Liberalisme Itu Komunis Senyap?

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik cq Neocortex War
Tidak ada ideologi yang mati, namun bagaimana negara dan masyarakat memberi ruang terhadap ideologi dimaksud. Itu poin asumsi dari Prof Anhar Gonggong, pakar sejarah Indonesia. Namanya asumsi, perlu breakdowning untuk pembuktian.
Demikian pula komunisme. Sebagai ideologi, tidak akan pernah mati. Hanya tersingkir sebentar. Jika diberi ruang oleh rakyat, ia akan bangkit kembali. Dan sebaliknya, bila tidak ada ruang baginya maka komunis akan ‘tidur’. Jadi, hidup dan matinya sebuah ideologi sangat tergantung bagaimana rakyat dan rezim kekuasaan mengelola.
Rusia contohnya, salah satu negara serpihan Uni Soviet, dimana Soviet tempo doeloe dikenal sebagai ‘mbah’-nya komunisme global, namun sekarang —setelah Uni Soviet runtuh— komunisme tidak diberi ruang gerak. Pola dan cara Putin mengeliminer komunisme melalui gereja, masjid, dan tempat-tempat ibadah lain diberi keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, konsepsi dan aktivitas yang jelas-jelas berbasis anti-Tuhan, LGBT misalnya, secara resmi dilarang lewat UU dengan sanksi keras. Kenapa? Agama dan keyakinan manapun pasti melarang perkawinan sejenis. Itu keniscayaan kehidupan.
Ibarat tumbuhan, komunis itu jenis parasit alias benalu. Menempel pada pohon yang kuat, namun (nantinya) justru mengajak mati bersama ‘tuan’-nya. Sudah ada contoh-contoh. Uni Soviet dulu merupakan ‘pohon kuat’ bagi komunisme, toch akhirnya mati juga. Pecah berkeping – keping menjadi 15 negara. Atau, komunis di zaman Orde Lama (Orla), meski dulu menginduk kepada PKI —partai terbesar ke-4 di era Orla— akhirnya mati bersama ‘inang’-nya (PKI), diberangus oleh Orde Baru (Orba) tanpa ampun. Kenapa? Ya. Testur ‘Tanah Pancasila’ niscaya menolak jenis tanaman parasit semacam komunisme, khususnya pada sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ketika Orba jatuh dan Pak Harto lengser, muncul euforia reformasi nyaris di segala sektor dan lini melalui isu utama yakni segala sesuatu berbau Orba kudu dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikebebasan dan perikomunisme. Namanya euforia, publik menyambut secara gegap gempita. Gilirannya, kebebasan atau liberalisme bak gelombang tsunami menerjang serta meluluh-lantakkan hampir semua konsepsi tata negara yang dibuat oleh Orba. Merobohkan pintu serta pilar-pilar yang dulu menutup geliat komunisme di Bumi Pertiwi.
Nah, pada titik inilah komunisme memperoleh momentum. Setelah sekian lama ‘tiarap’ karena tidak diberi ruang gerak oleh Orba, kini ia bangun dari tidurnya, berdiri, lalu bereksistensi. Ya. Pasca-Orba runtuh, komunisme berselancar melalui arus liberalisme sebagai titiannya.
Sekarang membahas liberalisme. Tak pelak, seperti halnya HAM dan demokrasi, liberalisme ialah pilar penopang kapitalisme. Ideologi tersebut digebyarkan sebagai lawan abadi dari komunisme.
Tetapi, apakah demikian faktanya?
Tak juga. Tersirat justru sebaliknya. Komunis bukanlah antitesis kapitalis, namun malah sintesis. Percampuran yang selaras (dan senapas). Bahwa antara kapitalis dan komunis itu serupa tapi tak sama. Berbeda-beda rupa tetaplah sama.
Modus keduanya serupa, contohnya, mencari bahan baku semurah-murahnya, dan/atau mengurai pasar seluas-luasnya. Hanya pola keduanya yang tak sama. Jika tujuan penguasaan atau pengendalian kapitalis adalah modal alias kapital oleh segelintir elit swasta/partikelir, sedang komunisme dikendalikan oleh segelintir elit negara. Sekali lagi, serupa namun tak sama. Bahkan ada anekdot yang menyatakan, bahwa komunisme itu ‘kapitalis plat merah’.
Monopoli kapitalis itu modal/kapital, sedangkan monopoli komunisme ialah massa/rakyat. Sama. Hanya berbeda pola.
Tatkala China menerapkan one country and two system, yaitu sistem negara yang mengelaborasi antara komunis dan kapitalis dalam ‘satu tarikan napas’, maka hasilnya sungguh dahsyat. Massa/rakyat dikendalikan, modal dalam genggaman. Ke dalam menerapkan tata cara komunisme; ke luar menggunakan pola dan modus kapitalisme, yakni mencari bahan baku semurah-murahnya, mengurai pasar seluas-luasnya. Begitulah.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com