Catatan Kecil Geopolitik
Isu penembakan seorang remaja Nahel M (17 tahun) oleh polisi (27/6/2023) di Paris karena menerobos traffic light. Tindakan berlebihan (excessive power) polisi berakibat remaja itu mati di tempat. Tak pelak, kejadian tersebut menimbulkan amuk massa di Paris. Tidak diduga, snowball process (proses bola salju) pun menggelinding liar. Lepas kendali. Dalam hitungan hari, ‘amuk’-nya sudah menjalar ke Lyon, Marseille, grenobe, Strasbourge, Toulouse, dan kota lainnya di Prancis.
Meskipun 45.000 polisi termasuk paramiliter gendarmeri telah diturunkan, namun kerusuhan massa belum sepenuhnya terkendali. Banyak timbul kerusakan serta kerugian materiil akibat amuk massa. Sungguh penanganan rusuh massa yang out of control.
Dari 2.560 peristiwa yang terdata, ditemukan 1.350 kendaraan dan 234 bangunan luluh lantak terbakar dan/atau dibakar oleh massa. Belum lagi penjarahan di ruang publik yang terlihat masive dipelopori oleh ‘orang bertopeng’. Mereka ditengarahi sebagai Black Block, kelompok anarkhi di Paris yang berhaluan kiri jauh dan kerap memicu aksi-aksi anarkis di setiap demonstrasi. Tak pelak pula, kelompok mafia pun memanfaatkan gejolak tersebut dengan menjebol penjara guna melepas kawan-kawannya. Belum terkonfirmasi, berapa penjara dibobol oleh massa.
Dari perspektif psikologi sosial, amuk massa merupakan ujud matinya logika dan hati nurani publik karena faktor solidaritas, dimana Nahel —korban penembakan— ialah warga Prancis keturunan Aljazair – Maroko. Isu rasial merebak; atau juga karena efek kemiskinan, ketidakadilan; dan didukung media sosial yang memang tanpa gatekeeper, serta hal lain-lainnya.
Namun, dari perspektif geopolitik, isu Nahel hanyalah trigger semata. Tak lebih. Sebelumnya, niscaya terdapat ‘api dalam sekam’ yang telah tertimbun (relatif) lama di Prancis. “Tak sedikit ladang rumput kerontang dipenuhi ilalang kering”. Maka percikan api sekecil apapun, akan/mampu membakar sekam. Dan tampaknya, inilah yang sekarang berlangsung.
Lantas, apa bentuk ‘api dalam sekam’ pada ladang ilalang kering di Prancis?
Tidak boleh dipungkiri, operasi militer khusus ala Putin terhitung 14 Februari 2022 —konflik Ukraina— sesunggunya hanya titik mula. Pintu pembuka. Kenapa? Jujur kudu diakui, bahwa perang sanksi antara Rusia versus Barat cq NATO pimpinan Paman Sam sebagai bagian dari peperangan, justru dianggap sebagai faktor paling utama. Betapa absurd, Uni Eropa yang tergantung pasokan energi dan pangan dari Beruang Merah —sebutan lain Rusia— kok malah ikut-ikutan memblokade ekspor Rusia? Jadilah! Dengan sekali putar kran ala ‘senjata geopolitik’-nya Putin, UE pun kelabakan. Jeritan kelangkaan energi dan pangan bergema dimana-mana. Harga barang dan jasa melambung tinggi.
Di satu sisi, penggunaan energi diprioritaskan untuk konsumsi rumah tangga dengan berbagai pembatasan; sedang di sisi lain, energi untuk industri dibatasi. Konsekuensi logisnya —meski ditutup-tutupi— kebijakan energi ini menimbulkan dampak PHK di sana-sini, pengangguran meledak, dan kriminalitas meningkat.
Isu penting lain akibat kelangkaan pangan dan energi di Eropa, terdapat empat Perdana Menteri (PM) pada 2022 yang lalu, mengundurkan diri antara lain yaitu PM Bulgaria, Kiril Petkov (27/6), PM Estonia, Kaja Kallas (15/15), PM Inggris, Boris Johnson (8/7), PM Italia, Mario Draghi (21/8).
Sebagai catatan kecil, bahwa beberapa bulan kemudian — pengganti Johnson yakni PM Liz Truss pun undur diri digantikan oleh Rishi Sunak, PM termuda di Inggris sejak 1813 keturunan India, hingga sekarang.
Pertanyaan menggelitik muncul, “Apakah mundurnya para PM tersebut karena faktor krisis ekonomi akibat konflik Ukraina dan peperangan turunannya?” Jawabannya ada di lubuk hati yang paling dalam. Kendati ditutupi serapat apapun, pakemnya jelas: “Setiap krisis ekonomi niscaya berimbas kuat pada politik”. Kapanpun. Dimanapun.
Dengan demikian, amuk massa berlarut di Prancis, faktor utama penyebab ialah krisis ekonomi akibat konflik Ukraina, dan niscaya hal tersebut akan berimbas pada krisis politik di negerinya Napoleon Bonaparte. Entah seperti apa nanti bentuknya.
Pertanyaan selidik, “Apakah ‘bola salju’ akan menggelinding ke Daratan Eropa terutama anggota NATO yang terlibat peperangan di Ukraina baik langsung maupun tidak langsung?”
Jawabannya adalah, “Tergantung!”. Ya, tergantung bagaimana negara di sekeliling Prancis menyikapi. Tanpa antisipasi yang cerdas, bijak dan akurat niscaya amuk massa bakal melanda Eropa khususnya jajaran NATO karena faktor-faktor yang mempengaruhi tidak berbeda yakni kelangkaan energi dan pangan.
Dengan perkataan lain, jika tanpa menghentikan konflik Ukraina serta peperangan turunan lainnya, antisipasi taktis-teknis dalam mencegah amuk massa agar tak menjalar ke lain kawasan sifatnya hanya sementara. Mengapa? Sebab, faktor utamanya masih ada, nyata dan berada. Apa itu? Tak lain, konflik dan peperangan turunan lain (hybrid war) di Ukraina sebagai medan tempur.
Jangan-jangan, runtuhnya para adidaya UE —negara jago perang anggota NATO— bukan akibat kalah perang, tetapi justru ditawur oleh rakyatnya sendiri!
Wait and see!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments