiwan menyebabkan Taiwan jadi daerah terbuka yang mana melalui selat-nya, memyebabkan posisi strategisnya menjadi pintu masuk jalur sutra Cina menuju Rusia. Sehingga situasi tersebut akan memperkuat geopolitik global semakin bersifat multipolar.
Sementara kedekatan geografis Cina dengan Taiwan yang cukup berdekatan, berbeda seperti antara Rusia dan Ukraina, Presiden Xi Jinping justru akan lebih peka terhadap diplomasi perdagangan. Namun muncul kekhawatiranb bahwa Beijing yang didorong oleh AS sebagai pemain garis depan untuk menciptakan aksi destabilisasi di kawasan Asia melaui Taiwan.
Krisis yang tak terduga di Eropa dan AS sepertinya akan menyeret Taiwan masuk kancah pertarungan baru di kawasan Asia Timur, menyusul memanasnya krisis Ukraina-Rusia.
Kebijakan itu diambil sebagai untuk memutus mata-rantai ekspansi Cinia untuk menguasai pasar Eropa melalui Rusia. Cina melihat posisi Taiwan sebagai mana Rusia melihat Ukraina, namun jauh berbeda dengan Asia. Kenapa? Sebab akan melibatkan India dan Beijing dalam persengketaan dengan Taiwan. Maka itu India harus berpaling kembali ke Gerakan Non Blok jika Perdana Menteri Narendra Modi tidak ingin dipermalukan di hadapan negara-negara Asia dan Afrika.
Pada saat yang sama diplomasi tentang hubungan lintas-Selat, menjelaskan semakin meningkatnya ketegangan Cina-AS atas Taiwan sejak tahun 2016 lalu.
Kekhawatiran pada kebangkitan Euro-Asia yang dipimpin Cina dan Rusia, mendorong AS untuk mengeluarkan kebijakan yang disebut “pencegahan ganda” yang dirancang untuk mencegah Beijing menyerang Taiwan, seraya meyakinkan Cina bahwa Washington tidak akan mendukung langkah apa pun menuju kemerdekaan Taiwan, namun ini kebijakan asimetris war plan bertujuan untuk jebakan.
Kewaspadaan perlu makin ditingkatkan untuk mengantisipasi pola perang Asimetris setelah konflik Rusia dan Ukraina usai. Perlu makin waspada terhadap kemungkinan maraknya lagi gerakan beraroma SARA, Militerisasi masyarakat sipil, Kudeta Militer, Intervensi asing yang berada di balik aksi Perganitian Rezim sebuah negara. ataupun Terrorisme dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial dijadikan pola dalam upaya untuk menguasai suatu kawasan, maupun negara-negara yang merupakan pemain kunci di suatu kawasan. Seperti kudeta terhadap pemerintahan pemerintahan sipil di Pakistan baru-baru ini.
Jika konflik sudah menjalar ke Selat Taiwan, maka skala konfliknya sudah setara dengan krisis Ukraina. Alhasil. geopolitik Asia Timur dan Asia Tenggara bakal semakin memanas, sehingga negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Myanmar, Filipina, Singapura, maupun yang ada di Asia Timur seperti Jepang juga Singapura akan menjadi area konflik regional yang cukup rawan dan berbahaya bagi stabilitas politik dan keamanan kawasan Asia Pasifik. Dalam konstelasi seperti itu, Indonesia dan negara-negara ASEAN harus mengakutualisasikan kembali semangat Gerakan Nonblok.
Roslan Samad (Vino), Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara.