“Semerbak Kembang Sore” (1)

Bagikan artikel ini
Potret Kegelisahan Purnawirawan TNI-Polri Jelang Pilpres 2024
Katakanlah, apabila dimulai 2004 saat kali pertama pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan secara one man one vote atau pemilihan langsung (pilsung), barangkali pilpres 2024-lah yang paling menarik dibanding empat pilpres sebelumnya. Banyak variabel bisa diulas. Tentang jumlah pasangan calon, misalnya, atau mana cawapres siapa, simpang-siur DPT, isu pro kontra Plt Kepala Daerah, cawe-cawe, rumor perpanjangan masa jabatan, dan lain-lain.
Namun, catatan sederhana ini hanya membahas soal ceruk alias lobang suara pensiunan TNI-Polri yang tengah ‘ditambang’ oleh para kandidat/bakal calon presiden (capres) yang sudah beredar di publik.
Tak dapat dipungkiri, selain golongan putih (golput) dan swing voters yang selama ini merupakan ceruk yang diperebutkan atau ditambang oleh siapapun kandidat capres dalam setiap kontestasi karena jumlahnya antara 25-30% (baca: “Krisis Kepemimpinan: di Antara Swing Voters, Golput, dan Dejavu dalam Kontestasi 2024“). Tampaknya, purnawirawan TNI-Polri dianggap ceruk strategis serta diperhitungkan pada setiap pilpres, selain dua ceruk di atas.
Mengapa purnawirawan TNI-Polri memiliki posisi tawar tinggi di mata para kandidat capres?
Tak lain, selain profesionalisme dan pengalaman pada masing-masing tugas semasa aktif dulu, juga jejak ‘kembang sore’ — ini perlambang bagi purnawirawan (TNI-Polri) yang cinta tanah air. Istilahnya: “Kembang sore”. Sedangkan purnawirawan yang anasionalis alias tak cinta tanah air, bahkan justru mengkhianati bangsa dan negara (komprador), bisa disebut “bunga bangkai”. Ya (Bunga bangkai) tampak indah dan mewah di permukaan, namun aromanya menusuk busuk. Seperti ‘busuk’-nya perilaku komprador.
Lazimnya kembang sore masih punya loyalis, ‘garis komando’ senyap, referent power, massa kultural, dan lain-lain. Mereka direkrut partai politik (parpol) dan/atau ditarik para kandidat capres untuk dipetik daya ungkitnya guna meraup suara (vote).
Setidaknya suara di lingkungan keluarga, misalnya, atau tapak masa lalu, jalinan perkoncoan, sak dapur sak sumur, kedisiplinan, intiusi kepemimpinan, dan lainnya. Itu paling minimal. Belum lagi, banyak kembang sore yang terus berkiprah sesuai hobi dan talenta. Old soldier never die but just fade away. Bahkan, ada yang terjun langsung ke dunia politik, kendati tidak sedikit yang mandito. Menjauh dari hiruk-pikuk, menjaga jarak yang sama dengan semua kontestan.
Anatomi dukung-mendukung kandidat capres jelang 2024, diawali deklarasi dari Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya (PPIR) terhadap Prabowo Subianto di Hotel Cokro, Yogjakarta (7/5/2023) serta beberapa deklarasi lainnya; kemudian disusul deklarasi 170 purnawirawan perwira tinggi TNI-Polri untuk perubahan di belakang Anies Baswedan di Hotel Yuang Garden, Jakarta (6/7/2023); dan terakhir deklarasi purnawirawan TNI-Polri di Ancol, Jakarta (30/7/2023) mendukung Ganjar Pranowo.
Sebagai catatan khusus bahwa secara struktur, setiap organisasi Persatuan Purnawirawan (PP) entah PEPABRI, LVRI, ataupun PP Angkatan/Polri adalah netral. “Sekali lagi, secara struktur bersifat NETRAL.” Tetapi, setiap PP juga memberi kebebasan kepada anggotanya hak konstitusi untuk dipilih (nyaleg misalnya, atau nyagub, nyabup, dan seterusnya) serta hak untuk memilih dalam kontestasi politik.
Pada empat pilpres sebelumnya, memang selalu muncul geliat dukung-mendukung. Namun, ‘arus’-nya tak sederas dan tidak sekuat sekarang ini. Entah kenapa. Sejumlah pensiunan jenderal senior turun gunung. Dan itu tadi, berimbas pada jejak kultural masa lalu, garis komando senyap.
Secara empiris, ketiga kandidat capres sudah mendapat support dari tiap kelompok purnawirawan sebagaimana anatomi deklarasi di atas. Dalam bahasa sastra, “Kembang sore kini tidak lagi satu (suara) warna, namun aneka rupa, beragam warna”.
Mengapa?
Jawabannya relatif panjang bila diurai. Sebab, di era Orde Baru tempo doeloe, hampir semua pensiunan TNI-Polri dan keluarga dipastikan satu warna. “Kuning”. Namun, di era kini terlihat beraneka warna, beragam rupa.
Singkat penjelasan di atas, selain efek euforia reformasi asal jangan Orde Baru, yang paling utama karena ketiadaan wadah ‘Utusan Golongan’ dalam (sistem) tata negara. Hal itu dianggap sebagai pokok penyebab mengapa kembang sore sekarang beragam warna, kendati ada faktor lain turut mempengaruhi. “Ini asumsi penulis”. Sekali lagi, warna-warni kembang sore semata-mata karena ketiadaan Utusan Golongan dalam konstitusi.
Ketika UUD 1945 diamandemen sebanyak empat kali (1999 – 2002) oleh kaum reformis, maka unsur Utusan Golongan —salah satunya TNI-Polri— dulu dikenal Fraksi ABRI, tidak memiliki saluran alias suaranya tidak lagi terwadahi dalam konstitusi. Apa boleh buat. Selain MPR sendiri telah diturunkan statusnya (down grade) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel BPK, MK, DPR, dan lainnya. Kalau mau jujur, MPR sekarang mandul. “Sekadar lembaga stempel”. Tugas untuk memilih presiden/wakil presiden, contohnya, atau menerbitkan Ketetapan/Tap MPR yang bersifat regeling, membuat GBHN dan seterusnya, telah dipreteli. Dihapus. Juga, unsur di dalam MPR itu sendiri cuma ada dua: 1) anggota DPR, dan 2) anggota DPD. Tak lebih.
Bandingkan dengan UUD 1945 (sebelum amandemen) maha karya the Founding Fathers dimana struktur MPR terdiri atas anggota DPR (sepertiga), Utusan Golongan (sepertiga) dan Utusan Daerah (sepertiga). Betapa adil dalam jumlah dan komposisi. Itulah hakiki ujud daripada penjelmaan rakyat.
Jika anggota DPR mewakili political group alias parpol, maka Utusan Daerah mewakili unsur sejarah (historical) baik kesultanan dan raja-raja nusantara yang dulu ikhlas melepas aset-asetnya demi tegaknya NKRI, maupun suku-suku bangsa yang tetap eksis hingga kini. Mereka tidak dipilih seperti anggota DPR, tetapi DIUTUS. Sementara Utusan Golongan mewakili profesi, berbagai kelompok dan golongan, termasuk TNI-Polri. Sama dengan Utusan Daerah yakni “diutus”, bukan dipilih oleh rakyat.
Akan tetapi, semenjak reformasi bergulir, dua hal (Utusan Daerah dan Utusan Golongan) tersebut hilang dalam konstitusi. Lenyap. Sehingga setiap terbit kebijakan publik —UU contohnya— hanya dibidani parpol cq anggotanya di parlemen. Unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak ada. “Inilah titik kritis.” Dan di sini letak ketidakadilan atas praktik UUD hasil amandemen. Keterwakilan rakyat tak utuh. Tidak bulat. Akhirnya, kebijakan publik cuma diawaki perwakilan political group alias parpol, dan sering dibidani di ‘kamar gelap’. Contoh, sudah jelas RUU “X” ditolak secara masive oleh rakyat, toch lolos juga di malam hari. Dalam bahasa vulgar, bahwa kedaulatan rakyat telah dirampas oleh parpol. Rakyat tidak lagi berdaulat.
Boleh dibayangkan, 270-an juta penduduk ‘dipaksa’ hanya memiliki segelintir capres yang direkomendasi oleh sembilan orang Ketua Partai atas nama presidential threshold 20%. Ini satu contoh. Selain tidak adil, juga sesungguhnya justru tidak demokratis.
Balik lagi ke kembang sore. Dulu, pernah menguat doktrin geopolitik nusantara, bahwa: “TNI-Polri itu anak kandung revolusi. Perekat bangsa. Pecah keduanya, maka bisa pecah bangsa dan negara ini”.
Nah, jika merasakan derasnya hiruk-pikuk kembang sore dalam politik praktis sekarang ini, terindikasi adanya kegelisahan mereka terhadap sistem politik yang tak proporsional serta tidak adil, sehingga kembang sore —secara umum— ingin menitip aspirasinya melalui masing-masing capres yang dipersepsikan mampu membawa aspirasi terkait pertahanan dan keamanan. Dan cenderung lalai terhadap doktrin geopolitik tentang anak-anak kandung revolusi di atas.
Kenapa demikian?
Selain menyingkirkan maha karya the Founding Fathers, juga malah mengakomodir demokrasi ala Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa dan kharakteristik geopolitik Indonesia.
Dua retorika menarik muncul di atas permukaan:
Pertama, apakah masifnya dukung-mendukung para purnawirawan TNI-Polri dalam pilpres akibat ketiadaan wadah/penyaluran aspirasi politik karena dihapusnya fraksi Utusan Golongan;
Kedua, jangan-jangan geliat kembang sore yang berwarna-warni adalah isyarat bahwa semakin lebarnya potensi keretakan bangsa akibat sistem politik (dan tata negara) pasca-UUD 1945 diamandemen?”
Bersambung..
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com