Saatnya Indonesia dan ASEAN Memandang Pentingnya Forum Kerjasama SCO Dari Perspektif Geopolitik Lintasan Jalur Sutra

Bagikan artikel ini

Menyusul masuknya Iran  dari kawasan Asia Barat sebagai anggota baru Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada SCO Summit Meeting awal Juli 2023 lalu, nampaknya semakin beralasan bagi Indonesia maupun  negara-negara  di kawasan Asia Tenggara (ASEAN)  untuk semakin serius menjalin kerjasama strategis baik dengan Cina-Rusia maupun negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan utamanya dalam kerangka SCO.

 

Baca artikel saya terdahulu: 

 

Bergabungnya Iran, SCO Semakin Strategis Sebagai Blok Politik-Keamanan Menghadapi Hegemoni Global AS-NATO

 

SCO yang pada 2001 lalu hanya sebatas kerjasama bidang ekonomi, perdagangan dan kontra-terorisme di kawasan Asia Tengah antara Rusia, Cina dan negara-negara Asia Tengah, pada perkembangannya telah menarik minat dua negara Asia Selatan yaitu India dan Pakistan, dan baru-baru ini, Iran, bergabung sebagai anggota terbaru SCO.

 

Shanghai Cooperation Organization (SCO) leaders' summit in Samarkand

Dengan demikian SCO saat ini lingkup kerjasamanya sudah meluas ke bidang politik dan keamanan, maupun sosial-budaya. Bagi Indonesia maupun ASEAN, bergabung dengan SCO hendaknya bukan sekadar berfungsi sebagai “kekuatan penyeimbang” dalam polarisasi yang kian menajam antara blok AS-NATO dengan blok Cina-Rusia, namun ide dasar terbentuknya kerjasama SCO yang mengaitkan konektivitas geografis dan kerjasama di bidang ekonomi-perdagangan, nampaknya lebih punya nilai strategis alih-alih sekadar meraup keuntungan dari segi ekonomi, perdagangan, investasi maupun keuangan.

Maka itu, menjalin kerjasama antara Indonesia dan ASEAN bersama negara-negara kawasan Asia Tengah, seharusnya menjadi pertimbangan geopolitik dan geostrategi yang paling penting. Betapa tidak. Kawasan Asia tengah dengan titik sentralnya wilayah Negara Uzbekistan, sejatinya merupakan jantung lintasan “Silk Road” atau Jalur Sutera, sekaligus merupakan cross-road (persimpangan) penting penghubung Benua Asia dan Eropa.

 

Baca buku karya  Drs. Mohamad Asruchin, MA yang bertajuk: Perjalanan Seorang Diplomat Menyusuri Jalur Sutra. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020)

 

Silk Road atau Jalur Sutra merupakan lintasan perdagangan antara Asia (Cina) ke Eropa (Roma) dan Timur Tengah yang sudah berlangsung sejak Dinasti Han (202 SM-220 M). Mengapa disebut Jalur Sutra? Saat itu kekaisaran di Cina ingin memperdagangkan produk sutera yang melimpah di wilayah kekuasaannya untuk dibarter dengan produk dari daratan Eropa seperti Emas, perak, gading, wol, obat-obatan, minyak wangi, batu mulia, kaca serta barang-barang dari logam.

Nah karena semakin populernya bahan sutera dengan berbagai macam kegunaannya itulah, maka kemudian muncul istilah Silk Road alias Jalur Sutra.

Maka itu para “Pemangku Kepentingan” Kebijakan Luar Negeri RI utamanya Kementerian Luar Negeri, hendaknya memandang Jalur Sutra yang mendasari terbentuknya kerjasama SCO, juga memandang nilai strategis geopolitik Jalur Sutra selain sebagai lintasan dagang juga sekaligus menjadi tempat bertemunya berbagai budaya, agama, adat-istiadat serta berkembangnya ide-ide besar menuju peradaban modern.

Dengan demikian sangatlah tepat ketika UN Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 1987 meresmikan pembentukan suatu proyek yang disebut “the Silk Road is a Road of Dialogue.” Sebagai Center of Civilization di Asia Tengah.

Nilai strategis Geopolitik Jalur Sutra yang menjadi basis kerjassama strategis Cina-Rusia dengan negara-negara Asia Tengah, nampak jelas melalui skema kerjasama Cina-Kyrgyzstan melalui beberapa proyek pembangunan infrastruktur sebagai implementasi dari program Silk Road China di Kyrgyzstan sebagai  gateway atau pintu masuk penting Cina menembus pasar Asia Tengah.

Dengan begitu, bagi Indonesia dan ASEAN, forum kerjasama SCO bukan sebatas menjalin aliansi strategis dengan Cina-Rusia maupun Asia Tengah, melainkan juga Asia Selatan. Wilayah Asia Selatan dan Tengah meliputi 15 negara  yaitu: Afghanistan, Azerbaijan,Bangladesh, Bhutan, India, Iran, Sri lanka, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Maladewa, Nepal, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Menariknya lagi, total jumlah penduduk seluruh kawasan Asia Tengah-Asia Selatan saat ini berjumlah sekitar 1,7 miliar, dan seperti saya singgung pada awal pemaparan tadi, berperan sebagai penghubung antara benua Eropa dan Timur Tengah. Maka dari itu kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan praktis merupakan sentra geopolitik penting yang jadi sorotan negara-negara adikuasa baik AS, Uni Eropa, Rusia dan Cina.

Selain daripada itu, dari perspektif pemetaan sumberdaya alam, Asia Tengah saat ini muncul sebagai “pasar baru” dengan potensi  minyak dan gas bumi-nya yang sangat besar. Pun juga dari segi ekonomi, nilai strategis geopolitik Asia Tengah dan Asia Selatan ditandai dengan kemunculannya sebagai the emerging market atau pasar yang sedang tumbuh. Berarti, negara-negara Asia Tengah merupakan pasar baru yang potensial untuk digarap. Dengan memanfaatkan kekayaan alam terutama energi yang melimpah begitu pula cadangan minyak dan gas bumi yang begitu besar. Sehingga bisa menjadi sumber alternatif di luar negara-negara Timur Tengah.

Namun yang tak kalah penting dari nilai strategis Asia Tengah dan Selatan sebagai  lintasan Jalur Sutera adalah lokasi geografisnya yang selalu jadi perebutan pengaruh antara AS, Rusia dan Cina hingga kini. Zbigniew Brzezinski dalam bukunya yang bertajuk The Grand Chessboard, mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional AS pada era Presiden Jimmy Carter itu mengatakan bahwa “control of Eurasian landmass is the key to global domination and control of Central Asia is the key to control of Eurasian landmass.” Maka ketiga negara adikuasa tersebut berupaya melancarkan manuver geostrategis-nya di kawasan Asia Tengah-Selatan sesuai kepentingan nasionalnya masing-masing.

Rusia, misalnya, menaruh perhatian pada Asia Tengah terutama pada bidang politik dan keamanan, untuk mencegah AS dan Barat, terlebih dengan adanya perluasan keanggotaan NATO dan Uni Eropa di Asia Tengah. Maka untuk membendung dominasi AS dan NATO, Rusia membentuk aliansi militer yaitu Collective Security Treaty Organization (CSTO).

Dan di sektor ekonomi mendirikan EAEU (Eurasian Economic Union). Melalui dua skema kerjasama politik-keamanan maupun ekonomi tersebut, maka kedua organisasi tersebut selanjutnya dikerjasamakan dengan SCO yang dimotori oleh Rusia dan Cina dengan bersendikan negara-negara di Asia Tengah. Yang mana lingkup keanggotaannya kemudian meluas dengan bergabungnya India danPakistan dari Asia Selatan, dan yang baru-baru ini, Iran.

Adapun Cina dalam membangun pengaruhnya di Asia Tengah, menggunakan pendekatan Soft Power dalam melancarkan pola geostrategi-nya melalui skema kerjasama ekonomi dan investasi melalui Program Belt and Road Initiative (BRI). Dengan demikian bagi negara-negara Asia Tengah, Cina merupakan salah satu sumber utama dalam mengalirnya Foreign Direct Investment (FDI) maupun Pembangunan Infrastruktur di wilayah Asia Tengah.

Skema kerjasama Cina-Asia Tengah dalam kerangka SCO tersebut mulai diluncurkan pada Oktober 2013 ketika Presiden Xi Jinping berkunjung ke Kazakhstan meluncurkan Silk Road Economic Initiative (SREB), yaitu program jaringan konektivitas BRI jalur darat sebagai tandem dari 21st Maritime Silk Road (MSR) yang merupakan BRI jalur laut.

Sekadar informasi. Dalam pelaksanaan program SREB, Cina telah menggelontorkan dana awal sebesar 40 miliar dolar AS untuk pembiayaan pembangunan rel kereta, jalan raya, pelabuhan, serta jaringan pipa gas yang membentang dari Laut Kaspia  ke Xinjiang-Uighur.

Cina juga menyiapkan sumber pendanaan tambahan yang dibutuhkan melalui pendirian AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) dan BRICS New Development Bank) yang berpusat di Shanghai. Selain itu, dengan bersinergi lewat forum kerjasama SCO, Cina semakin intensif melancarkan manuver diplomasi melalui kerjasama ekonomi dan investasi untuk merebut pengaruh di Asia Tengah.

Sebaliknya bagi negara-negara Asia Tengah, Cina dipandang sebagai alternatif potensial dalam mencari suntikan dana untuk pembangunan infrastruktur serta pengolahan sumberdaya alamnya. Sedangkan bagi Cina, dengan bermula menjalin kerjasama berupa bantuan ekonomi dan investasi, diharapkan juga akan menumbuhkan pengaruh di bidang politik dan keamanan.

Melalui skema kerjasama Cina-Rusia dengan negara-negara Asia Tengah dalam kerangka SCO, seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi Indonesia maupun negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), untuk menjalin aliansi strategis dengan forum kerjasama regional SCO yang dimotori Cina-Rusia maupun Asia Tengah. Yang mana saat ini sudah meluaskan lingkup keanggotaannya tidak sebatas Asia Tengah, melainkan juga ke Asia Selatan, Asia Barat, dan tentunya SCO akan semakin strategis dengan bergabungnya Indonesia maupun ASEAN sebagai kekuatan regional Asia Tenggara.

Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif sejatinya mendorong para pelaku kebijakan luar negeri untuk menjabarkan secara imajinatif politik luar negeri RI yang bebas aktif dalam pengertian pro aktif sebagai suatu gerakan, dan konstruktif sebagai suatu kebijakan. Bebas-aktif artinya mampu menjabarkan kepentingan nasional sesuai tantangan zamannya, dengan mencermati konstelasi geografis dunia internasional, sehingga Indonesia mampu menempatkan dirinya dalam posisi dan peran  yang strategis dan diperhitungkan oleh negara-negara adikuasa. Dengan begitu, politik luar negeri bebas dan aktif bukan oportunisme dan bersikap pasif. Melainkan dinamis, pro aktif dan penuh inisiatif.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com